Siapa murid yang nggak suka jam kosong? Kalau ditanya padaku, jam kosong adalah oase di gurun pasir, seperti hujan di musim kemarau atau lebih mirip jalanan Jakarta yang tanpa macet di hari Senin. Sebagai penganut jamkos paling elite, sudah masuk kelas tiga SMA begini, jamkos adalah hal yang paling jarang terjadi, kenapa, ya guru-guru sekarang rajin banget masuk kelas, padahal kita juga sebentar lagi lulus, kok!
Lagipula, masa-masa ujian itu masih empat bulan lagi, So, jangan kebanyakan belajar dulu, otak kita itu kalau terlalu banyak diisi nanti bisa seperti gelas yang kepenuhan air, terus kalau sudah penuh, nanti isinya jadi terbuang sia-sia. Sayang banget kalau kita udah repot sok berlagak jadai murid ambisius agar bisa masuk perguruan tinggi negeri, eh ternyata hasilnya kadang suka bercanda saja.
“Belajarrrrr…terossss,” kataku sambil menyenggol lengan Karis yang bikin buku catatannya dihiasi coretan pulpen yang agak panjang. “Gameeeee…terosssss,” Karis balik menimpali ledekan itu dengan menyentuh kasar berulang kali layar ponselku.
“Ahhh, Karisss!”
“Ahhh, Kariss,” katanya sambil meniru nada suaraku dengan bibir mirip bebek.
Ya, dan hai. Namaku Serayu, tim martabak keju garis keras, hobinya menggambar dan menerawang masa depan alias suka berimajinasi yang bukan-bukan —dinikahi Min Yoongi misalnya, tapi perlu digaris bawahi, aku bukan seorang K-popers fanatik yang ada di pikiran kalian itu, aku juga suka baca buku dan hal-hal yang ada di pikiran kalian soal apa saja yang dilakukan oleh anak introvert.
Sebenarnya nggak introvert juga sih, karena kalo kata almarhum bapak, “jadi manusia itu, harus bisa menyesuiakan diri, kalau kamu ada di kandang ayam, maka jadilah ayam. Dan kalau kamu berada di kandang bebek, ya jadilah bebek. Jangan muluk-muluk harus jadi dinasaorus biar dilihat orang lain, nanti kamu lelah sendiri.”
Karna itu, tumbuhlah Serayu yang bisa riang ditempat ramai, tapi juga bisa sendirian di kamar seharian. Apalagi, itu sangat menguntungkan diriku yang bercita-cita jadi gamers sejak usiaku masih TK. Kenapa? Ya, kenapa enggak? Kan enak kalau bisa main gim dengan banyak jenis, terus bikin konten streaming deh, terus bisa dapet adsense deh, terus bisa punya banyak uang buat pergi ke Korea.
Kelihatan mudah? Padahal aslinya sama sekali tidak. Kata Ibuk, “Anak perempuan, mau jadi apa kalau cuma bisa main gim? Mau dikasih makan HP nanti anaknya?” Aku ini masih tujuh belas tahun, dan masih belum kepikiran kalau aku mau kasih makan anakku nanti pake lauk apa, please.
Ibuk melarangku jadi gamers, di rumah setiap kali aku mengurung diri di kamar buat main gim online, bisa-bisa Ibuk langsung masuk ke kamar tanpa ketuk pintu, terus mencabut kabel komputerku paksa, alhasil sering banget aku AFK¹ pas lagi main gim. Ibuk bahkan pernah mengancam akan menjual komputerku yang satu-satunya itu, hadiah dari Bapak sebelum meninggal. Waktu itu aku sampai menangis seperti orang patah hati dan janji sma Ibuk kalau aku nggak akan main gim lagi.
Tapi, siapa manusia yang nggak ingkar janji? Karena aku tidak akan melepaskan cita-citaku begitu saja.
Terkadang, rasa bersalah terhadap Ibuk jadi bikin aku tidak fokus main gim, bayangan Ibuk yang kalau marah mirip nenek lampir itu sebenernya adalah sosok yang paling aku sayang. Jadi single parents kan nggak mudah. Aku tahu, Ibuk hanya mau aku punya tujuan yang lebih menjanjikan, yang lebih terarah, bukan cuma bisa main gim.
Tapi, zaman Ibuk dan zaman aku sekarang kan berbeda.
Aku pernah mencoba buat nggak main gim selama dua minggu, tapi rasanya ada yang hilang dari diriku. Kurang nafsu makan, mageran, tidak semangat sekolah, macam orang patah hati gitu. Itu karena aku sudah belajar main gim sejak aku ada di taman kanak-kanak mungin.
Dulu rumah kami bersebelahan dengan adik Ibuk yang namanya Om Daru, dia sering mengajakku maim plays station, dari Down hill sampai Basara Heroes, aku udah pernah main. Hampir tiap sore aku main juga dengan anaknya, si Prabu itu.
Sekarang Om Daru sudah pindah dari Solo ke Bandung, dan kami juga pindah ke Jakarta karena bapak juga pindah tugas. Alhasil aku nggak ada teman main gim lagi.
Waktu aku SMP, alih-alih buat main gim, niat bapak sih waktu itu beliin aku komputer buat memudahkan aku mengerjakan tugas sekolah, tapi sampai sekarang komputer itu yang nemenin aku main gim sepeninggalan bapak lima tahun yang lalu.
Pokoknya, aku harus bisa buktikan ke ibuk, bahwa perempuan selalu bisa jadi apa saja tanpa harus meninggalkan kodratnya. Seperti yang selalu ibuk bilang, kalau perempuan itu adalah peradaban dunia.