GARA-GARA tidur di lantai, badan saya terasa remuk-remuk. Belum lagi kepala saya yang sedikit benjol akibat Patangga. Kalian tahu? Tadi Patangga mengetuk-ngetuk kepala saya dengan ujung tubuhnya—gagang sapunya. Walaupun, sepertinya itu usaha Patangga untuk membangunkan saya. Tapi enggak gitu juga, keles.
"Patangga diam di sana!" perintah saya yang membuat terdiam. Sepersekian detik kemudian Patangga kembali bergerak-gerak di udara.
Kini, saya sedang memikirkan bagaimana saya menjelaskan tentang Patangga pada Papa, Mama, dan Eron. Dan, ya, hari ini juga saya sekolah. Mana mungkin saya berangkat dengan Patangga? Akan menjadi hot news di sekolah nantinya.
Saya mondar-mandir sambil mengetuk-ngetuk dagu dengan jari. Patangga juga ikutan di belakang saya! Sumpah, ya, ingin sekali saya mematahkan tubuh Patangga lalu membuangnya sejauh mungkin.
Pasrah. Itu yang saya putuskan. Saya menggendong tas dan turun ke lantai bawah. Oke, jangan lupakan Patangga yang terus-terusan mengikuti saya dari belakang.
Papa, Mama, dan Eron sudah ada di meja makan. Saat melihat saya, Eron menghentikan sendok di udara dengan mulut yang terbuka. Mama juga menghentikan kegiatannya untuk menaruh lauk di piring Papa. Papa, ekspresinya biasa saja, sih.
Saya duduk di kursi sebelah Eron. Patangga sudah berdiri tegak di udara, di sebelah saya.
Halo? Semuanya seperti dalam pengaruh sihir penghenti waktu.
"Papa udah tahu masalahnya. Patangga 'kan namanya? Milik lelaki yang bernama Eiden Alaric?" tanya Papa, memecah bekunya suasana.
Saya mengangguk. Jangan lupakan jika Papa punya ilmu sihir. Tentu saja Papa tahu apa yang terjadi.
"Kak, Eron nanti pinjem Patangga, ya."
"Mama nanti pinjem, boleh ya? Buat nanti ke pasar, naik Patangga. Biar nanti Mama terkenal, deh, terus Mama masuk televisi. Jadi artis deh Mama."
Saya bingung harus membalas apa. Akhirnya Papa mulai berkata, "Patangga hanya nurut sama Yumi. Semuanya ada dalam kendali Yumi. Itu sudah menjadi kebijakan Kementerian Sihir. Setiap Yumi pergi, Patangga pasti mengikutinya."
Mama sama Eron terlihat kecewa sedangkan saya cengo mendengarkan penjelasan Papa. Satu hal yang membuat saya kesal 'setiap Yumi pergi, Patangga pasti mengikutinya'. Apa saya ke kamar mandi pun Patangga akan mengikuti?
Oh, tidak!
"Yumi, apa kamu tahu masalahnya?" tanya Papa yang hanya saya balas dengan gelengan kepala.
"Nanti juga Eiden cerita ke kamu," kata Papa.
Emang harus Eiden, ya? Kenapa enggak Papa saja? Kalau Papa tahu, kenapa enggak langsung jelasin? Aneh.
"Karena Eiden lebih tahu, bukan Papa," sahut Papa seolah tahu apa yang saya pikirkan.
Setelah mengakhiri sarapan, saya meminum segelas susu. Kemudian berpamitan kepada Papa sama Mama untuk berangkat ke sekolah.
Oh, ya, Eron Mahendra. Umur kita berdua hanya selisih satu tahun saja. Eron yang masih duduk di kelas 3 SMP dan saya kini kelas 1 SMA.
Baru saja saya membuka pintu. Langsung dikejutkan oleh hadirnya seorang lelaki berjubah. Siapa lagi kalau bukan Eiden?
"Hai," sapa Eiden ramah. "Aku tampan, ya?" tanyanya sambil menyugar rambut ke belakang.
Tong sampah tong sampah.
Tong sampah mana, sih?
Saya pengin muntah, nih.
"Eh, kamu gila ya! Tuh, pakaianmu serba hitam, jubahmu kepanjangan juga! Bahaya kalau banyak orang tahu kalau kamu penyihir. Kali-kali kamu pakai pakaian normal bisa 'kan? Enggak usah hitam-hitam gini!" omel saya. Karena saya melihat ibu-ibu yang lewat depan rumah sambil menatap serius Eiden.
Eiden menaikkan sebelah alisnya. "Apa kamu juga enggak mikir? Patangga ada di samping kamu? Apa kamu mau satu kompleks heboh gara-gara ada sapu terbang."
Eh, iya juga, sih. Tapi, ibu-ibu tadi hanya menatap serius saja, itu pun ke arah Eiden. Enggak ada raut ketakutan yang ibu-ibu itu tunjukkan.
"Santai. Aku udah sihir semuanya," kata Eiden. "Kamu enggak usah cemas," lanjutnya yang membuat saya bernapas lega.
"Semua orang kamu sihir?"
Lagi-lagi Eiden menyugar rambutnya ke belakang. "Aku udah sihir Patangga, jadi Patangga hanya bisa dilihat sama aku, kamu, dan keluargamu. Penampilan aku juga udah aku sihir, jadi orang lain lihat aku kayak orang normal, ya, pakai celana jeans dan kemeja. Tapi kamu sama keluargamu, tetap lihat aku kayak penyihir yang pakai jubah sama pakaian serba hitam."
Saya mengangguk mengerti. Ya ampun, saya sampai lupa jika saya harus segera berangkat sekolah. Oh ya, saya kalau berangkat sekolah jalan kaki. Sekolah saya juga enggak terlalu jauh, jadi saya enggak perlu ngeluarin ongkos.
"Aku temani kamu berangkat sekolah. Karena hari ini adalah hari pertamamu sekolah bersama Patangga."
Mau enggak mau saya mengiyakan saja. Penglihatan saya enggak mau lepas dari Patangga, gerakannya sangat lincah di udara. Putar sana, putar sini, balik kanan, balik kiri.
"Lihatinnya biasa aja!" tegur Eiden yang membuat saya mendengus.
"Aku punya cokelat mata kodok, gulali merica setan, dan permen magic boom. Kamu mau enggak? Oh, ya, Madam Wezta pernah bilang kalau permen bisa membantu dalam berkenalan."
Demi apapun, saya baru mendengar nama-nama permen aneh itu. Baru dibayangkan saja sudah buat bergidik ngeri. Cokelat mata kodok, apa bahan utama pembuatannya mata kodok? Ih. Gulali merica setan, yakin mericanya punya setan? Serem. Magic boom, saya enggak tahu gambarannya, mungkin ledakan-ledakan?
Saya mengerutkan dahi, bingung. "Madam Wezta? Siapa dia?"
Eiden memperlihatkan senyum simpulnya. "Dia guruku."
"Emang kamu sekolah?"
Saya lihat Eiden berdecak lalu berujar, "Bukan sekolah sih, tapi lebih condong ke asrama. Madam Wezta adalah guru yang mengajar kelas ramuan."
Oh, jadi begini rasanya berteman dengan penyihir. Ternyata seru juga.
"Jadi kamu mau enggak permennya? Apa perlu aku tunjukin satu-satu dulu," kata Eiden sambil memajukan satu tangannya ke depan.
Tring!
Tangan yang semula kosong, tiba-tiba ada tiga butir cokelat. "Nah, ini namanya cokelat mata kodok."
Cokelatnya kayak cokelat pada umumnya. Bentuknya bulat seukuran mata kodok—sepertinya. Maka dari itu dinamakan cokelat mata kodok, kali ya?
Tring!
Cokelat mata kodoknya sudah hilang tergantikan dengan semacam gulali. "Yang ini namanya gulali merica setan. Gulali dengan rasa peppermint yang bakal buat telingamu keluar asap."
Saya tambah bergidik ngeri dengarnya. Emang serius nanti dari telinga keluar asap? Kebakaran, dong.
Tring!
Gulali merica setannya sudah hilang. Kini sudah ada permen tusuk yang menggantikannya. "Ini permen magic boom. Permen yang meledak di lidah, kayak ada suara bom yang terdengar di telingamu. Menurutku, permen ini aku anggap kayak raja di antara kerajaan gula-gula yang lain. Serius, seru!"
Saya menelan ludah. Permen yang meledak di lidah, kayak ada suara bom yang terdengar di telinga. Dia bilang itu seru?
"Udah deh, nih yang magic boom aja. Cobain, dijamin seru," tutur Eiden sambil memberikan satu permen tusuk magic boom.
Dengan pelan saya membuka bungkusnya dan memasukannya ke dalam mulut.
Bom.
Bom.
Bom.
Yakin, suara itu terdengar sampai ke telinga saya. Rasa permennya sulit didefinisikan karena sensasi ledakan-ledakan kecil yang lebih mendominasi di lidah.
"Tutup mata sama telingamu," kata Eiden. Saya langsung menuruti perkataannya.
Saya langsung menutup mata sama telinga. Ya, ini, benar-benar sangat seru! Bermain ledakan dalam lidah dan suara bom yang terdengar sangat nyata di telinga.
Eh, tiba-tiba ledakan dan suara bomnya berhenti. Saya membuka mata, ternyata permennya sudah habis.
Menyebalkan!