Hari berikutnya, Pak Galfin benar-benar tidak datang ke kantor, tapi dia masih menghubungiku lewat pesan dan telpon. Dan karena Pak Galfin sedang tidak ada di kantor, maka waktu istirahat kali ini akan aku gunakan untuk memperbaiki hubunganku dengan Windy.
Dengan semangat membuncah aku berjalan menuju ruangan Windy, berniat segera menyelesaikan kesalahpahaman kami. Sebenarnya dari kemarin aku ingin melakukan hal ini, tapi karena kemarin aku sama sekali tidak menemukan kehadiran Windy, maka terpaksa aku menunda niatku hingga hari ini.
Aku sampai di depan pintu ruangan Windy, sedikit menimbang-nimbang aku lumayan ragu untuk mengetuk pintunya. Setelah beberapa menit berpikir, ku beranikan diri untuk mengetuk, tapi belum sempat tanganku menyentuh pintu itu, Windy lebih dulu muncul, dia terlihat terkejut mendapati kehadiranku.
"Win, gue—"
"Ikut gue sebentar, Jay" belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, Windy lebih dulu menyeretku pergi mengikutinya.
Aku sedikit bingung, tapi tetap ku ikuti kemana kakinya melangkah.
"Duduk, Jay" Ternyata Windy membawaku menuju pantry di lantai dua, dan kebetulan sepi, sepertinya para karyawan menghabiskan waktu istirahatnya untuk makan di luar kantor.
Windy mendudukanku pada kursi disebelah kanan meja, kemudian dia duduk disebelah kirinya, posisi kami saling berhadapan.
Windy menatapku, suara napasnya yang tercekat bisa aku dengar dengan jelas, tapi mulutnya bungkam, dia hanya menatapku tanpa mengatakan sepatah katapun.
Setelah beberapa menit Windy kembali mengambil napas, satu tangannya bergerak meraih tanganku. "Jay...." ucapnya. Suaranya terdengar berat.
Aku menatapnya sabar, menunggunya melanjutkan kalimat yang mungkin hendak dia sampaikan padaku. Tapi setelah beberapa menit menunggu, Windy belum juga membuka suara, hanya deru napas kami yang teratur yang mendominasi ruangan ini.
Ku alihkan pandanganku menuju lantai, suasana yang tercipta terlalu canggung. Aneh rasanya bertatap muka dengan seseorang yang sempat terlibat pertengkaran, terlebih orang itu adalah sahabat kita sendiri.
"Win...." ucapku pada akhirnya. Terlalu lama diam hanya akan membuang waktu dan tidak akan menyelesaikan masalah. Jadi biarlah Windy menyimpan dulu apa yang ingin dia katakan, karena sekarang waktunya aku untuk menyelesaikan kesalahpahaman ini.
"Gue minta maaf, gue udah jelasin sama lo kalo gue emang nggak punya perasaan apapun sama Annan. Kalo lo masih nggak percaya, gue bisa buktiin. Lo harus tau, gue bahkan udah nerima Pak Gal—"
"Nggak Jay, lo nggak perlu buktiin apapun" Windy memotong kalimatku. "Gue sadar, selama ini gue yang salah" matanya bergerak gelisah. "Masalah Annan yang suka sama lo, itu hak Annan. Kaya gue yang suka sama dia, dia juga berhak suka sama lo. Harusnya gue nggak marah sama lo, gue minta maaf" lirihnya.
"Gue udah bikin lo jadi bahan omongan orang-orang satu sekolah, gue juga nuduh lo yang nggak-nggak, padahal selama ini gue tau, lo cuma suka sama Edgar. Setiap waktu lo selalu cerita soal Edgar sama gue, walaupun sebenernya gue males dengerin cerita lo. Tapi se-enggaknya itu membuktikan kalo lo emang nggak punya perasaan apa-apa sama Annan. Maafin gue ya, Jay?" lanjutnya.
Untuk beberapa saat aku membeku, otakku mencerna dengan lambat maksud dari perkataan Windy.
"Lo mau maafin gue kan, Jay" Suara Windy kembali menginterupsi.
Aku tidak salah dengar, kan?
"Jay...." Genggaman tangan Windy semakin erat, aku bisa merasakannya. Ku tatap Windy sekali lagi, memastikan bahwa apa yang aku dengar adalah nyata. Windy tersenyum.
Aku ikut tersenyum. "Iya Win, gue juga minta maaf" balasku, segera aku menghambur memeluk Windy, menyalurkan rasa bahagia dan rinduku yang begitu besar.
Seminggu tanpanya hidupku benar-benar hampa. Tak bisa aku menghabiskan hari tanpa bergibah dengannya.
"Gue tau lo pasti kangen banget sama gue, Win" selorohku.
"Nggak Jay, lo yang nggak bisa hidup tanpa gue"
"Pede gile, buset!" kami tertawa bersama.
"Anjir Jay!" Windy memekik, menglonggarkan pelukannya kemudian memegang bahuku. Dia menatapku penuh selidik.
"Kenapa Win?"
"Coba sini gue rasain sekali lagi" Windy kembali menarikku ke dalam pukannya, di belakang telingaku dia berbisik dengan pelan. "Tete lu nempel Jay, kerasa banget di gue"
Monet!
*****
"JAY! LO UDAH GILA!” segera ku bekap mulut Windy tergesa-gesa, dia membuat kami menjadi pusat perhatian pengunjung lain.
"Iya! Diem anjir! Jangan teriak-teriak!"
Setelah aksi berpelukan seperti teletubbies selesai, kami akhirnya memutuskan untuk makan siang bersama. Kebetulan hari ini Pak Hasan sedang baik, dia membiarkan Windy istirahat tanpa harus mengerjakan perintah-perintah tidak masuk akalnya dulu.
“Bener-bener udah gila ya, lo? Terus gimana sama Edgar?" tanyanya menggebu-gebu, tapi mulutnya masih dengan lincah mengunyah makanan.
Aku menyendok baksoku. "Katanya lo nggak suka gue mikirin Edgar terus?"
“Iya, tapi bukan begini maksudnya. Cuma buat buktiin kalo lo nggak ada perasaan apa-apa sama Annan lo sampe ngorbanin perasaan lo sendiri? Lo emang udah gila!" sulutnya. Aku dengan setia mendengarkan ocehannya yang mungkin tidak akan berakhir sampai dua jam ke depan.
Windy marah, dia langsung menghujaniku dengan kata-kata mutiaranya —sumpah serapah, saat aku menceritakan tentang hubunganku dengan Pak Galfin. Dia bilang aku bodoh.
"Bisa-bisanya lo jadian sama Pak Galfin padahal lo nggak ada perasaan apa-apa sama dia" mengibaskan tangan di depan wajahnya, Windy meneguk setengah minumannya. Sepertinya dia kepedasan karena setengah dari kuah baksonya adalah sambal.
"Jangan egois Jay, jangan kaya Edgar yang suka ngasih harapan ke orang lain. Lo sendiri juga kan pernah ada di posisi itu, pasti sakit ketika orang yang lo cinta bersikap seolah ngasih feedback yang sama padahal cuma bullshit" aku menghentikan suapan baksoku. Benar, sakit rasanya ketika kita berharap pada seseorang yang tak mempedulikan perasaan kita.
Layaknya aku yang sakit hati melihat Edgar bersama Dera, Pak Galfin pasti lebih sakit lagi karena aku menerimanya tanpa perasaan. Aku hanya menjadikannya alat untuk memperbaiki hubunganku dengan Windy.
Lalu apa bedanya aku dengan Edgar?
Aku bergeming, baru terpikirkan akibat dari kebodohanku yang seenak jidat ini.
"Jangan kecewain Pak Galfin, mending lo langsung jujur aja sama dia, dari pada nanti makin ribet urusannya"
Benar. Sekali lagi aku setuju dengan perkataan Windy. Tapi aku tak mau jika harus segera mengakhiri hubunganku dengan Pak Galfin.
Aku tidak mengerti dengan perasaanku, disatu sisi aku senang saat Pak Galfin mengatakan bahwa dia mencintaiku. Tapi di sisi lain aku juga merasa bersalah karena telah menerima pernyataan cintanya padahal aku sendiri masih ragu dengan perasaanku. Dan karena hal itulah aku jadi takut.
Aku takut Pak Galfin akan marah dan menjuh dariku jika mengetahui hal ini.
Harusnya aku mengatakan yang sejujurnya pada Pak Galfin, aku memang mulai menyukainya, tapi tidak tahu menyukai dalam arti seperti apa. Karena sampai sekarang, aku masih belum bisa melupakan Edgar.
Entahlah, aku sendiri juga tidak tahu, walaupun bayangan Edgar perlahan-lahan mulai menghilang, tapi aku merasa kalau aku masih mencintai Edgar.
Aku akui aku memang bodoh karena masih mengharapkan Edgar yang jelas-jelas sudah menjadi milik Dera. Tapi ini masalah hati, aku tidak bisa menyangkal kalau aku memang masih mencintai Edgar. Aku merasa, sebenarnya Edgar juga memiliki perasaan yang sama denganku, hanya saja ada sesuatu yang menghalangi kami untuk bersama.
"Gue tau lo memang terpaksa, Jay, tapi tolong jangan ngorbanin perasaan orang lain juga. Apalagi Pak Galfin nggak ikut andil dalam masalah ini?" Windy menjeda sebentar, meneguk sisa minumannya hingga tandas kemudian kembali mengucapkan kalimat yang sukses membuatku ngeri. "Jangan sampe lo menyesal di kemudian hari"
Aku tercekat, susah payah menelan makananku dengan hati gelisah. Bagaimana jika nanti Pak Galfin marah dan menjauhi ku?
"Nggak bisa Win, gue nggak mau putus sama Pak Galfin" lirihku. Entah apa yang membuatku memiliki kepercayaan diri untuk mengatakan hal itu.
"Gue sayang sama dia"
"Jangan bohong! Gue bukan baru kenal sama lo sehari dua hari, Jay!" Windy menatapku tajam. "Jangan bikin gue semakin merasa bersalah, Jay. Gue tau semua ini terjadi gara-gara keegoisan gue" tatapannya kembali melembut. "Karena gue, lo sampe harus ngorbanin perasaan lo" Windy terisak. Dia menangis menyalahkan dirinya sendiri atas keputusanku.
Aku manarik napas dalam, merutuki kebodohan ku yang mengambil keputusan tanpa lebih dulu memikirkan akibatnya.
"Nggak Win, ini bukan karena lo. Ini pilihan gue" kutarik Windy dalam pelukanku. "Gue nggak akan menyesal atas keputusan gue, dan kalaupun terjadi hal-hal yang nggak diinginkan, gue nggak akan melibatkan lo atau siapapun dalam hal ini" ucapku.
Aku memang bodoh, tapi mau bagaimana lagi? Semuanya sudah terjadi. Yang bisa aku lakukan saat ini hanyalah berdoa semoga aku mendapatkan akhir yang indah.
*****