Beberapa waktu berlalu, Deva bahkan sekarang lebih sering kambuh dan pingsan. Nathan maupun Iqbal sangat khawatir. Mereka tak ingin orang yang mereka cintai terus merasakan penderitaan seperti itu.
***
"Kak Nathan, kok di sini?"
"Kenapa? Emang gak boleh, ya?"
"Ya boleh sih, tapi maksud aku, kakak senior yang lain masih sibuk ngurus KKN. Kok Kak Nathan gak ikutan? Kak Reza aja juga sekarang dah sibuk banget."
"KKN. Aku gak tertarik sama hal itu. Lagian mana bisa aku ikut KKN, sebelum itu mungkin aku dah pergi."
"Maksudnya, Kak?"
"Iya, ehm maksud aku, aku juga pergi, kok. Mungkin ke tempat yang indah, surga--"
"Ya, Kak. Pasti di pedesaan itu pemandangannya indah. Aku juga gak sabar pengin ikut KKN. Itu pun kalo aku bisa bertahan sampe waktunya."
"Kamu pasti bisa, kok. Aku akan pastiin itu."
---------
Sebulan setelah pertemuan Deva dan Nathan di kampus, mata Deva yang semula terpejam akhirnya terbuka perlahan-lahan. Ia pun melihat sosok lelaki di sana.
"Deva, kamu udah sadar Sayang."
"Iqbal. Aku di mana?"
"Kamu di rumah sakit. Operasi kamu berhasil. Kamu sembuh Sayang."
"Operasi? Maksudnya?"
"Kamu sekarang punya hati yang baru Sayang."
"Bal, tapi siapa yang donorin hatinya ke aku? Kenapa dia korbanin nyawanya buat aku?"
"Dia orang yang baik. Dia pengin selalu bersama kamu dan liat senyum kamu. Sayang, dia titip surat ini buat kamu."
"Surat?"
Dear Vana,
Hai Va. Selamat ya, akhirnya kamu udah sembuh. Yey, aku seneng banget. Kamu harus yakin kalo aku sekarang lagi tersenyum bahagia liat kamu.
Hemm. Aku bingung mau bilang apa lagi. Vava, kalo kamu kangen aku, kamu dateng aja ke rumah aku terus kamu masuk ke kamar aku. Nah, di situ kan banyak foto aku. Mama aku juga pasti seneng kalo kamu dateng.
Aku yakin Iqbal itu lelaki terbaik buat kamu. Kak Nathan udah relain kamu buat dia kok Va. Semoga kalian bahagia terus yaa...
Vava, sekarang aku tau apa alasan Tuhan pertemukan kita lagi. Tuhan pengin aku jadi sumber bahagia kamu. Tuhan pengin aku jadi Guardian Angel kamu. Meskipun kita harus berpisah lagi, tapi yang namanya malaikat itu emang gak terlihat kan? Aku akan terus jadi malaikat yang jaga kamu. Kak Nathan sayang banget sama kamu. I LOVE U from the sky. Semoga hati aku bermanfaat buat kamu ya! Daa Vava...
With Love,
Jonathan Aryatama
"Kak NATHAN!!" Deva menangis.
"Sayang, kamu ikhlasin dia, ya! Kita berdoa biar dia bahagia di sana. Aku juga gak nyangka dia rela berkorban sebesar itu buat kamu. Aku bener-bener berterima kasih sama dia. Sekarang kamu jangan sedih, ya. Aku sayang banget sama kamu, Deva."
***
Deva mendapatkan hidup baru. Dengan hati pemberian Nathan, kini gadis itu tak perlu lagi merasakan sakit. Hal ini tentu patut disyukuri. Tak hanya Deva sendiri, keluarganya—baik itu mama, papa, dan juga Reza, sangat lega. Akhirnya, ada jalan kesembuhan bagi gadis kesayangan mereka. Iqbal juga sama. Dokter muda itu tentu bahagia melihat operasi kekasih yang paling dicintainya bisa berjalan lancar, Deva-nya selamat, bahkan terbebas dari rasa sakitnya.
Namun, terlepas dari jutaan syukur dan limpah kelegaan, terselip hal lain dalam diri Deva. Rasa bersalah. Ya, mungkin itu nama perasaan lain yang kini tengah Deva rasakan. Nathan mengorbankan dirinya demi Deva. Padahal, terakhir kali, Deva bahkan tak bisa membalas cinta Nathan yang masih ada. Deva agak tak rela, mengapa harus seseorang dari masa lalunya yang jadi penyelamatnya? Andai Deva telah mengetahui niatan Nathan untuk menjadi pendonor lebih awal, gadis itu tentu akan mencegahnya terjadi.
Selepas kepergian Nathan seiring hidup baru untuknya, Deva selalu meluangkan waktu mengunjungi tempat peristirahatan terakhir Nathan. Sekadar menyapa, mendoakan, mengajak mengobrol, dan tak henti berucap terima kasih di hadapan pusara pria itu. Sesekali, Deva juga berkunjung ke rumah Nathan, menemui kedua orang tua Nathan. Deva betul-betul mengerti bagaimana terpukulnya mama dan papa Nathan atas kepergian putra tunggal mereka dalam usia yang bisa dibilang masih cukup muda. Meski begitu, mereka sama sekali tak pernah menyalahkan Deva. Mama papa Nathan justru selalu menyambut hangat kedatangan Deva, mereka bahkan sudah menganggap Deva layaknya putri mereka sendiri. Sebab mereka tahu, dahulu, putra mereka amat mencintai gadis itu.
Mama Nathan selalu suka berbincang dengan Deva. Dalam perbincangan mereka, mereka lebih banyak membahas tentang Nathan. Masa kecil Nathan, kenangan ketika Deva masih begitu dekat dengan Nathan, juga pandangan Deva soal bagaimana Nathan di matanya. Terkadang, obrolan itu perlahan mengundang air mata. Namun, alirannya tak sampai deras dan berlarut-larut. Baik Deva maupun mama Nathan sudah sepakat, memutuskan untuk belajar merelakan Nathan bersama-sama. Deva tak pernah keberatan bila harus sering-sering mampir ke rumah Nathan demi menjadi pelipur rindu kedua orang tua Nathan. Bahkan, Iqbal juga pengertian. Saat waktunya luang, pria itu tak enggan mengantarkan kekasihnya ke rumah sang mantan.
“Makasih, ya, Vana Sayang. Kamu udah mau sering-sering main ke sini,” ujar mama Nathan.
Beliau memanggil Deva dengan sebutan ‘Vana’. Sama halnya seperti Nathan yang terbiasa memanggilnya begitu, atau dengan panggilan sayangnya—Vava.
“Sama-sama, Tante. Aku juga seneng bisa ngobrol banyak sama Tante. Jujur, kalo di rumah, aku justru lebih sering sendirian karena mama papa suka sibuk kerja, kakak juga sibuk sama urusan kampus karena udah tingkat akhir. Jadi suka kesepian kalo di rumah sendiri.”
“Ya udah, kalo Vana pengin ngobrol sama tante, ke sini aja, tiap hari juga gapapa. Tante lebih sering di rumah, kok. Handel kerjaan juga dari rumah karena tante kerjain bisnis online shop. Lain sama papanya Nathan yang jarang di rumah, sibuk di kantor, kayak mama papa kamu.”
“Oke, Tante.”
“Kapan-kapan kita juga bisa masak bareng. Vana bisa masak?”
“Uhm, masih dikit-dikit, Tante. Aku baru belajar, ehehe.”
“Hm, gapapa. Gak masalah. Nanti juga bisa belajar sama tante. Biar Vana bisa jago juga nanti.”
“Makasih, Tante.”
Deva memang gadis yang ramah. Ia bisa begitu akrab dengan mama Nathan sekalipun sebelumnya sudah lama tak berjumpa semenjak ia dan Nathan putus hubungan. Tak hanya mama Nathan, sifat Deva juga bisa dengan mudah menarik hati mama Iqbal yang belum lama ini dikenalkan padanya. Langkahnya menjadi calon menantu mama sang dokter sepertinya akan berjalan dengan mulus. Mama Iqbal bahkan sama sekali tak mempermasalahkan perbedaan usia antara sang putra dengan pasangannya. Bagi mama Iqbal, yang terpenting gadis itu bisa membuat Iqbal bahagia, mereka saling mencintai dengan tulus, terlebih Deva memang gadis yang baik dan tak suka macam-macam.