Kinara, seorang gadis biasa-biasa dan terkesan tomboi. Di dalam kamar, seperti kebanyakan seorang freelancer, berkutat di depan komputer hingga berjam-jam lamanya. Sebagai freelancer, penghasilannya kadang tidak menentu. Sebagai freelancer atau ingin membangun bisnis sendiri harus berjuang dari nol, dan usaha itu terbilang baru. Ia merenggangkan badan, setelah mengerjakan sebuah desain yang di desainnya sendiri-yang menurutnya itu bagus dan masuk kriteria, alhasil dirinya sudah di upload-nya di salah satu website yang katanya dosennya dulu maupun para desainer grafis yang sudah profesional, sekarang ia belajar bersabar untuk menunggu karyanya dibeli pelanggan yang membutuhkan bahkan sampai mencoba menggunakan sistem customer. Mendongak menatap jam bulat di dinding.
"Ah, sudah jam 11.00!" pekiknya tersadar."Berarti aku kelamaan bikin desainnya," katanya, beranjak dari kursinya menuju kamar mandi untuk membersihkan wajah. Di kamar mandi, ia membasuh muka dengan air sebelumnya menggunakan sabun pencuci muka. Membilas mukanya dengan air, tampak segar kembali. Bergegas kembali menuju kamar kembali, mengeringkan mukanya dengan handuk kecil. Merebahkan diri ke atas kasur, menyibakkan selimut, mencoba terlelap dalam mimpi. Tanpa sadar, di balik jendela yang tertutupi gorden putih, sekelebat bayangan siluet wanita dengan memperlihatkan matanya yang biru. Tanpa sungkan, masuk melalui jendela dengan tembus pandang, lalu bayangan siluet itu berubah utuh menjadi seorang gadis cantik, berwajah cantik nan imut, namun sebagian tubuhnya menyerupai mesin-mecha. Menatap Kinara yang sudah terbuai dalam mimpi. Dia ikut tertidur di sisi ranjang, tertidur dengan duduk dengan kepala menyandar sisi ranjang. Tanpa disadari Kinara, pagi menjelang, ia masih terlelap dalam mimpinya, mengeratkan guling dalam pelukan. Bahkan alarm di handpone-nya menyahut nyaring terus menerus. Menganggu tidurnya.
Kring, kring, kring!
"Ah, berisik!" pekik Kinara terbangun paksa. Rambut dan mukanya kusut bagai singa yang diganggu tidurnya. Kaosnya yang kusut dan tidak pernah memakai dalam saat tidur. Meraih handpone kasar, mencoba mematikannya. Seperti biasa, ia mencoba bangun lebih awal. Tak mau dibilang gadis pemalas, mencoba menyalakan alarm untuk bangun. Setelah mematikan alarm, mengembalikan di atas meja kembali di samping ranjang. Menguap lebar sembari mengucek kedua mata.
"Hoaam...!" Merenggangkan badan, menyibakkan selimur, turun dari ranjang. Tak sadar, ada sesuatu di bawah ranjang dan sesuatu itu mengaduh ikut terbangun.
"Aduh!"
"Huh?" Kinara mencoba menatap siapa yang ada di bawah ranjangnya. Melotot kaget tidak percaya di bawah ranjangnya ada sosok gadis, mungil aneh, entah gadis itu dari mana asalnya.
"Si-siapa kamu...?" kata Kinara terbata ketakutan.
"Aduh..." gadis itu merintih sakit menegangi mukanya."Sakit, tahu!"
"Saya tanya, siapa kamu...?"
"Ah," gadis tersebut naik ke atas ranjang."Aku? Kamu enggak tahu siapa aku?"
Kinara menggeleng. Rasa takutnya kian bertambah.
"Hah, kamu enggak tahu?" kata gadis tersebut bingung.
"Aku enggak tahu kamu itu siapa. Tapi kamu kok tahu aku?" tanya Kinara.
"Masa, sih?" seraya garuk-garuk rambutnya yang dikuncir panjang di belakang.
"Beneran!"
"Eh..."
"Aku tanya, kamu itu siapa?"
"Aku? Aku adalah Srikandhi," aku gadis itu.
"Srikandhi?"
"Yups, Srikandhi! Kamu siapa?" Srikandi memajukkan mukanya di hadapan Kinara.
Kinara masih takut-takut menjawab,"Aku... Kinara..."
"Kinara?"
"Kinara Denallie," ungkap Kinara.
"Sepertinya nama belakang kamu enggak asing bagi saya."
"Oh, ya? Kamu itu sebenarnya siapa? Terus kenapa tubuhmu aneh begitu?" Menatap belakang tubuh Srikandhi yang setengah mecha.
"Saya adalah Lakon," ungkap Srikandhi."Setiap Spirit kan, memiliki ini," tunjuknya di belakang punggung."Dan, Spirit harus memiliki Lakon."
"Lakon itu apa, sih?"
"Kamu enggak tahu Lakon sama Spirit?" Srikandhi mengusap mukanya."Baiklah, begini, ya, Kinara, kujelaskan Lakon dan Spirit."
"Tapi, sebelum itu, kamu harus menyembunyikan mecha di belakangmu itu agar orang-orang di sekitar apartemen pada enggak tahu siapa kamu."
"Baiklah."
Srikandhi mencoba menghilangkan mecha di belakang tubuhnya. Tubuhnya sekarang mirip seperti gadis biasa pada umumnya."Nah, sudah! Lihat, kan?" kata Srikandhi. "Baik, akan saya jelaskan apa itu Lakon dan Spirit. Lakon adalah pengguna dari Spirit-maksudnya, adalah medianya yang saling terhubung dengan suatu kontrak..."
"Suatu kontrak?"
"Kontrak, semisal memiliki sebuah perjanjian," tambah Srikandhi.
"Berarti aku pesugihan dong sama kamu?"
Srikandhi tertawa.
"Hahaha! Pesugihan? Yah, bedalah! Ini sebuah kontrak antara penghubung dan penggunanya. Lihat di tanganmu! Itu tanda berbentuk tanda sihir menyerupai bunga. Berarti kamu adalah pengguna saya. Berati kamu itu Spirit saya."
Kinara menatap tanda di tangan kanannya. Hah, sejak kapan tanda ini muncul?
"Sejak kapan tanda ini muncul?"
"Bila kamu sudah menemui medianya."
"Hah? Kemarin kan, belum ada sama sekali... Duh, kok jadi membingungkan begini?"
"Nah, itulah Spirit atau Lakon. Kalau kamu sudah memiliki tanda itu, kamu adalah pengguna saya."
Kinara terdiam. Lama kelamaan ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Ia menjadi Lakon? Itu berarti dirinya akan terus bersama gadis ini?
"Jadi, saya akan jelaskan Lakon. Tentang Lakon adalah medianya. Kayak saya ini. Pengguna akan dapat terlindungi dari medianya."
"Berarti kamu pelindungku?"
"Yah, Seperti itu."
"Tapi, kenapa saya bisa kontrak sama kamu?"
"Karena sihir. Kamu enggak tahu, ya? Dulu, ada seorang penyihir yang bisa menciptakan sebuah media dari boneka dengan sihirnya, alhasil boneka itu berubah menjadi media. Namun, gagal, sihir yang dimasukkan ke boneka lebih besar dan sihir itu sendiri berubah menjadi Lakon."
"Berarti saya punya sihir, begitu?"
"Seperti yang kamu tahu sekarang. Kamu sebenarnya punya sihir, Kina, tapi kamu enggak menyadarinya atau mungkin sihirmu itu tertutup."
Kinara beranjak dari kasur, berdiri.
"Mau ke mana?"
"Aku enggak tahu apa-apa soal penyihir ataupun sihir... Seingatku, aku enggak punya sihir. Yang selama ini mempunyai sihir adalah kakakku. Walau cuma sihir penyembuhan..."
"Kakakmu?"
"Aku punya kakak perempuan," kata Kinara."Namun itu dulu, sekarang aku enggak punya lagi keluarga... Semenjak dia meninggal akibat kecelakaan..."
"Jadi selama ini kamu tinggal sendirian?"
Kinara mengangguk.
"Ya, sudah. Aku mau bikin makanan buat sarapan. Kamu lapar, kan?"
"Ah, saya enggak la-" terdengar bunyi dalam perutnya. Bunyi keroncongan. Dia menunduk malu.
"Tuh, kan? Ayo, kita ke dapur," ajak Kinara.
Mereka berdua beranjak dari kamar menuju dapur. Dapur di apartemen yang ditinggali Kinara hanya kecil dan itupun tidak memiliki ruang makan. Yah, apartemen murah. Setidaknya ia bisa tinggal.
"Mau bikin sarapan apa?" tanya Srikandhi.
"Apa, ya? Aku enggak bisa masak. Aku hanya bisa memasak sebisaku. Kamu bisa masak?"
"Enggak. Tapi," Srikandhi melihat beberapa telur di wadah khusus telur."Ada telur."
"Memang cuma ada telur sama ini," Kinara membuka kulkas. Mencari sisa bahan yang lain sebisa mungkin bisa dipakai untuk masak."Bawang bombai."
"Enggak apa-apa."
"Kita buat telur dadar. Eh, nasinya masih ada enggak, ya?" Kinara beranjak membuka penanak nasi. Melihat isinya. Masih ada nasi sisa, dan nasinya tampak masih enak. Ia segera menceplok telur enam butir, lalu mengupas bawang bombai. Srikandhi hanya menatapnya seraya menggeser kursi, duduk. Menunggu gadis itu selesai membuatkan sarapan.