Seorang gadis terduduk di meja dekat jendela. Jari jemarinya sibuk mengetik diatas keyboard laptopnya. Kemudian, ia memasangkan headset ke telinganya. Tiga jam telah berlalu … gadis itu belum beranjak dari tempatnya. Ia terus menatap layar laptopnya dengan penuh keseriusan. Suara hujan yang turun berhasil membuat gadis itu berhenti. Kini, ia sibuk menatap ke arah jendela yang sedang diterpa percikan air hujan. Bibirnya menciptakan senyum yang indah.
“Sejuk,” ucapnya.
Dia adalah Kinara Alka, biasa dipanggil Nara. Namanya mengandung arti yang sangat indah yaitu gadis cantik yang kecantikannya dilindungi. Persis seperti arti namanya, Nara adalah sosok gadis yang cantik dan menawan.
“Huft, akhirnya selesai juga,” ucap Nara sembari meregangkan tangannya yang pegal.
Kemudian, Nara menutup laptop dan memasukkan ke dalam tasnya dan berganti memandangi ponselnya. Kebiasaan gadis itu adalah menghitung waktunya dengan alat pengukur waktu yang ada di ponselnya.
“Ternyata, lama juga, ya?” Gadis itu beralih mengecek jam. “Hah? Jam lima sore?”
Setelah mengatakan itu, Nara langsung bergegas pergi meninggalkan kafe ini. Ia memasuki mobil dan segera berjalan pulang. Sesampainya di rumah, Nara menghembuskan nafas lega. Untung, bundanya belum pulang.
“Dor!” ucap seseorang.
Nara membalikkan tubuhnya. “Eh, bunda sudah pulang?”
Wanita paruh baya itu mengangguk. “Dari satu jam yang lalu, Ra. Kamu kemana aja? Bunda telepon nggak dijawab?”
Gadis itu menyunggingkan senyum di wajahnya serta jari jemarinya yang membentuk angka dua. “Hehe, maaf, Nara nggak dengar, bun.”
“Kamu mengerjakan tugas?”
Nara menggeleng.
Bundanya berusaha menebak kegiatan yang dilakukan anak gadisnya hingga lupa waktu. “Ah! Bunda tahu. Kamu ada project baru?”
Nara mengangguk cepat. “Project kecil, sih, bun. Nara juga belum tahu bakal bisa diterima atau nggak.”
Wanita paruh baya mengusap rambut Nara. “Nggak apa. Bunda percaya sama kamu, Ra. Lakukan apapun yang kamu suka, ya?”
“Siap, bun!”
Setelah percakapan itu, Nara berjalan menuju kamarnya. Ia mengambil pigura yang berisi foto dirinya dan bundanya. Gadis itu tersenyum sambil mengusap pigura dengan lembut. “Makasih karena selalu dukung Nara, bun.”
Hari beranjak malam. Nara duduk di balkon kamarnya sembari menatap langit yang mulai gelap. Gadis itu sedang menikmati teh yang dibuatnya dan menulis di sebuah buku berwarna biru. Setelah merasa cukup, Nara kembali masuk ke kamarnya dan duduk di meja belajarnya. Sama seperti tadi, ia membuka laptopnya dan mulai mengetik disana. Berbekal buku biru, Nara terhanyut hingga jam menunjukkan pukul sebelas malam.
“Hoam! Ngantuknya. Kita bertemu besok lagi, ya!” ucapnya sambil tersenyum.
****
Jam menujukkan pukul tujuh pagi. Nara sudah sampai di sekolah lima belas menit yang lalu. Seperti biasanya, ia hampir terlambat karena tidur larut malam. Namun, Nara tidak terlalu pusing memikirkan hal itu. Gadis itu berjalan menuju kelasnya. Ditengah perjalanan, ia bertemu dengan cowok yang membuatnya banyak menunduk. Cowok itu sedang mengobrol dengan temannya. Cowok itu juga menebarkan senyum yang selama ini menjadi favorit Nara. Sembari menunduk, Nara mempercepat langkahnya. Ia tidak bisa berlama-lama disana karena akan berdampak buruk pada hatinya.
Jam pelajaran telah berlalu. Nara berjalan menuju gazebo yang berada di dekat lapangan. Gadis itu mulai menulis diatas buku biru miliknya. Pandangannya tak lepas dari seorang yang ditemuinya tadi pagi. Nara menulis dengan tersenyum. Sialnya, ia lupa membawa laptop kesayangannya. Padahal … ini adalah momen yang ditunggunya ketika masuk sekolah.
“Ra, lo dipanggil sama Ibu Intan,” ucap seseorang yang memecah fokusnya.
Pandangan Nara beralih ke sumber suara. “Gue? Ada apa?”
“Nggak tahu, beliau bilangnya begitu.”
Nara mengangguk serta tersenyum. “Makasih, ya!”
Sesampainya di depan ruang guru, Nara berjalan masuk pelan. Ia sedikit takut karena semua guru berada di meja masing-masing. Hari ini adalah hari pertama Nara naik ke kelas dua belas. Tahun terakhirnya di SMA ini.
“Permisi, Bu Intan. Ibu memanggil saya?” ucapnya sopan.
Bu Intan mengangguk.
“Begini, Ra. Berhubung kelulusan sudah semakin dekat, ibu akan memetakan seluruh jurusan dan univeritas yang akan ditempuh semua murid kelas dua belas. Kamu belum mengisi form ini, ya?”
Nara mengambil sebuah kertas yang diberikan kepadanya. Kemudian, ia mengangguk mantap.
“Tolong diisi ya, Nara.”
“Boleh saya bawa pulang, Bu? Saya mau diskusi dengan bunda saya dulu.”
Bu Intan mengangguk setuju.
Sepanjang perjalanan pulang, Nara tidak berhenti memikirikan kertas itu. Rasanya, ia ingin memiliki kekuatan super yang bisa mengantarkannya cepat sampai rumah.
Sesampainya di rumah, Nara berjalan menuju kamar bundanya. Gadis itu membuka pintu dengan perlahan.
“Bun?”
“Iya?”
Nara memberikan kertas yang diambilnya dari dalam tas. Bunda membaca dengan perlahan. Kemudian, tatapannya beralih menatap Nara. Wanita paruh baya itu tersenyum sambil mengusap rambut anak semata wayangnya itu.
“Bunda ikut apa katamu saja. Nara udah besar, kan? Pasti tahu yang terbaik buat Nara sendiri.”
Nara memeluk bundanya erat. “Tapi, bun. Mungkin, keputusan Nara ini membuat bunda kecewa. Apa bunda mau menuruti?”
“Apa?”
“Nara mau gap year dulu, bun. Nara mau fokus sama project ini. Karena, project ini spesial untuk Nara, bun. Nara janji, kalau dalam setahun nggak ada perubahan apapun, aku mau menuruti apapun yang bunda mau.”
Bunda tersenyum. “Bunda selalu dukung keputusan kamu.”
“Makasih, ya, bunda yang cantik!”