I got you, you got me
When it's us, babe, you make me feel complete
You're all I need.
—Keshi, Understand
• • •
ALFRED memesan secangkir kopi saset yang terdapat gambar perahunya. Di antara jenis minuman di warung pojok milik Babeh Yamin, ini yang lebih baik. Suasana yang sepi dari hiruk-pikuk semrawut jalanan, alasan utama dia dan teman-temannya menjadikan warung pojok ini sebagai tempat tongkrongan sembari menunggu kelas selanjutnya.
Di sisi lain, dekat juga dengan indekos Ale–drumer band Petrikor. Itung-itung ada kesempatan untuk menjarah semua camilan yang Ale punya jika suatu waktu dibutuhkan.
"Sumpah, gue nggak nyangka lo seberani itu buat publish hubungan lo sama Zoe. Soalnya, jarang-jarang loh. Bahkan ada musisi yang nekat sembunyiin status istri sama anaknya demi karir," ujar Ale, jemarinya bergerak membuka kulit kuaci.
Alfred tertawa renyah. "Heh, asal lo tau ya, lo tuh orang yang sekian kalinya tanya begituan ke gue. Abis gimana ya, dari sebelum gue ada di band Petrikor, Zoe udah lebih dulu ada buat gue."
"Iya, sih, apalagi Zoe juga cantik. Takdir selucu itu ya, andai gue dulu yang kenal Zoe. Pasti sekarang dia udah jadi cewek gue." Ale tertawa mengejek. Sebelum tawanya reda, sebuah jitakan sudah mendarat di kepalanya.
Tapi bukan dari Alfred, melainkan dari seseorang dengan celana jeans hitam bolong-bolong yang baru saja turun dari motor matic.
Itu Hugo, keyboardist dari band Petrikor. Lelaki tinggi semampai dengan rahang tegas. Wajah orisinal khas suku Jawa dengan kulit sawo matang menjadi daya pikat utamanya. Namun sayang seribu sayang, kisah percintaan Hugo selalu berakhir tragis dengan masalah yang sama; diselingkuhi.
"Le, le, ya mbok kalo ngomong dipikir-pikir dulu toh. Nggak ada jaminan juga kalo lo dulu yang lebih kenal Zoe, dia pasti udah jadi pacar lo. Mana mau Zoe jadi pacar lo. Urusin rambut lo tuh, udah gembel makin kayak gembel," semprot Hugo.
Rambut gondrong yang bahkan sampai punggung itu sepertinya sudah pantas disebut sarang kecoak. Bukannya terlihat keren seperti Marcello Tahitoe, rambut Ale justru terlihat kumal. Jika Alfred tidak salah menebak, Ale ini tipikal orang yang akan sampoan jika dirasa rambutnya sudah susah untuk disisir.
Ale berdecak. "Gembel-gembel gini juga gue punya pacar, ya. Nggak kayak lo jomblo tersakiti." Sejenak arah pandang Ale beralih pada Alfred. "Pacar nyata ya, pacar yang bisa gue peluk. Nggak kayak si anu yang pacaran di depan layar," sindirnya.
"Sialan, lo!" balas Alfred, mendelik sebal.
Alfred menyeruput kopi itu dengan santai. Sampai ada satu notifikasi masuk dari ponselnya.
Zoe
07.28
Sayang, jgn lupa makan siang ><
Alfred
12.28
Iya, kamu jg jgn lupa sarapan
Zoe
07.29
Okay, wuf u
Alfred
12.29
Wuf u too
Tiba-tiba Alfred merinding, merasakan helaan napas dari belakang kedua daun telinganya. Seperti salah satu adegan di film saat seorang gadis memergoki pacarnya chat-an dengan perempuan lain.
Ale dan Hugo menyembul dari belakang. Disusul senyuman ambigu dari keduanya. Bahkan Ale sambil memonyongkan bibir berkata dengan menirukan suara perempuan yang dimanja-manjakan, "Wuf you too. Aku kangen nih, utututu, muachh."
"Najis, Le!"
Hugo tertawa terbahak-bahak. Di hatinya yang paling dalam, dia bercita-cita memiliki kisah cinta seperti Alfred. Walau terkendala oleh jarak, perbedaan waktu, kesibukan, dan mimpi masing-masing, mereka bisa bertahan dalam waktu setahun lebih. Hugo tahu, itu tidak mudah.
"Gue yang nggak pernah pacaran terkendala jarak aja masih bisa diselingkuhi, gimana lo Al? Sedikit pun lo nggak curiga sama Zoe di sana?" tanya Hugo tiba-tiba.
"Nggak ada. Buat apa gue curiga? Dia di sana lagi fokus sama dunia seninya, gue di sini lagi fokus sama dunia musik gue."
Hugo hanya membalas 'hmm' namun Ale masih penasaran. "Kalo suatu waktu justru lo yang bajingan, ya, anggap aja ada yang lebih istimewa dari Zoe," jeda Ale mengutip kata 'istimewa' dengan jarinya. "Lo gimana?"
Tanpa ragu Alfred menjawab, "Nggak bakal gue biarin 'suatu waktu' itu ada di hidup gue."