Be my, be my, be my forever only
Be my, be my, be my forever only.
—Jaehyun, Forever Only
• • •
JARUM jam menunjukkan pukul setengah lima sore. Alfred menyimpan gitar elektrik berwarna hitam miliknya di sudut ruangan studio musik kampus. Ale yang di sampingnya melakukan hal yang sama. Tangan kanan Hugo menyambar tas hitam di bawah keyboard, dia terlihat tak sabar untuk pulang.
"Sabtu malam nih, mau nongkrong ke Babeh Yamin?" tanya Hugo.
Ale menggeleng. "Gue nggak dulu deh. Mau nge-date sama Amara."
Omong-omong tentang Amara, itu pacar baru Ale, jadian pagi tadi. Lelaki brengsek sepertinya punya keahlian menaklukkan hati gadis-gadis dengan mudah. Berbeda dengan Hugo, yang setiap Sabtu malam akan ia habiskan mencari teman nongkrong atau bermain game sampai pagi buta.
"Gue juga nggak bisa, mau ketemu online sama Zoe," ucap Alfred.
Sesekali ia memperbaiki letak kacamata yang melorot. Tatapannya nyalang, menunggu balasan dari Zoe. Alfred mengembuskan napas jengah sambil menggulir layar yang menampilkan room chat-nya dengan Zoe.
Zoe
10.02
Maaf aku gk angkat telepon kamu semalem
Alfred
15.02
Iyaa, kamu pasti capek
Zoe
10.03
Kmrin aku abis beres-beres apartemen ditawarin dinner bareng Sephia dan kakaknya
Aku gk sempat cek ponsel
Alfred
15.03
Iyaa. Nnti malem aku telepon ya?
Zoe
10.03
Okayy. Kamu lgi apa?
Alfred
15.04
Zoe
10.04
Semangat sayangg!
Popo pasti bangga pnya Om kayak kamu <33
Alfred
15.5
Ahahaha
Kamu lg apa?
Nnti jgn lupa makan siang ya
Peluk jauhh
Apa ada perkataan Alfred yang kurang tepat? Atau Zoe sedang sibuk sekali? Tidak biasanya Zoe belum membalas sampai sejam lebih.
Alfred memasukan ponsel ke saku. Lebih baik dia segera pulang lalu tidur. Agar nanti malam, dia akan tahan begadang dan punya banyak waktu bersama Zoe.
Suara dentingan halus dari ponsel Hugo menggema nyaring seantero ruangan. Tak lama setelah itu, suara notifikasi dari ponsel Ale dan Alfred terdengar secara bersamaan.
Mereka bertiga saling untuk waktu yang cukup lama. Kenapa bisa bersamaan?
Hugo menatap horor Alfred lalu mengumpat, "ANJING!"
Ale terkejut setelah membaca pesan yang ramai respons di grup kelas. "Al, buruan lo cabut ke mading!"
Alfred yang belum sempat mengecek ponsel sudah dirangkul Ale yang langsung berlari. Alfred tidak paham, dia bingung.
Ada apa?
Di mading? Terakhir dia lihat memang ada fotonya yang terpampang di sana. Bukan hanya dia, semua anggota band Petrikor karena lagu Ulah Semesta ramai diperbincangkan.
Alfred menahan napas ketika semua pasang mata menatapnya—yang entah menyiratkan apa, Alfred tidak bisa menebak.
"SINI! MANA YANG NAMANYA ALFRED!?"
Teriakan itu mampu membuat bulu kuduk Alfred berdiri.
Alfred meluruskan tangan ke depan, berusaha membelah lautan manusia yang memenuhi area depan mading. Tak lupa kata permisi ia sisipkan agar semakin memudahkan ia bergerak di antara desakan dari berbagai arah.
Mata Alfred terbelalak. Seorang perempuan sudah duduk bersimpuh dengan wajah tertutup oleh rambut hitam lurus panjangnya. Bahunya naik-turun, seakan-akan menahan tangis meski suara isakannya masih terdengar. Di sekitarnya juga banyak robekan kertas.
Lelaki jangkung berambut pirang itu langsung menarik kerah kemeja Alfred. "Oh, jadi lo yang namanya Alfred?" tanya lelaki itu yang diakhiri seringai.
Alfred melepaskan cengkraman tangan lelaki itu. "Kenapa? Lo nggak malu bikin keributan kayak gini?"
Tanpa basa-basi, sebuah tinjuan mendarat di pipi kanan Alfred. Kacamata yang dia kenakan sudah melayang ke sembarang arah.
Anehnya, Alfred justru tertawa mengejek. "Lo ada masalah sama gue?"
Tepat di depan wajah Alfred, lelaki itu memberi penegasan, urat-urat di lehernya terlihat saat lelaki itu berkata, "Hebat ya lo, bisa buat cewek gue senyum sambil lihat lockscreen ponselnya yang ternyata foto lo."
"HAH?!"
Oke, salah paham macam apa ini?
Alfred speechless.
Perempuan yang sedari tadi duduk bersimpuh, secepat kilat bangkit lalu membekap mulut lelaki berambut pirang. "Jeremy, jangan gitu. Letta cuma suka sama suara Alfred. Letta suka band Petrikor. Jangan berlebihan gini. Besok-besok Letta bakal nurut sama Jeremy. Jadi, tolong jangan gitu ke Alfred. Letta ... minta maaf."
Perempuan yang menyebut dirinya Letta itu menarik pinggang lelaki yang bernama Jeremy untuk menjauh dari Alfred.
Letta menyatukan tangan. "Alfred, maaf ya."
Alfred mengangguk. Jeremy keluar dari area ramai sekitar mading. Semuanya mulai bubar.
"Letta, buruan." Tanpa menoleh, Jeremy meninggalkan Letta, berharap perempuan itu segera mengekornya.
Tanpa diduga, buru-buru Letta menyelipkan lipatan kertas ke saku kemeja Alfred. "Alfred bukanya di rumah aja, ya!"
Mata Alfred memicing curiga. "Ini apa?"
"Surat persetujuan mengagumi. Untung Letta punya duplikatnya. Jangan lupa ditanda tangan juga."