Aku masih tidak percaya, tadi malam Pak Galfin benar-benar mengantarkan aku pulang, selamat, sampai rumah. Pak Galfin bahkan mentraktirku dulu sebelum mengantarkan aku pulang. Aneh, sikap Pak Galfin mendadak sangat baik padaku. Saat pertama kali bertemu, dia memang sudah baik, ramah, dan murah senyum. Dia bahkan memberiku uang walau belum benar-benar mengenalku.
Namun akhir-akhir ini, Pak Galfin menjadi lebih baik lagi padaku, dia juga sering tersenyum. Walaupun aku tahu pada dasarnya dia memang murah senyum, tapi senyum yang dia suguhkan terlalu banyak dalam beberapa hari terakhir ini. Aku bahkan pernah memergokinya sedang senyum-senyum sendiri.
Aku khawatir, jangan-jangan penyakit Pak Galfin sudah mulai kambuh? Tapi kalau pun memang benar begitu keadaannya, itu tidak akan mengubah perasaanku padanya, aku tetap suka. Maksudku, aku suka dengan perubahan sikap Pak Galfin yang menjadi semakin baik padaku. Sungguh, aku tidak bohong, itu faktanya.
Fakta lain, Windy masih belum memaafkanku, dia masih mengira kalau aku mengkhianatainya. Tadi pagi, saat berpapasan denganku di depan pintu masuk, dia hanya melewatiku tanpa senyum. Aku sedih, dia tidak mau percaya padaku walau aku sudah mengatakan yang sejujurnya.
Situasi ini sangat menyulitkanku, dimana aku biasa menghabiskan banyak waktu dengannya —walau bukan untuk hal yang berguna— namun sekarang dia sama sekali tidak menganggap keberadaanku. Aku tidak tahu bagaimana cara menyelesaikan semua kesalahpahaman ini, aku belum menemukan cara yang pas.
Seperti kata Pak Galfin, mungkin Windy akan percaya padaku jika aku membuktikan dengan tindakan, bukan dengan penjelasan. Tapi, apa yang harus aku lakukan?
Apa aku harus mempunyai pacar dulu agar dia percaya kalau aku memang tidak menyukai Annan? Atau bahkan dia ingin aku pindah sekolah saja?
Tidak, itu ide buruk.
Kembali aku berpikir, namun sepertinya hanya dua opsi itu yang ada di kepalaku. "Masa gue harus punya pacar dulu baru dia bisa percaya sama gue?" Aku menggaruk kepalaku yang tak gatal.
Yah, aku tidak mau pindah sekolah, itu merepotkan. Jadi sepertinya punya pacar adalah opsi terbaik yang aku punya saat ini. Dan lagi, akan lebih mudah bagi Windy untuk percaya padaku kalau aku benar-benar tidak memiliki perasaan terhadap Annan.
Tapi, dengan siapa aku harus berpacaran?
Edgar? Dia saja masih berpacaran dengan Dera, masa aku harus menunggunya putus dulu? Itu terlalu lama, butuh waktu dan proses yang rumit jika aku ingin bersama Edgar.
Arkan? Kakak kelasku yang tampan dan tajir? Dia terlalu cerewet.
Bobi? Pentolan sekolahku yang seksi ? Dia bukan tipeku.
Arkan? Ketua rohis yang baik dan disiplin? Dia terlalu baik.
Ethan? adik kelas tampan dan berwibawa yang digadang-gadang akan menjadi ketua Osis selanjutnya? Dia terlalu friendly—
Tidak, tidak. Jangan buru-buru menolak, karena diantara mereka semua sepertinya tidak ada yang mau jadi pacarku juga.
Lalu siapa?
Adakah seseorang yang bisa aku mintai tolong untuk menjadi pacarku? Aku tidak tahan jika Windy terus menjauhiku!
Aku tidak bisa membuang penatku jika tidak mendengarkan ocehan panjangnya. Aku tidak bisa tertawa lepas jika tidak melihat tingkah anehnya. Aku tidak bisa tanpanya! Selama ini dialah satu-satunya orang yang mau menemaniku disaat suka maupun duka. Dia satu-satunya orang yang mau mendengarkan curhatanku dikala aku ingin. Dia satu-satunya orang yang mau membelaku disaat ada orang lain yang mencela. Dia sahabatku, aku tidak bisa menjalani hariku dengan benar tanpanya.
Ah! Kenapa aku begitu bodoh? Kenapa aku tidak meminta tolong kepada teman sekelasku saja untuk berpura-pura menjadi pacaraku, setelah Windy memaafkanku, barulah aku berpura-pura lagi kalau aku sudah putus dengannya. Iya, itu bagus, itu ide yang sangat cemerlang. Tanpa harus melibatkan Edgar, aku bisa meminta bantuan pada Nazil atau pun Novan, mereka pasti mau membantu.
"Neng, tadi Ibu ketemu Galfin di parkiran, katanya dia nunggu kamu disana" ucap Bu Nisa tiba-tiba. Dia datang dengan kipas portable kecil yang dia sorotkan pada wajahnya. Sepertinya dia kepanasan.
Aku mengerjap, menyingkirkan dulu ide cemerlangku dan beralih mencermati apa yang baru saja Bu Nisa sampaikan.
Pak Galfin menungguku di parkiran? Untuk apa? Kenapa tidak datang langsung saja kesini?
“Buru Neng, Galfin nungguin kamu, kayanya dia mau minta temenin survei lagi, hari ini pak Aziz nggak masuk" ucap Bu Nisa lagi. Aku mengangguk, sebelum menyusul Pak Galfin, ku sempatkan beberapa detik untuk mengucapkan terima kasih kepada Bu Nisa, dia membalasnya dengan senyuman.
*****
"Kita mau survei lagi, Pak?" tanyaku setelah Pak Galfin melajukan mobilnya meninggalkan parkiran kantor.
"Bukan" jawab Pak Galfin sedikit mengukir senyuman, aku menatapnya heran.
"Lah, terus? Ngapain kita keluar? Inikan masih jam kerja" tanyaku bingung.
Sepertinya Pak Galfin ingin bunuh diri, berani-beraninya dia mengajaku keluar saat jam kerja masih berlangsung. Kalau dia mengajakku keluar untuk kepentingan kantor seperti survei, melakukan pemenuhan dokumen, atau membeli ATK, mungkin di izinkan, atau bahkan dianjurkan. Tapi untuk hal yang tidak ada tujuannya seperti ini? Siapa yang akan memberikan izin? Yang ada dia bisa dipecat.
"Sebenernya hari saya nggak kerja, hari ini saya kuliah" jawab Pak Galfin masih dengan senyum manisnya.
"Terus ngapain pagi-pagi Bapak dateng ke kantor?"
"Pengen ketemu kamu jawabnya yang langsung membuatku kehilangan kata-kata untuk kembali menanggapi. Entahlah, aku merasa senang saat Pak Galfin mengatakan hal itu.
"Kan besok masih bisa ketemu"
"Sampai tiga hari ke depan saya nggak masuk" jawab Pak Galfin menatapku sekilas.
Setelahnya, suasana di dalam mobil menjadi hening, kami saling sibuk dengan pikiran masing-masing. Aku sibuk mengartikan perasaan senangku, dan Pak Galfin terlihat fokus pada jalanan. Sesekali aku mencuri-curi pandang padanya, dan entah hanya perasaanku saja atau apa, Pak Galfin terlihat seperti sedang pusing memikirkan sesuatu. Bibirnya bergerak tidak tenang dan wajahnya sedikit memucat.
"Anja" panggil Pak Galfin setelah beberapa menit kami habiskan hanya dengan embusan napas. Walaupun ragu, tetap ku beranikan diri untuk menatap matanya, dia terlihat gelisah.
"Kenapa?"
"Saya mau ngomong sesuatu sama kamu" Pak Galfin menatapku. “Anja, sampai tiga hari ke depan kita nggak bisa ketemu karena saya sibuk dengan urusan kampus, maka dari itu saya pengen ngungkapin semuanya sekarang. Karena kalo nggak, saya nggak akan bisa tenang” lanjut Pak Galfin.
Dia menepikan mobilnya dan beralih menghadap wajahku penuh. Tangannya bergerak mengambil tanganku dengan mata yang menatap mataku lurus. Aku tidak mengerti dengan apa yang dia lakukan, tapi aku tidak bisa berkutik sedikit pun.
"Anja, saya suka sama kamu" ucap Pak Galfin pelan, namun bisa aku dengar dengan jelas karena suasana di mobil ini sangatlah hening.
"Saya nggak tau kapan dan dari mana semua ini dimulai. Tapi, bayangan kamu nggak pernah mau pergi dari pikiran saya. Awalnya saya nggak percaya, gimana bisa saya suka sama cewek ingusan kaya kamu. Tapi lama kelamaan saya yakin, saya nggak bisa menyangkal kalo saya emang beneran suka sama kamu. Kamu pelet saya, ya?" lanjutnya yang sontak membuatku mengibaskan genggamannya dari tanganku.
"Saya bercanda, saya tau kamu nggak mungkin pake pelet. Kamu kan nggak punya duit buat bayar dukunnya" ucapnya menampilkan senyuman. Aku tahu, Pak Galfin hanya berusaha mencairkan suasana, karena walaupun dia mengajakku bergurau, wajahnya masih menunjukan raut kegelisahan.
"Anja, seperti pria pada umumnya, saya juga nggak mau ngeliat gadis yang saya suka memasuki pikiran saya dengan bebas tanpa ada sesuatu yang pasti. Maksud saya, saya pengen ada sesuatu diantara kita, bukan sekedar siswa prakerin dengan pembimbingnya, atau kakak kelas dengan adik kelasnya, bukan itu. Saya pengen ada sesuatu yang lebih pasti, yang lebih nyata, yang bisa bikin saya tetep tanang kalo kamu nggak ada di samping saya. Saya pengen kamu jadi.....Arghhh! Gimana cara ngomongnya?" Pak Galfin mengacak rambutnya frustasi, ucapan panjangnya cukup membuatnya terlihat kacau dan berantakan.
“Oke, saya tau saya mulai ngelantur dan ini cukup berbelit-belit. Intinya, saya suka sama kamu dan saya pengen ada ikatan di antara kita" lanjutnya terburu-buru. Dia kembali mengambil tanganku, matanya kembali menatap mataku. Sementara aku sudah tidak bisa melakukan apapun, dia membuatku gila.
"Anja, will you be my girl?" ucapnya mulai tenang. Tangannya yang menggenggam tanganku terasa mengahangat dan bergetar.
Aku rasa Pak Galfin sudah gila, dan dia membuatku ikut menggila juga. Bagaimana bisa dia menyukaiku yang notabenya adalah anak didiknya sendiri? Walaupun konteks anak didik yang aku maksud di sini bukanlah anak didik seperti di sekolah, tapi tetap saja aku seperti anak didiknya. Dia yang mengajari dan membimbingku selama aku prakerin.
Apa yang akan Pak Galuh katakan nanti jika mengetahui siswanya berpacaran dengan pembimbing prakerinnya sendiri? Apa kata Bu Nisa yang pernah berniat menjodohkan aku dengannya? Apa kata Edgar? Annan? Windy? Meli? Erika? Sofia? Jokowi? Apa kata dunia?!!
Aku yakin, teman-temanku pasti akan heboh sendiri jika mengetahui hal ini, terutama Windy. Apalagi perbedaan usia antara aku dan Pak Galfin lumayan jauh, Windy pasti akan menjadikan hal ini sebagai bahan gibahan dalam kurun waktu yang cukup lama. Walaupun ya, Windy melakukan acara gibahnya bersamaku, tetap saja aku tak mau menjadi bahan gibahan.
Tapi, Windy kan sedang marah padaku, jangankan aku berpacaran dengan Pak Galfin, aku dan Pak Galfin menikah pun dia pasti tidak akan peduli.
Oh tunggu! Bukankah ini yang sedang aku butuhkan? Aku sedang membutuhkan bantuan seseorang untuk membuktikan pada Windy kalau aku sama sekali tidak ada perasaan kepada Annan. Ini kesempatan bagus, aku bisa menerima Pak Galfin kemudian membuktikan semuanya kepada Windy. Tanpa perlu menurunkan harkat dan mertabatku dengan meminta bantuan kepada Nazil ataupun Novan. Atau membuat hatiku dongkol sendiri dengan menunggu Edgar.
Ya, aku bisa menyelesaikan masalahku dengan Windy hanya dengan menerima Pak Galfin sebagai pacarku.
Dan lagi, Pak Galfin juga cukup tampan, dia tidak akan membuatku malu jika aku mengajaknya kondangan. Karena kalau kata Windy dulu, Pak Galfin adalah pria tampan, mapan dan rupawan. Terlebih, selama ini Pak Galfin sudah sangat baik padaku. Jadi, apa salahnya kalau aku menerima dia? Toh aku sendiri juga merasa senang saat dia mengatakan ingin bertemu denganku, aku merasa senang dia mengatakan dia menyukaiku, aku senang saat berada disampingnya. Bahkan kemungkinan terbesar yang bisa aku simpulkan adalah, aku juga menyukai Pak Galfin. Walaupun kata menyukai disini tidak bisa aku artikan menyukai sebagai apa, tapi intinya aku juga menyukai Pak Galfin.
"Anja, kamu mau, kan?" sedikit ragu aku menganggukan kepala. Tiga detik setelahnya, aku langsung memalingkan wajahku dari tatapannya, aku malu. Medadak senyumku tidak bisa dibiaskan.
Pak Galfin menangkup wajahku dengan kedua tangannya, membuatku mengahadap wajahnya lagi. Dia tersenyum, lalu mengambil tanganku dan menggenggamnya erat. Aku kira Pak Galfin akan berteriak heboh atau bertanya lagi padaku seperti adegan di film-film yang sering aku tonton, nyatanya tidak. Dia hanya menyuguhiku dengan senyum simpulnya. Walaupun begitu, aku tetap tidak bisa menahan senyumku.
"Makasih" ucapnya setelah membuat pipiku keram karena terlalu lama tersenyum.