Bintang bertebaran indah di langit malam. Raya tak berhenti memandanginya. Dua tangannya ia lipat dan ia letakkan di bawah dagu. Matanya yang sipit-sipit terkena embusan angin yang sejuk.
Tanpa ia sadari ponsel yang sedang ia genggam tiba-tiba berbunyi kencang.
"Ray, belum tidur?" Re mengerutkan kening.
"Belum."
"Sini join. Nongkrong di kafe bareng Fawra sama Kyoo. Ternyata rurmor pacaran, tuh, hoax , lho! Cuma biar si Zyra-nya makin terkenal aja."
"Oh."
Rea bergumam sejenak. "Ada problem? Sini, sini. Ke kafe Neng Ajeng. Setia nunggu, kok."
"Otw."
Raya bergegas mengambil jaket hitam miliknya yang tertata rapi di dalam lemari. Lalu, ia langsung memakainya.
Raya keluar kamar dan menguci rapat pintu. Kaki mungilnya menuruni tangga, melewati abang kesayangan yang sedang bermain game online sendian di ruang tengah.
"Mau ke mana, lu, Cil, malam-malam begini? Mau nyari duda, lu?" celetuk Zaki yang Raya kira abangnya itu tak memperhatikan ia turun.
"Ngaco, lu, Bang! Gue mau healing ke kafe Neng Ajeng situ, lho, bareng trionya Raya," balas Raya yang pandangannya hanya tertuju pada sepatu hitam di depannya.
"Hilang-hiling, kek mikir apaan aja." Zaki melempar batang cokelat tepat di pipi gembul Raya. Raut wajah Raya seketika berubah cemberut.
"Mikirin kapan, ya, ketemu dia lagi?" Senyum miris Raya sedikit terarah pada Zaki
"Doh, doh. Angel, wes. Ndang budhal kono!" ujar Zaki mengelus dada.
"Udah dibilang. Gue, tuh, gak paham bahasa daerah, ih, Bang!"
"Oh, iya, Cantik. Sana berangkat. Nanti keburu kemaleman, lho," bentak Zaki halus.
"Iya, deh. Daaa," ungkap Raya sambil melambaikan tangan.
Hari berganti malam tak membuat kota Bandung menjadi sepi dari pengendara. Raya berjalan menyusuri trotoar putih dengan pandangan ke depan. Dalam benak, Raya masih terbayang kata-kata Zaki.
"Karena saya-lah yang melihat kejadian-kejadian itu sendiri."
"Karena saya."
"Saya."
Deg!
Dada Raya terasa sesak. Ia yakin abangnya tahu alasan mereka tak pernah bertemu Ibu lagi.
Saat Raya tinggal di Jepang selama lima tahun, Zaki sama sekali tak ikut bersamanya. Bahkan, saat Raya masih berada di Bandung dulu, Zaki hampir tak pernah bertemu Raya.
Walaupun mereka tinggal satu rumah, Raya hanya boleh keluar kamar ketika Mama ada di sampingnya. Jika Mama sedang tak ada di rumah, Bi Enggie-lah yang menemani Raya.
Sejak kecil, Raya paling dekat dengan Mama. Sementara itu, Zaki lebih dekat dengan Papa.
Raya sering bertanya kepada mamanya tentang Zaki. Namun, Mama selalu menjawab, "Dia itu Abangmu. Meskipun sekarang belum bisa dekat, tapi Mama yakin suatu hari nanti kalian bakalan saling menjaga satu sama lain."
Tepat umur lima tahun, wanita kelahiran Jepang ini membawa Raya ke negara asalnya. Entah apa yang terjadi dengan hubungan orang tua Zaki dan Raya sehingga harus berpisah negara. Di balik ketidaktahuan Raya, Zaki-lah saksi bisu semua kejadian yang menimpa kedua orang tuanya, kejadian yang belum terungkap dan masih menjadi misteri.
Lima tahun Raya jalani hari-hari di Jepang. Jujur saja, hidup Raya lebih tentram dan bebas di sana.
Tahun berganti tahun. Kini, waktunya Raya kembali ke Indonesia. Raya bertemu lagi dengan Zaki. Mereka merasa asing karena sudah lama tidak bertemu.
Dari situ, keluarga mereka menjadi sedikit harmonis. Mama dan Papa tidur satu kamar. Raya dan Zaki pun satu sekolah.
Tidak terasa, sudah tiga tahun mereka tinggal bersama. Zaki dan Raya kini menjadi akrab dan mengenal satu sama lain.
Namun suatu hari, Mama Raya menghilang layaknya ditelan Bumi. Entah ke mana perginya. Sampai sekarang, mereka belum bertemu lagi dengan Fyanca, Ibu dari Raya dan Zaki. Alvino sebagai suami Fyaca, harus menganggap bahwa istrinya telah tiada. Raya dan Zaki tentu saja tak percaya. Mereka yakin, suatu hari nanti mama kesayangan mereka pasti akan kembali untuk menemuinya.
Kerenn bangeeet. Semangaat!
Comment on chapter Bab 1. Hujan Rintik-Rintik