TOLONG, ya. Bisa enggak sih Patangga berhenti ganggu saya? Gara-gara Patangga saya disuruh keluar kelas sama Bu Efa—guru fisika. Dan sekarang, saya cuma duduk di luar kelas. Enggak ada kerjaan, bosan, dan disuruh sampai bel istirahat.
Jadi, gini, ceritanya.
Baru saja sampai kelas, bel masuk tepat berbunyi. Saya duduk di bangku saya. Caca—teman sebangku saya—sepertinya ingin mempertanyakan kenapa saya berangkat sesiang ini. Tapi niatnya terurung karena Bu Efa mulai berjalan memasuki kelas. Ia meletakan buku-buku tebal yang dibawanya di atas meja guru lalu menghadap ke arah kami. "Selamat pagi murid-murid. Sekarang saya ingin menyampaikan materi tentang implus dan momentum."
Bla. Bla. Bla.
Oh, saya hampir melupakan Patangga. Dari awal hingga tengah penjelasan materi dari Bu Efa saya lihat Patangga masih terbang-terbang dalam kelas. Ya, tetap saja mata saya terus mengawasinya.
"Yumi, kamu kenapa, sih? Lihat ke atas mulu, ada apa?" tanya Caca sambil mengikuti arah pandang saya.
"Enggak ada apa-apa kok," jawab saya bohong.
"Aku tidur dulu ya. Bangunin aku kalo Bu Efa mulai curiga," kata Caca. Lalu menenggelamkan wajah dalam lipatan tangannya.
Caca itu dapat julukan Ratu Tidur di kelas. Anehnya, Caca pasti tidur di jam pelajaran—maksud saya kenapa enggak di jam istirahat coba.
Sudah, lupakan Caca. Kembali ke Patangga.
Entah mengapa Patangga berhenti melakukan aksi terbang-terbangan di kelas. Lalu Patangga mendekat ke arah saya. Patangga mendorong-dorong buku saya yang ada di atas meja. Ya, tentu saja buat saya terganggu akibat ulahnya. Untung Caca tidur, kalau enggak mungkin sudah pingsan gara-gara lihat buku yang terdorong-dorong sendiri.
Kemudian Patangga menutup buku saya, dan ya kalau teman-teman melihatnya jadi kayak buku yang tiba-tiba tertutup gitu. Tapi untung semuanya masih fokus pada Bu Efa.
Enggak sampai itu saja. Saya membuka bukunya kembali, dan Skitch menutupnya lagi. Apa mungkin Skitch ingin bermain?
Sebelum saya memasuki gerbang sekolah, Eiden bilang gini, "Kalau Patangga selalu ganggu kamu, itu artinya Patangga pengin main sama kamu.".
"Murid-murid buka halaman 145. Kerjakan latihan soalnya," kata Bu Efa di akhir penjelasannya.
Perhatian saya kembali ke Bu Efa. Tapi Patangga menyenggol-nyenggol bahu saya.
"AKU ENGGAK MAU YA ENGGAK MAU!" teriak saya refleks.
Sial. Mulut jahat!
Maksud saya 'kan enggak mau main sama Patangga bukan enggak mau mengerjakan tugas dari Bu Efa. Saya langsung menutup mulut saya. Oke, semua perhatian (kecuali Caca, dia masih sibuk di alam mimpinya) tertuju pada saya sekarang. Saya menelan ludah saat melihat wajah sangar Bu Efa yang sudah merah padam.
"Oh, jadi kamu tidak ingin mengerjakan tugas dari saya? Keluar sana!"
Sumpah, ini adalah pertama kali dalam sejarah hidup saya. KELUAR KELAS CUMA GARA-GARA SAPU TERBANG!
Patangga!
*****
Akhirnya bel yang ditunggu-tunggu berbunyi—bel istirahat. Setelah Bu Efa keluar kelas, saya segera masuk ke dalam kelas.
"Dalam sejarah, pertama kali aku liat Yumi disuruh keluar kelas," kata Anta (bukan Unta ya, karena dia enggak punya punuk) sambil terbahak-bahak.
"Tercoreng, deh, gelar siswa teladannya," tambah Gilang (pakai 'ng' kalau enggak jadi gila).
Ini asli ya, saya memang dapat gelar siswa teladan. Prestasi yang unggul dan sikap yang baik membuat saya mendapatkan gelar itu. Namun seketika hancur cuma gara-gara sapu terbang yang selalu mengikuti saya. Kesal, serius!
"Berisik kalian semua!" kata saya, kesal.
Dengan kesadaran yang baru terkumpul, Caca langsung menggamit lengan saya. "Ke kantin yuk, aku laper nih," kata Caca.
Saya menggeleng, entah mengapa tidak ada nafsu makan. "Aku enggak mau Ca," kata saya.
"Oke, kalau kamu enggak mau, mau nitip apa?" tanya Caca. "Biar sekalian aku beliin," lanjutnya.
Saya menggeleng lalu membalas, "Enggak usah Ca. Aku mau lanjut baca novel."
"Aku ke kantin dulu, bye."
Kini, hanya tersisa saya dan Deco di kelas. Saya lihat Deco yang masih sibuk dengan ponsel yang digenggamannya, sedang bermain game online sepertinya. Deco itu lelaki yang berpenampilan cupu, kacamata tebal, dan pita merah kupu-kupu yang selalu bertengger di kerah seragam menjadi ciri khasnya.
Saya mengeluarkan novel dari dalam tas dan langsung membacanya. Patangga memukul tangan saya, membuat saya meringis sambil mengelus-elus tangan saya yang memerah akibat Patangga.
"Patangga! Bisa enggak sih diam? Jangan ganggu aku! Mau baca novel nih," kata saya sedikit berbisik, kalau enggak, mungkin nanti Deco jadi curiga.
Takut disangka gila karena bicara sendiri.
"Kamu udah ke ruang guru belum?" tanya Deco tiba-tiba.
Saya bingung. "Kenapa memang?"
"Oh, aku kira kamu keluar kelas disuruh pergi ke ruang guru," kata Deco dengan wajah datarnya.
Saya kasih tahu nih, setiap bicara dengan Deco pasti enggak ada nyambung-nyambungnya. Enggak mudeng-mudeng.
"Ngapain kamu ke ruang guru?" tanya Deco.
Saya emang enggak menjawab pertanyaannya. Kalau saya jawab nanti saya sama Deco sama-sama enggak mudeng-mudeng. Jadi ikutan gila, deh, nantinya.
"Kamu ngerasa enggak sih, biasanya kalau siang gini kelas pasti panas. Tapi tadi pas pelajaran Bu Efa, kayak enggak ada panas-panasnya gitu. Terus aku juga ngerasa kayak ada banyak angin di kelas kita pas pelajaran Bu Efa. Kamu ngerasain nggak?" tanya Deco dengan mata yang masih menatap layar ponselnya.
Saya tahu obrolan ini menyangkut Patangga. Iyalah! Patangga yang terbang-terbang di atas kelas pasti menghasilkan banyak angin dalam aksinya itu.
"Enggak tuh. Aku enggak ngerasain apa-apa, biasa aja," kata saya, bohong.