I will never not think about you
From the moment I loved
I knew you were the one.
—Lauv, Never Not
• • •
"IYA Mami, ini Zoe baru pulang. Sekarang lagi beres-beres sama mau nyiapin makan malem."
Zoe menyelipkan ponselnya di antara telinga dan bahu kiri. Tangannya bergerak lincah mengucir rambut asal karena terburu-buru. Dia pulang terlambat sekitar lima belas menit dari biasanya. Kaus polos berwarna cream dan celana training hitam yang dikenakan terkesan sederhana dan terasa nyaman.
Sembari merapikan meja belajarnya, suara dari seberang sana membuat telinganya berdenyut. Suara cempreng yang suka mengomel itu sudah menjadi rutinitas sehari-hari. Iya, suara Mami yang merindukan dirinya.
"Jangan telat makan, jaga kesehatan, kurangin begadang."
Mami tidak mengerti, bagaimana bisa Zoe mengurangi begadang padahal tugas semakin menumpuk? Bagaimana jika dia tidak terlalu serius dengan kuliahnya, itu berarti Mami akan semakin lama menunggu anak tunggalnya pulang? Bagaimana jika beasiswanya dicabut?
"Begadang juga ngerjain tugas, Mi."
Lagi dan lagi, Zoe bahkan hafal dialog yang akan Mami sampaikan. "Kesehatan itu penting, harus banyak minum air putih juga."
"Iya, iya, udah dulu ya, Mi. Zoe mau lanjutin beres-beres."
Suara dari seberang sana terdengar mengalah. "Iya, Sayang."
Zoe menutup sambungan telepon, ada seseorang yang ingin ia hubungi. Ia menyentuh layar ponsel yang terdapat gambar ponsel di sisi sebelah kanan. Muncul gambar display picture foto selfie dirinya dengan Alfred dan di bawahnya terdapat tulisan berdering.
Masih berdering.
Tetap berdering.
Alfred tidak mengangkat panggilan Zoe.
Memang sudah tengah malam juga di sana, Alfred pasti ketiduran karena menunggu panggilan setelah kesibukan Zoe selesai. Apalagi setahu Zoe, hari Senin ini merupakan hari sibuk Alfred. Kelas full dari pagi sampai sore, rapat himpunan, menjenguk Ben di rumah sakit, dan fokus dengan lagu baru yang sedang diciptakan.
Zoe mengetikkan sesuatu untuk dikirim pada Alfred. Namun, entah kenapa ia merasa ragu. Zoe ingin menuntut banyak dari Alfred, setidaknya semenit saja ia ingin berbicara melalui telepon.
Zoe rindu Alfred.
Zoe
18.35
Al, kamu masih sibuk, ya?
Pesannya langsung dia hapus untuk semua orang setelah dikirimkan.
Zoe
18.36
Kamu udah tidur?
Zoe berpikir sejenak, sebaiknya tidak menanyakan itu. Dia tidak jadi mengirimkan pesan.
Zoe
18.39
Jgn lupa jaga kesehatan ya syg <3
Hanya pesan itu yang Zoe kirimkan.
Zoe melanjutkan beres-beres apartemen yang sebelum ia tinggal pergi kuliah keadaannya sudah seperti kapal pecah.
Menit demi menit berlalu, akhirnya Zoe sampai pada tugas terakhir yaitu buang sampah. Zoe membawa dua kantong plastik sampah yang penuh. Perempuan itu kesusahan ketika hendak membuka pintu apartemen dengan bantuan sikut.
Pintu berhasil terbuka, tapi tubuhnya terhuyung kehilangan keseimbangan. Namun Zoe masih bisa menjaga agar tetap berdiri, untung tidak jatuh.
Sedari tadi, ada sosok yang mengamati setiap gerak-gerik Zoe. Tidak butuh waktu lama untuk Zoe sadar bahwa terdapat seseorang yang berdiri di depan pintu apartemen Sephia—tetangga sebelahnya yang sekaligus teman yang sama-sama berasal dari Indonesia.
"Are you okay?"
Lelaki yang memiliki tinggi di atas rata-rata itu mempu membuat Zoe mendongak hanya untuk mengamati setiap inci wajahnya dengan lekuk indah. Rahang yang tegas, gigi putih berderet rapi, kumis tipis, dan kulit putih bersih—Zoe sampai menganga tak percaya, dalam dugaannya lelaki itu pasti seorang aktor atau model.
Jangan lupakan manik mata biru, seolah hendak menghisap siapa pun yang menatapnya jatuh dalam kesempurnaan nyata.
"I'm o-okay." Zoe merasa gugup.
Lelaki itu kembali menatap pintu apartemen Sephia, kemudian bola matanya bergulir, mengunci Zoe dalam sekali tatap. "Kann ich fragen?" (Bolehkah saya bertanya?)
"Ja, natürlich." (Iya, tentu)
Suara derap langkah seseorang yang semakin mendekat, mengurungkan lelaki itu bertanya. Figur perempuan muncul dengan rusuh. Sephia datang membawa tumpukan buku di tangan. Rambut pendek sebahu itu terlihat lepek, bahunya turun lesu, wajahnya tampak lelah.
Sephia melewati Zoe tidak sempat menyapa. "Mas Adit ngapain ada di sini?" Perempuan itu mendekati sosok yang dipanggilnya 'Mas Adit'.
"Kata Bunda, Sephia susah dihubungi. Hm, kenapa gitu?"
Di tempatnya, Zoe terkejut karena lelaki itu berkata dengan Bahasa Indonesia. Padahal, dari pelafalan Bahasa Jerman lelaki itu sangat sempurna. Seolah sudah berpuluh-puluh tahun tinggal di Jerman. Belum lagi wajahnya terlihat khas orang Eropa.
"Belum sempat, Mas. Tugas-tugas banyak banget, pulang-pulang kadang ketiduran," keluh Sephia.
"Oh, iya, Zoe. Ini Mas Adit."
Lelaki itu berhasil menutup keterkejutannya, ketika Sephia berbicara Bahasa Indonesia pada Zoe.
Tanpa disuruh pun, lelaki itu mengulurkan tangan lalu berujar, "Hai Zoe, saya Aksaraditya Walther."
Zoe menerima uluran tangan itu dengan hangat. "Zoe Zetta. Salam kenal Kak Adit."
Adit tertawa, matanya menyipit. "Panggil saja Adit."
Sore itu, Adit membantu Zoe membuang sampah.
Sore itu, Zoe mengabaikan pesan dari Alfred.
Alfred
23.56
Iya, aku pasti jg kesehatan.
Alfred
23.56
Zoe, aku telepon, yaa