If you saw me on the train would you look the other way?
Like strangers do.
—AJ Mitchell, Like Strangers Do
• • •
ZOE duduk di lantai sembari menenggelamkan wajahnya pada lipatan tangan, telinganya juga sudah tersumpal headset. Layar ponsel perempuan itu menampilkan lagu Gantari yang sedang terputar dalam aplikasi Spotify. Suara Alfred merupakan mantra mujarab yang selalu Zoe rapalkan ketika ia sedang dalam kondisi terburuk. Bahkan perempuan itu meringis sendiri, kalau saja ada Alfred di sisinya, pasti tidak ada hari buruk di hidup Zoe.
Kalau saja Zoe tidak menunda tugas, mungkin hal buruk ini bisa ia atasi. Ketika mendadak ada pengumuman bahwa deadline tugas seni lukis dimajukan sehari yang artinya masih tersisa kesempatan dua jam lagi, nyaris membuat Zoe terkena serangan jantung. Di sinilah Zoe, di studio seni lukis kampus. Di hadapannya sudah ada kanvas kosong yang disandarkan pada jendela besar ruangan studio seni lukis yang menampilkan pemandangan matahari terbenam di sela-sela ranting pohon.
"Belum pulang?"
Zoe mendongak tatkala tangan hangat itu mengenai telinganya saat sedang menarik headset yang Zoe kenakan. Figur familier itu mengubah posisinya menjadi ikut duduk di samping Zoe. Tanpa permisi Adit memasangkan headset yang ditarik barusan pada telinganya. Mereka mendengarkan lagu bersama.
"Aku masih di sini berarti belum pulang."
Zoe mendengus keras, pertanyaan basa-basi Adit terlalu populer. Lain halnya dengan Adit, mata dengan manik biru itu menyipit, tertawa renyah.
"Selera musikmu memang seperti ini, ya?"
"Kamu tau nggak suara siapa yang sedang kamu dengar?"
"Tidak tahu, memang siapa? Kenapa saya harus tahu?"
"Suara Alfred, pacarku. Keren, ya?"
"Are you seriously?"
Zoe mengangguk mantap. "Iya. Alfred dan band Petrikor."
"Pacarmu terkenal ya di sana? Pasti menyenangkan," ujar Adit sambil menyerongkan tubuh menghadap Zoe.
"Senang tapi sedih juga."
"Karena kalian long distance relationship?"
"Bukan cuma itu, Alfred banyak disukai orang. Kadang aku merasa cemburu, nyebelin pokoknya!"
Adit menyentil pelan dahi Zoe, ada gelak tawa Adit yang menggema seantero studio seni lukis, lelaki itu lantas berkata, "Itu risiko. Nikmati saja hal buruknya, hal baiknya 'kan sudah pernah kamu terima. Salah sendiri meninggalkan pacar yang sempurna di sana."
Kata sempurna terlalu berlebihan, tapi fakta itu juga sulit disangkal. Bahkan seorang Adit yang menurut Zoe dari segi visual lebih baik dari Alfred, bisa-bisanya dengan mudah memuji Alfred yang belum pernah ia temui. Zoe tidak naif, perempuan itu mungkin benar-benar akan menceritakan apa adanya betapa mengagumkannya sosok yang bernama Adit. Lelaki itu harusnya sedang pemotretan atau setidaknya akting di lokasi syuting, tapi karir yang Adit pilih justru membawanya duduk di samping Zoe seperti sekarang.
Zoe melepas headset dari telinga dan Adit melakukan hal yang sama. Zoe memasukkan ponsel dan headset kembali ke saku celana kulot hitam. Perempuan itu sempat menyelipkan anak rambut ke belakang daun telinga sebelum akhirnya berbicara.
"Kamu ngapain ke sini?"
Adit menyimpan paper bag berwarna biru di ruang kosong di antara keduanya. "Sephia minta dibuatkan lebkuchen, saya coba cari ternyata dia baru memberi kabar kalau sedang pulang dahulu mengambil sesuatu." Adit mengeluarkan setoples penuh roti pipih berbentuk bulat rasa jahe itu. Tangan Adit membuka tutup stoples, mempersilakan Zoe mencicipinya.
"Iya, kuas andalan Sephia ketinggalan, jadi dia pulang dulu sebentar."
Adit mengangguk paham. Lelaki itu semakin mendekatkan stoples dengan isi yang sangat menggiurkan pada Zoe. "Cobain dulu, Zoe."
"Nggak apa-apa? Kan kamu bikin buat Sephia."
"Saya bawa dua stoples."
Akhirnya Zoe menggapai roti pipih itu, memakannya perlahan. Rasanya sangat enak. Bahkan lebih enak dari lebkuchen yang pertama kali Zoe beli di toko roti dekat apartemen.
Adit memiringkan kepala, bertanya hangat, "Enak?"
Zoe mengangguk antusias. Tanpa malu-malu Zoe mencomot santai lebkuchen tanpa perlu Adit menawarkannya lagi. Zoe menatap kanvas kosong dengan ragu, tangan kanan yang masih memegang satu lebkuchen itu bergerak asal ke udara secara perlahan seolah-olah sedang melukis sesuatu di udara. Gerakannya begitu abstrak, pikiran Zoe berkelana mencari ide lukisan seperti apa yang akan tertuang pada kanvas kosong di hadapannya.
Tanpa diduga, Adit menggapai tangan Zoe, menuntun tangan yang sedang memegang lebkuchen itu bergerak sesuai irama tangan Adit. "Kamu tahu, Zoe? Mood merupakan salah satu unsur terpenting dalam suatu karya."
Mulut Zoe terkatup, ia terlalu bingung dengan sikap tiba-tiba Adit. Sampai beberapa detik kemudian masih belum ada respons dari Zoe, akhirnya Adit menghentikan gerakan tangan mereka di udara. Adit menoleh, memperhatikan lamat-lamat wajah Zoe yang sebetulnya sudah dari tadi Zoe mengamati lelaki itu dalam diam.
"Kalau kamu bingung apa yang akan kamu lukis di kanvas kosong itu, kamu hanya perlu mengingat tatapan saya sekarang. Cari apa yang bisa menjelaskan mengapa ada cahaya redup di manik mata biru secerah ini."
Zoe menggeleng. "Dit, jangan begini."
"Begini yang kamu maksud itu bagaimana?" Adit memangkas jarak, wajah lelaki itu semakin dekat.
"Aku takut ... takut nanti ada yang berbeda. Sesuatu yang lebih, yang nggak semestinya," jeda Zoe. Butuh dua detik untuk Zoe melanjutkan, "Aku punya Alfred."
Tangan Adit merenggang, membiarkan tangan Zoe terlepas dari genggamannya. Zoe perlu membuat batasan.