Begitu aku sampai di rumah, Ari langsung meneleponku. Bilang bahwa nanti malam ada latihan chemistry untuk turnamen di hari Minggu. Aku hanya menjawab "iya" lalu Ari menutup teleponnya.
Setelah itu, Ari meninggalkan pesan melalui WhatsApp.
Aku menghela napas. Ari tahu saja kalau aku biasanya tidur saat jam 8 malam. Dan aku juga tahu kapan Ari biasanya akan tidur, yaitu pukul 11 malam. Atau terkadang dia begadang padahal besok pagi sekolah.
"Tadi sore, Ibuk ketemu sama Ibunya Arik di toko. Katanya kamu mau ikut turnamen game sama Arik?" Ibuku tiba-tiba datang, berbicara di ambang pintu kamar.
Aku mengangguk. "Boleh, kan?"
"Boleh aja. Nanti Ibuk bantu izin ke Bapak."
Yes! Aku mengepalkan tinju ke udara. Tidak mungkin Bapak tidak memberiku izin. Orangtuaku tahu betul bahwa aku sangat menyukai game itu.
"Udah, kamu tidur. Biar besok gak tergesa-gesa."
Aku mengangguk. Kemudian Ibuku menutup pintu kamar.
Pukul 7, aku makan malam bersama bapak dan adikku. Bapak bilang setuju kalau aku mengikuti turnamen (asalkan ada teman ceweknya) aku bilang ada adik kelas perempuan, namanya Yaya. Bapakku ini cukup posesif sekali jika aku memiliki banyak teman laki-laki.
Setelah itu, aku mencabut kabel charger ponsel di kamar. Kubuka aplikasi game, ini sudah mau jam delapan. Aku tidak mau membuat teman setimku menunggu.
Pertama, saat baru saja aku login, username Brainnn—Fajar mengundangku. Di room ranked berisikan lima anggota. Dan aku tidak melihat username milik Ari di room itu.
Ah, pasti dia terlambat.
Lalu aku membuka chat tim.
Brainnn : Hi, Wa
AyayayA : Loh? Venator? Mbak Najwa Venator toh?
Y A N N : Gak nyangka, sih kalau Venator itu Najwa
ThunderBoy : Top Jawa Timur, aseli!
Aku terkekeh-kekeh membaca pesannya. Biar aku tebak. Username AyayayA itu Yaya, Y A N N itu Rian, dan ThunderBoy itu Guntur. Aku langsung mengikuti akun mereka, dan mereka balas mengikuti akunku.
VenatorNox : Arik belum on?
Y A N N : ngudud katanya
AyayayA : Astaghfirullah... Masih muda
ThunderBoy : Biarlah. Dari dulu gak pernah berubah
VenatorNox : 🤣🤣
Y A N N : yaudah ini kita gas?
Brainnn : gas
AyayayA : 2in
Ini pertama kalinya aku Mabar (main bareng) dengan teman-teman satu sekolah lima anggota. Karena ribet mengetik pesan dalam game, Rian menyarankan untuk mengaktifkan microphone. Sepanjang game berlangsung, Guntur yang paling berisik. Namun, lucu juga mendengar suaranya. Dia memegang role roamer dan sebagai pengganti Ari di sini.
Game pertama selesai. Kami cukup hebat untuk memahami satu sama lain.
"Woy! Habis ini aku ikut!" Di microphone Rian, terdengar suara yang tak asing lagi.
"Mas Arik loh nggak diajak!" Guntur balas berteriak dari microphone. Aku bisa membayangkan bagaimana Ari dan Guntur jika ada di satu tim. Pasti ramai oleh celetukan mereka.
"Apasih, Geledek." Arik terkekeh-kekeh.
"Kamu main di rumahnya Rian, ya, Rik?" Aku bertanya.
"Dia yang main di rumahku. Ini Rian main pake hp-ku yang satunya." Arik balas santai karena tahu suaraku.
Aku sudah tidak terkejut kalau Ari memiliki banyak ponsel dan membeli ponsel baru. Bahkan Rian atau teman-temannya yang lain boleh meminjam. Di gudangnya, banyak sekali koleksi ponsel dari berbagai macam merek dan tipe.
Aku dulu pernah diberi kado ulangtahun dari Ari. Isinya adalah laptop yang mereknya mampu membuat keluargaku makan selama enam bulan. Ayahnya Ari bilang ini hadiah kecil dari dia, aku nyaris pingsan mendengar beliau berkata seenteng itu.
Ah, kejadian itu sekitar lima tahun yang lalu. Laptop hadiah dari Ari masih bagus, kurawat baik-baik. Bahkan aku melarang adik bermain di laptop yang mahal itu.
"Satu game lagi, ya? Selanjutnya bisa kita diskusikan besok." Rian berbicara dari microphone.
"Oke!" Aku bersemangat.
"Gimana yang lain?" Rian sangat mendalami perannya sebagai kapten.
"Ikut aja." Fajar bersuara pelan dari microphone. Sejak tadi dia selalu diam.
"Aku udahan dulu, Mas. Disuruh Ibuk ke apotek." Yaya terdengar mengeluh.
"Yaudah biar digantiin sama Arik. Gimana, Rik?"
"Gampang. Ambilin hp-ku." Arik terdengar bersemangat.
Kemudian username AyayayA keluar dari room ranked. Padahal aku berharap bisa bermain dengan Yaya—agar aku tidak perempuan sendiri di tim ini.
"Hp-mu yang mana lagi, Rik?" Kudengar Rian tergelak.
"Hedehh..." Ari menghela napas, mungkin dia mengambil ponselnya yang lain. "Udah, ini aku login."
"Let's gooo!!!" Kudengar Guntur tambah bersemangat. Padahal tadi dia menyumpahserapahi Ari yang tidak ikut bertanding karena merokok.
Game berlangsung dengan seru. Aku tertawa setiap kali Guntur kesal bahkan sampai toxic ke Ari yang sengaja blunder, atau istilahnya bunuh diri di dalam game.
Tolong jangan tiru Guntur ya, teman-teman.
Di game itu, kami kalah. Lalu Ari mengundang kami lagi untuk game selanjutnya. Di last game aku mengantuk karena sudah pukul 9. Sudah lewat waktunya untukku tidur.
Aku tidak lagi percaya dengan kalimat satu game lagi. Karena setiap kalah, kami akan bertanding lagi dan lagi untuk menutupi kekalahan itu.
Di private chat, Ari mengirimkan pesan kepadaku.
KorakiAE : Kalau ngantuk, tidur aja, Wa. Fajar juga mau off. Biar kita bertiga aja yang main. Dah biasa kok
VenatorNox : Iya. Makasih, Rik
KorakiAE : Sama-sama kak
Ujung bibirku tertarik. Ada-ada saja Ari memanggilku dengan sebutan "kak". Namun, menurut tanggal lahir sih, memang aku yang lebih tua. Dan itu tidak penting dibahas untuk hari ini.
Aku langsung keluar dari game. Merebahkan tubuhku ke kasur hingga pinggulku berbunyi krek—efek kelamaan duduk.
***
Memasuki gerbang sekolah, aku langsung bertemu dengan Fajar. Iya. Adik kelasku itu menyapaku dengan riang.
"Diantar, ya?" Tanyaku. Kami berdua berjalan pelan agar bisa mengobrol santai.
"Biasanya diantar Ayah." Fajar menjawab santai.
Aku mengangguk. Baru tahu. Kupikir Fajar naik angkot. "Nanti pulangnya sama aku aja, gimana? Barangkali ayah kamu sibuk kerja?"
"Eh?" Kedua alis Fajar tertarik, lantas dia tersenyum. "Pulang sekolah nanti aku... udah ada janji sama keluarga."
"Yahh..." Aku mengeluh pelan. Ingin bertanya lebih lanjut, tetapi takut kalau Fajar risih karena privasinya terganggu.
"Turnamen hari Minggu, ya..." Fajar bergumam—tentu aku mendengarnya.
"Iya. Dua hari lagi."
Keadaan seketika menjadi canggung. Aku tidak suka situasi seperti ini. Pun aku bingung mencari topik yang menyenangkan. Andai ada Ari di obrolan—
"Waduhh, sainganku bertambah satu."
Baru saja aku memikirkan dia, sosoknya muncul dari belakang, memisahkan jarakku dengan Fajar.
"Saingan apa, sih, Rik?" Aku menghela kasar.
Ari hanya menyeringai. "Nanti kumpul di basecamp OSIS istirahat pertama. Jangan lupa, Jar."
"Oke." Fajar mengangguk.
"Kamu juga jangan sampe tidur di kelas." Ari menoleh ke arahku.
"Dih? Bukannya yang biasanya tidur itu kamu, ya?" Gelakku.
Lagi-lagi Ari menyeringai lebar. "Eh, nanti pas berangkat ke Surabaya pake mobilku aja. Aku juga mau jemput yang lain."
"Apa aja, deh, Rik. Yang penting kita berangkat turnamen sampai final." Aku tersenyum.
"Aamiin... Semoga kita sampe final."
Fajar turut mengangguk pelan. Kulihat dia tersenyum tipis. Bibirnya juga seolah mengeluarkan kalimat, "Aamiin."
***
Inilah yang kutunggu-tunggu. Diskusi tim di basecamp OSIS. Kami berenam berkumpul di sana. Fajar duduk di sebelahku, kulihat wajah Ari cemberut melihat kami berdua berdekatan.
Dia itu aneh.
"Aku udah izin ke ketua OSIS. Kita bisa pake ruangan ini." Kata Yaya yang kemudian duduk bersimpuh di sebelahku.
"Oke. Kita mulai rapatnya." Rian membuka obrolan. Menghela napas, "Kita harus bikin squad. Saran aja, sih, enaknya bikin nama kayak gimana?"
"Yang sangar, Mas." —Yaya.
"Gimana kalau Night Killer?" Guntur memberi saran.
"Killer? Serem ah." Ari bergidik, kurasa dia teringat dengan film horror yang pernah ditontonnya.
"Aduh, Guntur... Kamu aja yang jadi killer. Terlalu garang. Gimana kalau nanti panitia pelaksana gak setuju karena kata-katanya terlalu negatif?" Yaya mengaduh pelan.
Guntur hanya menyeringai.
Aku juga sedang memikirkan sesuatu.
"Phoenix... Gimana kalau Phoenix?" Tiba-tiba Fajar bersuara setelah lama diam.
Seketika semua mata tertuju ke arah Fajar.
"Eh, iya, Phoenix. Menurut mitologi Yunani, Phoenix itu burung abadi. Eh..." Fajar menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
"Lumayan keren, sih..." Guntur manggut-manggut setelah memikirkannya
"Iya iya. Phoenix. Singkatannya PHX. Gimana?" Ari berubah ceria.
Kami semua setuju dengan nama pemberian Fajar. Dalam mitologi Yunani, Phoenix adalah burung abadi. Saat tubuh Phoenix terbakar, dari abunya itu, tumbuhlah Phoenix baru—seperti bereinkarnasi.
"Deal, ya? Team Phoenix." Rian memutuskan. "Rik, buat squadnya. Diamond-mu, kan, banyak."
"OK, Kapten." Ari merogoh ponselnya, membuka aplikasi game. Biaya yang diperlukan untuk membuat squad adalah 199 diamond. Itulah mengapa Rian menyuruh Ari saja yang membuat.
"Sudah aku undang semua. Nanti acc, yo."
"Siap, bosq." —Guntur.
Kami berlima langsung login ke akun game masing-masing. Kemudian menerima undangan squad dari Ari. Ari memberinya nama Team Phoenix dengan singkatan PHX sesuai dengan apa yang telah ia katakan.
***
Hari turnamen tiba. Dan aku sudah tidak sabar.
Aku mengepang rambutku supaya rapi. Ponsel yang aku pinjam dari Ari sudah terisi penuh. Iya. Kami berlima dipinjami Ari ponselnya yang mahal itu. Dia bilang kalau ponsel itu sudah dicek oleh standar ketentuan game.
"Ini hapenya udah yang paling mulus buat kalian. Jangan dirusak, ini cuma buat tanding. Kalau mau ambil, bilang ke aku." Dia bahkan pernah mengatakan kalimat itu. Yaya bahkan sampai syok. Karena ponsel yang dipinjamkan ini harganya sangat fantastis. Ponsel khusus gamer.
Bahkan Ari tidak keberatan kalau ada rekan tim yang mengambil alih pemilik ponselnya. Asalkan mereka memiliki alasan khusus. Aku tidak tahu, Ari ini dermawan atau memang suka saja berbagi. Kuharap dia memperhatikan dirinya sendiri.
Tin! Tin!
Suara klakson mobil terdengar kencang. Aku meraih tas kecil, keluar dari rumah. Kebetulan sekali, Bapak, Ibu, dan adikku sedang ke pasar belanja—dan aku tidak diajak karena ada jadwal sendiri.
"Ayo, Wa!" Teriak Ari dari dalam mobilnya.
Dasar! Mentang-mentang Bapak dan Ibuk tidak ada di rumah, dia seenaknya berteriak di rumah orang.
Aku mengunci pintu rumah, kemudian berjalan menghampiri mobil putih—entah itu mobil Ari yang ke berapa.
Kemudian aku membuka pintu mobil di bangku nomor 2.
Ari menoleh, wajahnya masam. "Kok duduk di situ, sih?"
Aku mengangkat bahu. "Lah terus duduk di mana?"
"Di samping aku aja."
"Enggak mau." Aku menolak. "Ih, buruan jemput Fajar."
Ari memasang wajah datar, kemudian menancapkan gas, melajukan mobilnya ke jalanan permukiman. Sepanjang perjalanan, Ari diam dengan wajah cemberutnya. Aku bis amelihatnya dari kaca spion. Wajahnya yang cemberut itu membuatku ingin tertawa.
Tiba di rumah Fajar, kami menyapa singkat bunda dan adik sambung Fajar yang masih berumur lima tahun (Aku dan Ari baru tahu). Kemudian Ari mempersilakan Fajar memasuki mobilnya. Dia duduk di sebelah Ari, di bangku depan bersebelahan dengan kuris kemudi.
"Eh, hp Mas Ari kemarin kuisi game. Nyoba aja gitu." Di perjalanan, Fajar memulai obrolan.
"Game apa?" Tanya Ari.
"Genshin."
"Owalah. Iya gak apa-apa, Jar." Ari tertawa, rupanya mood-nya kembali membaik. "Itu bisa diisi banyak game kalau kamu mau aja."
Fajar mengangguk sekilas, kemudian dia menoleh ke arah jendela.
Aku memperhatikan obrolan mereka dari bangku belakang. Aku tidak mengerti seperti apa selera laki-laki ketika mengobrol. Yang pasti, obrolan mereka selalu unik dan seru. Apalagi Ari, jangan tanyakan sifatnya yang ekstrovert itu.
Dua puluh menit perjalanan, mobil berhenti di depan sebuah rumah berpagar hitam.
"Kalian tunggu di sini." Kata Ari yang kemudian dia keluar dari mobilnya.
"Wawa," terdengar Fajar menyapaku saat dia menolehkan kepalanya.
"Hm?"
"Kalau semisal aku nanti nggak bisa ikut final, gimana?"
"Apa?" Dahiku terlipat, tubuhku sedikit condong ke depan. "Emangnya kamu mau ke mana?"
Fajar menoleh ke arahku, tersenyum tipis. "Ke mana, ya..."
"Ah, udah jangan dipikirin. Nanti kita berenam naik ke final, harus yakin. Kita udah latihan chemistry, kan?" ujarku.
Jika kemarin aku yang sering minder, sekarang giliran Fajar. Aku harus memberinya kata-kata penyemangat.
"Iya ya... Harus yakin." Seketika Fajar menundukkan pandangan.
"Hello everybody!" Seruan dari luar mobil mengejutkan kami.
Aku melihat dari jendela kaca, ada Yaya, Guntur, dan Rian yang datang dari sebuah rumah.
Aku pun membuka pintu mobil di sebelahku. Menyapa Yaya. "Rumahmu di sini, Ya?"
Yaya terkekeh. "Masih jauh, Mbak. Rumahku di Kecamatan Tulangan. Sengaja kumpul di rumahnya Guntur biar Mas Ari gak repot-repot ke sana."
Aku mengangguk-angguk, menggeser pantat, memberi Yaya tempat untuk duduk.
Kemudian disusul Guntur dan Rian. Mereka berdua memilih untuk duduk di bangku paling belakang.
"Udah siap?" Ari kembali duduk di kursi kemudi, siap untuk melaju bersama rombongan.
"Udah cepet, Mas!" Seru Guntur tak sabaran.
Mobil perlahan melaju membelah jalanan. Mungkin sekitar satu jam lagi sampai di tujuan. Yaya memasang posisi tidur, merangkul gulungan jaketnya sebagai bantal.
Di bangku belakang, Rian dan Guntur tengah menonton film—kudengar filmnya berbahasa Jepang—yang berarti mereka sedang maraton anime. Mereka berdua fokus sekali, aku melongokkan kepala karena penasaran.
"Mbak Najwa mau ikut?" Ujar Guntur.
"Anime apa itu?"
"Kimi no Nawa." Jawab Guntur.
Mataku berbinar. "Movie itu, kan?"
Rian dan Guntur mengangguk. "Mas Rian katanya udah sepuluh kali nonton movie ini."
Rian hanya menyeringai. "Najwa mau ikut nonton?"
Aku menggeleng pelan. Kemudian kembali menyamankan posisi duduknya, menghadap ke depan.
Aku melihat Fajar yang selalu diam dan anteng, sibuk men-scroll beranda Instagram. Aku tidak mau mengganggu dunianya sendiri itu.
Ari sengaja tidak menyetel lagu mobil. Karena dua temannya di belakang sana tengah menonton anime. Sementara Yaya sudah nyenyak tidur bersandar di bahuku. Aku yang bosan, bingung melakukan apa, ikut tertidur.
Entah berapa lama waktu yang kuhabiskan untuk tidur. Saat aku bangun, mobil berhenti di sebuah parkiran luas. Ari mengguncang bahuku—membangunkanku.
"Bangun bangun bangun bangun!"
Aku menegakkan tubuhku, mengusap wajahku yang pucat. Di sebelahku, Yaya masih mulet, mengumpulkan nyawanya.
"Udah sampai, nih. Bangun." ujar Ari.
Aku pun mengambil tas, membuka pintu, lantas keluar dari mobil. Yaya menyusulku setelah menyisir rambutnya yang berantakan (dia membawa sisir segala macam).
"Venue-nya di sini, sih. Nggak terlalu ramai, soalnya pertandingannya privat. Nanti kalau udah final, baru tandingnya di venue yang gede. Ada supporter juga."
Kami berlima mengangguk-angguk setelah mendengar ucapan Rian.
Lokasi pertandingan kami ada di mall, karena aku tidak terlalu tahu tentang Surabaya, tempat ini mirip seperti Lippo Plaza di kota kami. Di bagian hall mall, terpampang banner besar bertuliskan, "Ancient Legends Tournament se-Jawa Timur 2021"
Wajahku pucat pasi. Entah berapa lama lagi finalnya. Yang pasti kontestannya sangat banyak karena mencakup satu provinsi.
"Nama kita udah terdaftar, Team Phoenix. Kita tanding jam sebelas lawan tim dari Nganjuk." ungkap Rian sebagai kapten tim.
"Wih, masih lama." Guntur mengaduh tertahan. Dia bersemangat sejak tadi.
"Masih tiga jam lagi. Mending kita nonton bioskop." Ajak Ari.
"Ah, anti malah gak fokus." Yaya mengibaskan tangan, menolak ajakan Ari.
"Setuju. Kita santai-santai dulu aja, makan kek, beli minum kek." Kataku.
Fajar ikut mengangguk, setuju dengan saranku.
"Ah, yaudah. Ayo cari makanan." Ari lebih dulu berjalan.
"Yes! Ditraktir Mas Ari!" Guntur mengepalkan tinju ke udara. Senang.
Ari melambaikan tangan. "Gampang."
"Hehe. Gak sia-sia punya temen dermawan." Gumaman Rian terdengar di telingaku.
***