I'm scared
It feels like you don't care.
—d4vd, Romantic Homicide
• • •
ZOE sudah menduga jika fase ini akan datang padanya. Saling menyalahkan meski sebetulnya butuh pengertian. Namun Zoe heran, tak biasanya Alfred menunda untuk menyelesaikan kesalahpahaman di antara mereka. Dulu perkara Alfred sibuk dengan segala urusan ospeknya yang bahkan mereka tidak saling menelepon selama tiga hari bukan masalah besar. Setelah urusan Alfred selesai, lelaki itu benar-benar memberikan perhatian penuh pada Zoe.
Hampir tiap menit, Alfred akan selalu menelepon Zoe. Belum lagi bunga daisy yang ia berikan melalui bantuan Sephia, membuat video bodoh dan menurut Zoe alay untuk meningkatkan mood Zoe. Membaca buku di depan layar laptop, menonton Netflix bersama, memasak mi instan bersama di depan layar ponsel yang bahkan selama proses memasaknya pun ia tetap melakukan panggilan video dengan Alfred.
Harusnya masih baik-baik saja, tapi tidak untuk hari ini. Tidak ada yang bisa Zoe lakukan kecuali menunggu untuk hari berikutnya. Ingatan Zoe berkelana pada kejadian sebelum keberangkatan Zoe ke Jerman. Tepat hari wisuda SMA yang seharusnya diiringi rasa bahagia, tapi bagi Alfred tidak. Zoe masih ingat mulut manyun Alfred selama proses pemotretan foto wisuda yang membuat Zoe tak tega. Malamnya Alfred mengajak Zoe keliling Jakarta, di antara kelap-kelip lampu jalanan, alih-alih membawa Zoe ke tempat date yang menawan, Alfred justru membawa Zoe ke sebuah Alfamart. Itu pun cuma beli es krim, duduk berdua. Sayangnya, rasa takut kehilangan tidak surut di hati keduanya.
"Mau Indomie rasa apa?" Zoe tertegun, menoleh pada Sephia yang sudah berjinjit membuka kabin atas dapur.
"Mau rasa soto," sahut Zoe sembari menyiapkan panci, piring, dan garpu.
"Beneran nih kamu aja yang masak?"
Zoe mengangguk, setelah curhat panjang lebar dengan Sephia, gundah di hatinya sedikit reda. Hanya Sephia satu-satunya sahabat yang Zoe punya. Selain berasal dari satu negara yang sama, Sephia juga sudah hafal seluk-beluk kisah percintaan Zoe dan Alfred. Jadi obrolan terkait itu bisa langsung nyambung.
"Iya," jawab Zoe. Perempuan itu membuka bungkus mi instan secara telaten agar isinya tidak berceceran.
"Aku tinggal dulu ya, mau beres-beres kamar bentar."
Zoe mengangguk. Namun sebelum Sephia benar-benar hengkang dari dapur, perempuan dengan rambut sebahu itu berujar, "Zoe boleh minta tolong bikinin satu lagi mi goreng?"
"Kamu mau makan dua porsi, Sep?"
"Buat Mas Adit, katanya mau ke sini, dari sepuluh menit yang lalu, tapi belum datang juga."
Adit.
Satu nama itu akhir-akhir ini selalu berotasi di pikiran Zoe. Mengisi tiap rak-rak kosong di kepala, menuntun Zoe agar siap untuk kemungkinan-kemungkinan tak terduga yang akan Adit berikan. Lelaki itu terlalu menggampangkan banyak hal, terutama sikap pengertiannya pada Zoe.
Zoe menyatukan ujung jari telunjuk dan ujung ibu jari membentuk tanda lingkaran, "Oke."
Zoe sibuk membuka bungkus bumbu, sesekali mengaduk rebusan mi di dalam panci. Tanpa sengaja Zoe hanyut pada setiap gelembung rebusan, menjadikan hal itu seperti tempat ratapan.
"Begini yang kamu maksud itu bagaimana?"
Astaga. Kenapa wajah Adit yang sedang bertanya seperti itu mendadak muncul. Ini gila, Zoe terlalu lelah. Memang ada masalah tentang pertanyaan itu?
"Aku takut ... takut nanti ada yang berbeda. Sesuatu yang lebih, yang nggak semestinya."
Kenapa jika dipikir-pikir lagi, jawaban tersebut kurang tepat? Maksud Zoe, itu terkesan seolah-olah Adit sedang dalam tahap mendekati dirinya. Bisa saja Adit melakukan itu karena bagi dia Zoe hanya sekadar sahabat adiknya yang perlu dibantu. Atau kemungkinan lainnya, lelaki itu hanya berusaha menyibukkan diri dan menjadi lelaki yang lebih baik selepas putus dengan pacarnya? Tapi apa boleh berlebihan seperti itu?
"Zoe, sudah matang?"
Zoe berjengit, tanpa sengaja ujung telunjuk kanan Zoe menyentuh ujung panci yang panas. Zoe meringis dan langsung meniupnya berharap perihnya mereda. Namun tangan seseorang segera membawa jari telunjuk Zoe yang terluka menuju wastafel. Tangan kanan Adit memutar kran wastafel, mengalirkan air pada luka Zoe. Tangan kiri Adit refleks mematikan kompor yang jaraknya masih bisa dijangkau.
"Saya sudah membuatmu terkejut, ya? Maaf, Zoe."
"Nggak apa-apa," kata Zoe membentang jarak dengan Adit, melepas tangan lelaki itu yang sedari tadi menangkup tangan Zoe.
Adit sontak berjongkok lalu mendongak menatap Zoe lamat-lamat, "Geser dulu bentar."
Zoe mengikuti interupsi, tak mengerti apa yang dilakukan Adit. Lelaki itu membuka kabin bawah dapur, mencari sesuatu di dalam sana. Kotak P3K sudah berada dalam genggaman Adit, lalu lelaki itu bangkit. Bukannya Zoe terlalu merasa percaya diri atau bagaimana, tapi dugaannya benar.
Adit mengobati lukanya.
Adit menaruh perhatian lebih pada Zoe.