Loading...
Logo TinLit
Read Story - Prakerin
MENU
About Us  

"Saya tagih utang kamu" ucapan Pak Galfin menyadarkan ku dari lamunan, "Ayo ikut saya" ajaknya. Dalam hati aku merutuk, setelah memberiku banyak pekerjaan, dengan tega nya Pak Galfin mengganggu waktu istirahatku juga. 

Dengan langkah yang sedikit diseret, aku mengekor mengikuti Pak Galfin menuju mobilnya. Entah kemana dia akan membawaku pergi, aku pasrah. 

Ku genggam sapu tangan pemberian Edgar dalam saku ku erat, sementara pikiranku terus berkelana memikirkan kejadian kemarin. 

Benarkah dari awal Edgar memang tidak pernah mencintaiku? Tapi kenapa dia menciumku? Kenapa dia memukul Annan hanya karena memar di tanganku? Dia bahkan memintau menjauh dari Annan, kenapa? Apa alasannya? 

Ini bukan pertama kalinya Edgar membuatku bingung. Sejak awal aku mendekatinya, Edgar selalu membuatku dilema akan sikapnya. Secara bersamaa, dia bersikap hangat namun juga acuh tak acuh kepadaku. 

Seperti kemarin, dia melarangku pergi bersama Annan, tapi dia malah bermesraan bersama Dera. Kemudian, dia mengobati memar di tanganku, tapi terus mengabaikan keberadaanku. Sebenarnya, seperti apa perasaan Edgar?

"Dari awal, dia tau kalo lo cinta sama dia. Harusnya, kalo dia juga cinta sama lo, dia milih lo, bukan Dera" seketika aku teringat perkataan Windy. 

Apa yang dikatakan Windy memang benar, dari awal Edgar tahu aku mencintainya, bahkan semua orang di sekolah ini juga tahu betapa tergila-gilanya aku kepada Edgar. Harusnya, jika Edgar juga mencintaiku, dia tidak membuatku bingung akan sikapnya. Harusnya dia meyakinkanku. Dan yang paling penting, harusnya dia memilihku, bukan Dera!

Namun sekali lagi, kenapa?

Kenapa dia menahan tanganku saat Annan menarik ku menjauh? Kenapa dia menyemangati ku saat aku hendak berangkat prakerin? Dia bahkan memberiku sapu tangan ini, kenapa? 

Kenapa dia membuatku terus berharap meskipun aku tahu semuanya sudah jadi tak mungkin?

"Kenapa?' lirihku. 

Tanpa sadar aku menangis, memikirkan betapa bodohnya aku yang terus berpikir Edgar juga mencintaiku hanya karena perhatian kecilnya. Padahal sudah jelas dia lebih memilih Dera dari pada aku.

Bahkan yang paling lucu, aku terus memikirkan ucapannya yang akan menghabisi siapapun yang berani menyakitiku. Padahal dia sendiri menjadikan ku bonekanya yang bisa mainkan kapanpun kalau dia bosan.

"Anja, kenapa?" tanya Pak Galfin, dia terlihat panik karena tiba-tiba saja aku menangis. "Kamu sakit?" tanyanya lagi, aku menggeleng.

Dengan tergesa Pak Galfin menepikan mobilnya, dia mengecek suhu tubuhku dengan menempelkan punggung tangannya pada dahiku. Setelah memastikan aku baik-baik saja, barulah dia mulai tenang. 

Pak Galfin memberiku tisu, aku menerima dengan tanpa menatap wajahnya, kemudian kami saling diam. Aku sibuk membenahi perasaanku, sementara Pak Galfin terlihat kikuk sendiri dengan situasi ini. "Tunggu di sini sebentar" ucapnya setelah beberapa menit bungkam.

Pak Galfin bersiap membuka pintu mobilnya hendak keluar, namun aku lebih dulu menahan tangannya. "Jangan pergi" lirihku, "Saya nggak papa, Bapak di sini aja" suaraku terdengar memohon, sebisa mungkin aku menghapus air mataku, mencoba meyakinkan Pak Galfin bahwa aku memang baik-baik saja.

"Kamu beneran nggak papa?" tanyanya, aku mengangguk sebagai jawaban. Namun lagi, air mataku kembali turun dengan sendirinya. 

"Butuh.....pelukan?" Pak Galfin terlihat ragu, namun aku tidak peduli. Aku langsung menghambur memeluk Pak Galfin, menenggelamkan wajahku pada dadanya yang terasa hangat dengan harapan semoga bayangan wajah Edgar segera menghilang dari pikiranku. 

"That's ok, Anja" Pak Galfin mengelus kepalku, sementara satu tangannya yang lain mulai mendekap, membuatku semakin tenggelam dalam pelukannya. 

       *****

"Apus ingusnya, tuh. jorok!" Pak Galfin melemparkan kotak tisu padaku. Aku terkekeh, menerima lemparan tisu darinya dengan cengiran bodohku. 

"Namanya juga lagi sedih, ingusan dikit ya wajar" aku mengusap ingusku, kemudian melanjutkan kegiatan makanku yang sempat tertunda.

"Cuci tangan dulu, Anja!" teriak Pak Galfin histeris. Lebay sekali dia, padahal aku menghapus ingusku dengan tisu, tidak kena tangan sama sekali. Tapi dia menatapku jijik seolah aku ikut melahap ingus yang baru saja aku keluarkan itu. 

"Biar ah, vitamin z" tak punya ide lagi akan sikapku, Pak Galfin akhirnya diam.

"Sebenernya, kamu nangis karena putus cinta, kan?" tanyanya setelah beberapa menit bungkam. "Saya nggak percaya kamu nangis sesegukan gitu karena nonton drakor" lanjutnya. 

Aku menatap Pak Galfin sejenak, kemudian melanjutkan acara makanku tanpa menjawab pertanyaannya. Setelah hampir setengah jam menangis tanpa henti, kini aku lelah, tenagaku seolah tersedot habis karenanya. 

Dan lagi, untuk ukuran manusia random yang punya semboyan 'semakin galau semakin banyak makan' sepertiku, makanan adalah hal penting yang tidak bisa aku lewatkan. Jadi biarlah Pak Galfin mau berkata apa.

"Kan, nggak dijawab. Berarti tebakan saya bener" Pak Galfin menjentikan jari, membuat kesimpulan dari premis-premis yang dia susun sendiri. "Emang seganteng apa sih, cowoknya?" tanyanya lagi. 

Aku tetap diam tak menanggapi. 

Setelah tadi aku berhenti menangis, Pak Galfin menanyakan penyebab kenapa aku menangis. Aku berdalih dengan alasan karena sedih menonton drakor —drama korea— sad ending yang kemarin aku tonton bersama Windy. Namun Pak Galfin tidak percaya. 

Tentu saja, Pak Galfin bukanlah Mang Jun si pikun penjaga gerbang sekolahku yang bisa dengan mudah aku bohongi. Bahkan aku sendiri tidak akan percaya dengan alasan semacam itu. Beritahu aku, orang bodoh macam mana yang akan menangis tersedu-sedu hanya karena sebuah drakor?

Ada. Windy, temanku. Dia golongan manusia seperti itu. Tapi sekarang aku sedang tidak ingin membicarakan Windy. 

"Berapa lama kamu pacaran sama cowok itu?" tanya Pak Galfin lagi, terselip nada tak suka dari suaranya. 

"Kamu putus karena apa? Berantem? Diselingkuhin?"

"Dibilang bukan karena putus cinta, ih!" jawabku pada akhirnya. "Punya pacar aja nggak, mau putus sama siapa? Sama tembok?" lanjutku. 

Aku tidak bohong, walaupun pada kenyataanya aku memang menangis karena Edgar, tapi dia bukan pacarku. Tangisanku lebih tepat untuk disebut sebagai tangisan karena cinta yang bertepuk sebelah tangan, bukan karena putus cinta. Itu dua hal yang berbeda. 

Miris memang, tapi itulah faktanya. 

"Saya kan udah bilang, saya nangis karena nggak bisa move on dari drakor yang kemaren saya tonton" dahliku, Pak Galfin terlihat tak puas dengan jawabanku. 

"Sedih banget Pak, sumpah. Ceritanya sangat menyentuh hati" aku memberikan gerakan pendukung dengan mengelus dadaku tanda prihatin.

"Setelah susah payah bikin usaha pentol bareng, pas sukses suaminya malah selingkuh sama janda pirang yang lebih seksi! Asem emang!" aku menyeruput minumanku, memberi jeda pada cerita yang aku rangkai sendir, entah akan seperti apa endingnya. 

"Untungnya, pas si suami cerai sama istrinya, Tuhan langsung ngasih dia karma" aku melanjutkan ceritaku, "Si suami brengseknya ini tiba-tiba ditabrak sama gerobak pentol sampe meninggal dan mayatnya kegulung sama adonan pentol!" aku mengakhiri ceritaku dengan isakan dusta, seolah ikut merasakan kesedihan sang istri yang diselingkuhi dan ditinggal pergi sang suami untuk selamanya. 

Pak Galfin ikut menyeruput minumannya, sebelah alis nya terangkat sempurna karena bingung. "Kamu nonton drakor apa sinetron azab?" tanyanya tak percaya.

"Drakor, Pak, drakor! Sinetron azab mah jual jasa tambah ban keliling" jelasku. 

Pak Galfin hanya mengangguk mengiyakan, namun bukan karena setuju, tapi lebih menjurus karena dia tak ingin melanjutkan obrolan kami yang tanpa arah ini.

"Saya ke toilet dulu sebentar" ucap Pak Galfin tiba-tiba, dia bangkit dari kursinya dengan tergesa, membuatku menghentikan kegiatan makanku demi menatapnya sejenak. "Buruan abisin makanannya" ucapnya sebelum pergi. 

Aku mengangguk, kemudian melanjutkan acara makanku dengan tenang. Setelah beberapa menit berlalu, Pak Galfin akhirnya kembali dengan membawa sebuah totebag berukuran lumayan besar di tanganya. 

"Itu apa, Pak?" tanyaku.  

Pak Galfin tidak menjawab, dia justru membuka totebag itu dan mengeluarkan satu coklat silverqueen berukuran besar, juga boneka beruang berwarna putih -persis seperti milik Bella- dengan ukuran yang  lebih besar juga, kemudian menyerahkan padaku.

Aku mendongak, menerima coklat dan boneka beruang itu dengan wajah bingungku.

"Biasanya, bocil kaya kamu butuh boneka sama coklat buat balikin mood. Jadi saya beliin ini buat kamu" Pak Galfin lebih dulu menjelaskan sebelum aku bertanya. Dia menyerahkan juga totebag yang ternyata berisi banyak sekali coklat itu padaku. 

"Tapi kayanya saya salah, kamu dikasih makan juga kayanya langsung baik-baik aja" lanjutnya. 

Aku terkekeh, sudah aku bilang, untuk ukuran manusia random berperut karet sepetiku, makanan adalah hal penting yang tidak bisa aku lewatkan. Apalagi ketika Pak Galfin bilang dia akan mentraktirku, tentu saja aku jadi semakin bersemangat. 

Untuk masalah hati, aku bisa mengurusnya nanti dengan jedag-jedug bersama Windy. Jadi biarlah aku ke sampingkan dulu satu hal itu. 

"Bapak sampe repot-repot beliin saya boneka, makasih lho Pak" senyumku merekah, ku tatap boneka beruang berwarna putih itu penuh antusias. Boneka ini benar-benar persis seperti milik Bella, hanya saja ukurannya jauh lebih besar. Kalau tidak salah, aku pernah mengatakan pada Windy ingin membeli boneka ini, tapi sepertinya aku tidak perlu membelinya lagi. 

"Suka?" tanya Pak Galfin.

Aku mengangguk.

"Saya juga suka" Pak Galfin tersenyum, dia menatapku dengan ekspresi yang tidak bisa aku jelaskan. 

"Bapak juga suka boneka?" tanyaku. 

"No, saya suka senyum kamu" Pak Galfin bangkit dari kursinya, merapihkan lengan kemejanya yang kusut kemudian berlalu meninggalkanku. "Ayo, waktu istirahat kita hampir habis" ucapnya. 

Untuk beberapa saat aku membeku, menatap bingung punggung Pak Galfin yang mulai menjauh dari pandanganku. Kemudian, aku tersenyum. 

Apa dia bercanda?

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Ludere Pluvia
1261      699     0     
Romance
Salwa Nabila, seorang gadis muslim yang selalu berdoa untuk tidak berjodoh dengan seseorang yang paham agama. Ketakutannya akan dipoligami adalah penyebabnya. Apakah doanya mampu menghancurkan takdir yang sudah lama tertulis di lauhul mahfudz? Apakah Jayden Estu Alexius, seorang pria yang tak mengenal apapun mengenai agamanya adalah jawaban dari doa-doanya? Bagaimanakah perjalanan kisah ...
To the Bone
208      189     1     
Romance
Di tepi pantai resort Jawel palace Christian mengenakan kemeja putih yang tak di kancing dan celana pendek seperti yang iya kenakan setiap harinya “Aku minta maaf tak dapat lagi membawa mu ke tempat- tempat indah yang ka sukai Sekarang kamu kesepian, dan aku benci itu Sekarang kamu bisa berlari menuju tempat indah itu tanpa aku Atau kamu bisa mencari seseorang pengganti ku. Walaupun tida...
Who Is My Husband?
14896      2816     6     
Romance
Mempunyai 4 kepribadian berbeda setelah kecelakaan?? Bagaimana jadinya tuh?! Namaku.....aku tidak yakin siapa diriku. Tapi, bisakah kamu menebak siapa suamiku dari ke empat sahabatku??
Adiksi
8017      2377     2     
Inspirational
Tolong ... Siapa pun, tolong aku ... nafsu ini terlalu besar, tangan ini terlalu gatal untuk mencari, dan mata ini tidak bisa menutup karena ingin melihat. Jika saja aku tidak pernah masuk ke dalam perangkap setan ini, mungkin hidupku akan jauh lebih bahagia. Aku menyesal ... Aku menyesal ... Izinkan aku untuk sembuh. Niatku besar, tetapi mengapa ... mengapa nafsu ini juga sama besarnya!...
Premium
SHADOW
6300      1888     0     
Fantasy
Setelah ditinggalkan kekasihnya, Rena sempat mencoba bunuh diri, tapi aksinya tersebut langsung digagalkan oleh Stevan. Seorang bayangan yang merupakan makhluk misterius. Ia punya misi penting untuk membahagiakan Rena. Satu-satunya misi supaya ia tidak ikut lenyap menjadi debu.
RANIA
2466      887     1     
Romance
"Aku hanya membiarkan hati ini jatuh, tapi kenapa semua terasa salah?" Rania Laila jatuh cinta kepada William Herodes. Sebanarnya hal yang lumrah seorang wanita menjatuhkan hati kepada seorang pria. Namun perihal perasaan itu menjadi rumit karena kenyataan Liam adalah kekasih kakaknya, Kana. Saat Rania mati-matian membunuh perasaan cinta telarangnya, tiba-tiba Liam seakan membukak...
Under The Moonlight
2278      1112     2     
Romance
Ini kisah tentang Yul dan Hyori. Dua sahabat yang tak terpisahkan. Dua sahabat yang selalu berbagi mimpi dan tawa. Hingga keduanya tak sadar ‘ada perasaan lain’ yang tumbuh diantara mereka. Hingga keduanya lupa dengan ungkapan ‘there is no real friendship between girl and boy’ Akankah keduanya mampu melewati batas sahabat yang selama ini membelenggu keduanya? Bagaimana bisa aku m...
ALMOND
1112      639     1     
Fan Fiction
"Kamu tahu kenapa aku suka almond?" Anara Azalea menikmati potongan kacang almond ditangannya. "Almond itu bagian penting dalam tubuh kita. Bukan kacang almondnya, tapi bagian di otak kita yang berbentuk mirip almond." lanjut Nara. "itu amygdala, Ra." Ucap Cio. "Aku lebih suka panggilnya Almond." Nara tersenyum. "Biar aku bisa inget kalau Almond adalah rasa yang paling aku suka di dunia." Nara ...
Aku Menunggu Kamu
171      151     0     
Romance
sebuah kisah cinta yang terpisahkan oleh jarak dan kabar , walaupun tanpa saling kabar, ceweknya selalu mendo'akan cowoknya dimana pun dia berada, dan akhirnya mereka berjumpa dengan terpisah masing-masing
I love you & I lost you
7062      2515     4     
Romance
Kehidupan Arina berubah 180 derajat bukan hanya karena bisnis ayahnya yang hancur, keluarganya pun ikut hancur. orang tuanya bercerai dan Arina hanya tinggal bersama adiknya di rumah, ayahnya yang harus dirawat karena mengalami depresi berat. Di tengah hancurnya keluarganya, Arina bertemu kembali dengan teman kecilnya, Arkan. Bertemunya kembali mereka membuka sebuah lembaran asmara, namun apa...