"Saya tagih utang kamu" ucapan Pak Galfin menyadarkan ku dari lamunan, "Ayo ikut saya" ajaknya. Dalam hati aku merutuk, setelah memberiku banyak pekerjaan, dengan tega nya Pak Galfin mengganggu waktu istirahatku juga.
Dengan langkah yang sedikit diseret, aku mengekor mengikuti Pak Galfin menuju mobilnya. Entah kemana dia akan membawaku pergi, aku pasrah.
Ku genggam sapu tangan pemberian Edgar dalam saku ku erat, sementara pikiranku terus berkelana memikirkan kejadian kemarin.
Benarkah dari awal Edgar memang tidak pernah mencintaiku? Tapi kenapa dia menciumku? Kenapa dia memukul Annan hanya karena memar di tanganku? Dia bahkan memintau menjauh dari Annan, kenapa? Apa alasannya?
Ini bukan pertama kalinya Edgar membuatku bingung. Sejak awal aku mendekatinya, Edgar selalu membuatku dilema akan sikapnya. Secara bersamaa, dia bersikap hangat namun juga acuh tak acuh kepadaku.
Seperti kemarin, dia melarangku pergi bersama Annan, tapi dia malah bermesraan bersama Dera. Kemudian, dia mengobati memar di tanganku, tapi terus mengabaikan keberadaanku. Sebenarnya, seperti apa perasaan Edgar?
"Dari awal, dia tau kalo lo cinta sama dia. Harusnya, kalo dia juga cinta sama lo, dia milih lo, bukan Dera" seketika aku teringat perkataan Windy.
Apa yang dikatakan Windy memang benar, dari awal Edgar tahu aku mencintainya, bahkan semua orang di sekolah ini juga tahu betapa tergila-gilanya aku kepada Edgar. Harusnya, jika Edgar juga mencintaiku, dia tidak membuatku bingung akan sikapnya. Harusnya dia meyakinkanku. Dan yang paling penting, harusnya dia memilihku, bukan Dera!
Namun sekali lagi, kenapa?
Kenapa dia menahan tanganku saat Annan menarik ku menjauh? Kenapa dia menyemangati ku saat aku hendak berangkat prakerin? Dia bahkan memberiku sapu tangan ini, kenapa?
Kenapa dia membuatku terus berharap meskipun aku tahu semuanya sudah jadi tak mungkin?
"Kenapa?' lirihku.
Tanpa sadar aku menangis, memikirkan betapa bodohnya aku yang terus berpikir Edgar juga mencintaiku hanya karena perhatian kecilnya. Padahal sudah jelas dia lebih memilih Dera dari pada aku.
Bahkan yang paling lucu, aku terus memikirkan ucapannya yang akan menghabisi siapapun yang berani menyakitiku. Padahal dia sendiri menjadikan ku bonekanya yang bisa mainkan kapanpun kalau dia bosan.
"Anja, kenapa?" tanya Pak Galfin, dia terlihat panik karena tiba-tiba saja aku menangis. "Kamu sakit?" tanyanya lagi, aku menggeleng.
Dengan tergesa Pak Galfin menepikan mobilnya, dia mengecek suhu tubuhku dengan menempelkan punggung tangannya pada dahiku. Setelah memastikan aku baik-baik saja, barulah dia mulai tenang.
Pak Galfin memberiku tisu, aku menerima dengan tanpa menatap wajahnya, kemudian kami saling diam. Aku sibuk membenahi perasaanku, sementara Pak Galfin terlihat kikuk sendiri dengan situasi ini. "Tunggu di sini sebentar" ucapnya setelah beberapa menit bungkam.
Pak Galfin bersiap membuka pintu mobilnya hendak keluar, namun aku lebih dulu menahan tangannya. "Jangan pergi" lirihku, "Saya nggak papa, Bapak di sini aja" suaraku terdengar memohon, sebisa mungkin aku menghapus air mataku, mencoba meyakinkan Pak Galfin bahwa aku memang baik-baik saja.
"Kamu beneran nggak papa?" tanyanya, aku mengangguk sebagai jawaban. Namun lagi, air mataku kembali turun dengan sendirinya.
"Butuh.....pelukan?" Pak Galfin terlihat ragu, namun aku tidak peduli. Aku langsung menghambur memeluk Pak Galfin, menenggelamkan wajahku pada dadanya yang terasa hangat dengan harapan semoga bayangan wajah Edgar segera menghilang dari pikiranku.
"That's ok, Anja" Pak Galfin mengelus kepalku, sementara satu tangannya yang lain mulai mendekap, membuatku semakin tenggelam dalam pelukannya.
*****
"Apus ingusnya, tuh. jorok!" Pak Galfin melemparkan kotak tisu padaku. Aku terkekeh, menerima lemparan tisu darinya dengan cengiran bodohku.
"Namanya juga lagi sedih, ingusan dikit ya wajar" aku mengusap ingusku, kemudian melanjutkan kegiatan makanku yang sempat tertunda.
"Cuci tangan dulu, Anja!" teriak Pak Galfin histeris. Lebay sekali dia, padahal aku menghapus ingusku dengan tisu, tidak kena tangan sama sekali. Tapi dia menatapku jijik seolah aku ikut melahap ingus yang baru saja aku keluarkan itu.
"Biar ah, vitamin z" tak punya ide lagi akan sikapku, Pak Galfin akhirnya diam.
"Sebenernya, kamu nangis karena putus cinta, kan?" tanyanya setelah beberapa menit bungkam. "Saya nggak percaya kamu nangis sesegukan gitu karena nonton drakor" lanjutnya.
Aku menatap Pak Galfin sejenak, kemudian melanjutkan acara makanku tanpa menjawab pertanyaannya. Setelah hampir setengah jam menangis tanpa henti, kini aku lelah, tenagaku seolah tersedot habis karenanya.
Dan lagi, untuk ukuran manusia random yang punya semboyan 'semakin galau semakin banyak makan' sepertiku, makanan adalah hal penting yang tidak bisa aku lewatkan. Jadi biarlah Pak Galfin mau berkata apa.
"Kan, nggak dijawab. Berarti tebakan saya bener" Pak Galfin menjentikan jari, membuat kesimpulan dari premis-premis yang dia susun sendiri. "Emang seganteng apa sih, cowoknya?" tanyanya lagi.
Aku tetap diam tak menanggapi.
Setelah tadi aku berhenti menangis, Pak Galfin menanyakan penyebab kenapa aku menangis. Aku berdalih dengan alasan karena sedih menonton drakor —drama korea— sad ending yang kemarin aku tonton bersama Windy. Namun Pak Galfin tidak percaya.
Tentu saja, Pak Galfin bukanlah Mang Jun si pikun penjaga gerbang sekolahku yang bisa dengan mudah aku bohongi. Bahkan aku sendiri tidak akan percaya dengan alasan semacam itu. Beritahu aku, orang bodoh macam mana yang akan menangis tersedu-sedu hanya karena sebuah drakor?
Ada. Windy, temanku. Dia golongan manusia seperti itu. Tapi sekarang aku sedang tidak ingin membicarakan Windy.
"Berapa lama kamu pacaran sama cowok itu?" tanya Pak Galfin lagi, terselip nada tak suka dari suaranya.
"Kamu putus karena apa? Berantem? Diselingkuhin?"
"Dibilang bukan karena putus cinta, ih!" jawabku pada akhirnya. "Punya pacar aja nggak, mau putus sama siapa? Sama tembok?" lanjutku.
Aku tidak bohong, walaupun pada kenyataanya aku memang menangis karena Edgar, tapi dia bukan pacarku. Tangisanku lebih tepat untuk disebut sebagai tangisan karena cinta yang bertepuk sebelah tangan, bukan karena putus cinta. Itu dua hal yang berbeda.
Miris memang, tapi itulah faktanya.
"Saya kan udah bilang, saya nangis karena nggak bisa move on dari drakor yang kemaren saya tonton" dahliku, Pak Galfin terlihat tak puas dengan jawabanku.
"Sedih banget Pak, sumpah. Ceritanya sangat menyentuh hati" aku memberikan gerakan pendukung dengan mengelus dadaku tanda prihatin.
"Setelah susah payah bikin usaha pentol bareng, pas sukses suaminya malah selingkuh sama janda pirang yang lebih seksi! Asem emang!" aku menyeruput minumanku, memberi jeda pada cerita yang aku rangkai sendir, entah akan seperti apa endingnya.
"Untungnya, pas si suami cerai sama istrinya, Tuhan langsung ngasih dia karma" aku melanjutkan ceritaku, "Si suami brengseknya ini tiba-tiba ditabrak sama gerobak pentol sampe meninggal dan mayatnya kegulung sama adonan pentol!" aku mengakhiri ceritaku dengan isakan dusta, seolah ikut merasakan kesedihan sang istri yang diselingkuhi dan ditinggal pergi sang suami untuk selamanya.
Pak Galfin ikut menyeruput minumannya, sebelah alis nya terangkat sempurna karena bingung. "Kamu nonton drakor apa sinetron azab?" tanyanya tak percaya.
"Drakor, Pak, drakor! Sinetron azab mah jual jasa tambah ban keliling" jelasku.
Pak Galfin hanya mengangguk mengiyakan, namun bukan karena setuju, tapi lebih menjurus karena dia tak ingin melanjutkan obrolan kami yang tanpa arah ini.
"Saya ke toilet dulu sebentar" ucap Pak Galfin tiba-tiba, dia bangkit dari kursinya dengan tergesa, membuatku menghentikan kegiatan makanku demi menatapnya sejenak. "Buruan abisin makanannya" ucapnya sebelum pergi.
Aku mengangguk, kemudian melanjutkan acara makanku dengan tenang. Setelah beberapa menit berlalu, Pak Galfin akhirnya kembali dengan membawa sebuah totebag berukuran lumayan besar di tanganya.
"Itu apa, Pak?" tanyaku.
Pak Galfin tidak menjawab, dia justru membuka totebag itu dan mengeluarkan satu coklat silverqueen berukuran besar, juga boneka beruang berwarna putih -persis seperti milik Bella- dengan ukuran yang lebih besar juga, kemudian menyerahkan padaku.
Aku mendongak, menerima coklat dan boneka beruang itu dengan wajah bingungku.
"Biasanya, bocil kaya kamu butuh boneka sama coklat buat balikin mood. Jadi saya beliin ini buat kamu" Pak Galfin lebih dulu menjelaskan sebelum aku bertanya. Dia menyerahkan juga totebag yang ternyata berisi banyak sekali coklat itu padaku.
"Tapi kayanya saya salah, kamu dikasih makan juga kayanya langsung baik-baik aja" lanjutnya.
Aku terkekeh, sudah aku bilang, untuk ukuran manusia random berperut karet sepetiku, makanan adalah hal penting yang tidak bisa aku lewatkan. Apalagi ketika Pak Galfin bilang dia akan mentraktirku, tentu saja aku jadi semakin bersemangat.
Untuk masalah hati, aku bisa mengurusnya nanti dengan jedag-jedug bersama Windy. Jadi biarlah aku ke sampingkan dulu satu hal itu.
"Bapak sampe repot-repot beliin saya boneka, makasih lho Pak" senyumku merekah, ku tatap boneka beruang berwarna putih itu penuh antusias. Boneka ini benar-benar persis seperti milik Bella, hanya saja ukurannya jauh lebih besar. Kalau tidak salah, aku pernah mengatakan pada Windy ingin membeli boneka ini, tapi sepertinya aku tidak perlu membelinya lagi.
"Suka?" tanya Pak Galfin.
Aku mengangguk.
"Saya juga suka" Pak Galfin tersenyum, dia menatapku dengan ekspresi yang tidak bisa aku jelaskan.
"Bapak juga suka boneka?" tanyaku.
"No, saya suka senyum kamu" Pak Galfin bangkit dari kursinya, merapihkan lengan kemejanya yang kusut kemudian berlalu meninggalkanku. "Ayo, waktu istirahat kita hampir habis" ucapnya.
Untuk beberapa saat aku membeku, menatap bingung punggung Pak Galfin yang mulai menjauh dari pandanganku. Kemudian, aku tersenyum.
Apa dia bercanda?