"Mau kemana Pak?" tanyaku saat Pak Galfin mengambil tasnya.
"Mau survei agunan" jawabnya sembari sibuk memasukkan tustel dan beberapa alat tulis ke dalam tasnya. "Kalo kamu bosen, kamu bantuin Bu Nisa aja, biasanya Bu Nisa butuh bantuan buat mengarsip kliring" ucapnya lagi, aku mengangguk meng-iyakan.
"Atau kalo kamu mau bantuin temen kamu di lantai atas juga nggak papa"
"Iya Pak" jawabku. Kemudian Pak Galfin pergi dengan terburu-buru.
Setelah Pak Galfin pergi, aku membantu Bu Nisa mengarsipkan kliring. Bu Nisa adalah seseorang yang menunjukan mejaku saat pertama masuk prakerin kemarin. Dia sangat baik, dia orang pertama yang menyapaku saat aku memasuki ruangan ini.
Bu Nisa memberikan beberapa penjelasan tentang keliring kepadaku. Tapi seperti sebelumnya, penjelasan itu hanya numpang lewat di telingaku. Aku sama sekali tidak mengerti.
Walaupun begitu, aku tetap menganggukan kepala saat Bu Nisa bertanya apakah aku mengerti dengan penjelasannya atau tidak.
"Di sekolahnya udah punya pacar belum Neng?'" tanya Bu Nisa ditengah kegiatannya mengerjakan kliring.
"Hah? Pacar? Saya mah anti pacaran-pacaran club, Bu" jawabku sedikit terkekeh. Ternyata selain baik, Bu Nisa juga sangat friendly, dia mengajaku mengobrol membicarakan hal-hal ringan yang bisa aku pahami.
"Ah jangan bohong, masa nggak punya pacar. Jujur aja nggak papa, ini rahasia kita berdua" bisik Bu Nisa dengan nada bicara terdengar menggoda.
"Hehehe, Ibu bisa aja. Tapi serius Bu, saya emang nggak punya pacar" jawabku jujur. Aku memang belum punya pacar. Mungkin nanti, menunggu Edgar dan Dera putus dulu.
"Mau Ibu bantuin cari pacar nggak? Ibu punya nih calon yang cocok buat kamu" tawar Bu Nisa, dia kembali menunjukan senyum menggodanya.
"Siapa?" tanyaku penasaran. Yah, mungkin saja dia punya anak yang seumuran denganku, dan tampan.
"Itu, Galfin, pembimbing kamu" jawabnya, diluar dugaanku. "Dia juga belum punya pacar, gebet aja dia. Dia baik kok, ganteng lagi" Bu Nisa kembali berisik.
Aku menggeleng. "Ibu nih ada-ada aja, mana mungkin Pak Galfin belum punya pacar" aku mengelak tak percaya. Setidaknya, kalau mau berbohong Bu Nisa harus melihat situasi dan kondisinya lebih dulu. Dengan wajahnya yang tampan itu, mana mungkin Pak Galfin belum punya pacar.
"Aish, si Eneng malah ngga percaya, bener ini mah, dia masih bujang lajang" ucapnya yakin.
"Bujang lapuk kali Bu" jawabku. Setelah itu kami tertawa bersama. Tapi tawaku tidak berlangsung lama karena Pak Galfin tiba-tiba datang kembali menuju mejanya.
"Bu Nisa, saya pinjam Anja sebentar ya" Pak Galfin mengambil beberapa dokumen di mejanya. "Ayo Anja, saya tunggu di lobby" ucapnya kemudian berlalu dengan terburu-buru.
Aku segera beranjak dari kursiku. Sebelum pergi, aku menyerahkan hasil arsipku kepada Bu Nisa, dengan senyum menggoda Bu Nisa mengerlingkan matanya. "Tuh, yang kata kamu bujang lapuk mau ngajak kamu jalan" bisiknya kembali menggoda.
"Ishh, Ibu bikin saya deg-degan aja" jawabku yang langsung disusul tawa renyah olehnya.
*****
"Pak, kita mau kemana?" tanyaku saat sudah berada di dalam mobil Pak Galfin.
"Survei agunan, hari ini pak Aziz nggak masuk karena isitrinya melahirkan, makanya saya minta kamu yang nemenin saya" jawabnya menjelaskan.
Aku kira aku mau diajak jalan-jalan, ternyata hanya survei. Padahal tadi aku sudah sangat senang membayangkan akan ditraktir atau diajak nonton olehnya.
Aku mengikuti langkah Pak Galfin memasuki sebuah rumah yang aku rasa inilah agunan yang dimaksud Pak Galfin. Halaman rumah ini lumayan luas, terdapat taman bunga di sebelah kanan bangunan, dan beberapa wahana bermain anak-anak di sebelah kirinya. Sepertinya, pemilik rumah ini mempunyai anak yang masih kecil.
Di sana, kedatangan kami disambut baik oleh Bu Rina, pemilik rumah ini. Dan ternyata dugaanku benar, Bu Rina punya seorang anak yang masih berusia dua tahun, namanya Bella. Dia sangat lucu, pipinya gembul dan menggemaskan.
Sepanjang Pak Galfin melaksanakan tugas survei-nya, aku menenami Bella bermain boneka di ruang bermain.
"Atatata" ucapnya saat aku mengambil boneka berbentuk beruang berwarna Pink dari keranjang mainannya. "Mau?" aku menunjukkan boneka itu padanya, dia tertawa.
Aku memberikan boneka itu padanya, setelahnya mataku menjelajah mengamati ruangan besar bernuansa pink ini. Di sebelah kanan pintu masuknya, terdapat satu rak besar berisi mainan Bella. Di tengah ruangan, terdapat perosotan kecil dengan pagar melingkar dan lantai berisi boneka dan bola kecil warna-warni di bawahnya. Lalu di pojok ruangan terdapat sepasang meja dan kursi kecil, juga beberapa keranjang besar berisi boneka dan beberapa mainan Bella yang lainnya.
"Keren banget" mataku tak beralih sedikitpun dari perosotan kecil di tengah ruangan. Rasa ingin mencoba perosotan itu mendadak memuncak.
"Bel, aku mau coba perosotan itu, boleh?" tanyaku, Bella tak menjawab, dia asik sendiri dengan bonekanya.
"Boleh ya?" tanyaku lagi. Tanpa menunggu jawaban Bella yang memang belum bisa berbicara dengan lancar, aku membuka pagar perosotan itu dan mulai mencobanya.
"Asik banget, Windy harus liat ini" seruku saat boneka dan bola kecil warna-warni itu berhamburan disekitarku. Aku mengambil ponselku, membuka whattsap dan cari nama Windy di sana.
"Anjir, lagi ngapain lo?" tanya Windy saat aku menampilkan pemandangan ruangan ini.
Aku mengambil boneka kecil berbentuk beruang berwarna putih dari tempat aku mendarat, kemudian menunjukan nya kepada Windy. "Liat, lucu kan? Jadi pengen beli boneka gue, Win" jawabku.
"Lo lagi dimana, Jay?" tanya Windy lagi.
"Ikut survei, gue malah menu perosotan ini" jawabku kemudian bangkit hendak mencoba lagi perosotan itu dengan masih melakukan video call bersama Windy.
"Enak banget lo anjir, gue disini lagi kerja rodi, lo malah main-main" ucapnya kesal.
Aku tertawa melihat wajah muram Windy di layar ponselku. Entahlah, seperti ada rasa kepuasan tersendiri melihat raut kesalnya.
"Liat nih, gue mau nyoba perosotannya lagi" aku bersiap-siap meluncur dari perosotan itu, namun sebelum aku meluncur, Bella tiba-tiba menangis mengagetkanku. Sontak aku yang terkejut mendengar tangisannya menjadi oleng, aku terjatuh dengan kepala yang lebih dulu mendarat pada lantai dan kaki ku masih tersangkut di atas perosotan.
"Astaga Anja, kamu kenapa?" tanya Pak Galfin panik. Entah dari kapan dia sudah berdiri di depan pintu ruangan ini.
"Ayo bangun" Pak Galfin mengulurkan tangannya membantuku.
Aku hendak meraih tangannya, tapi kedua tanganku penuh dengan bola dan boneka kecil yang tak sengaja tergenggam. Setelah membuang boneka dan bola-bola itu, aku meraih tangan Pak Galfin, mencoba bangun dengan sempoyongan karena kaki ku masih tersangkut di atas perosotan.
"Kok bisa jatuh begitu?" tanya Pak Galfin, kini suaranya tak terdengar panik, dia justru seperti menahan tawanya melihat rambut ku yang acak-acakan.
Aku mengambil ponselku, ternyata video call ku dengan Windy sudah mati. "Jangan ketawa Pak, saya malu" ucapku, dia semakin cekikikan.
Aku keluar dari perosotan itu dan Pak Galfin menutup kembali pagarnya. Setelah merapihkan rambutku, aku meraih Bella yang kini terdiam menatapku, sepertinya dia terkejut saat melihatku terjatuh tadi.
"Bella kenapa nangis, mau boneka lagi?" tanyaku, Bella menggeleng. Tak lama setelahnya, Bu Rina datang dan mengambil Bella dari gendoanganku.
"Maaf ya Neng, jadi ngerepotin Neng Anja" ucapnya. Aku menggeleng, kemudian mengembuskan napas lega karena sepertinya Bu Rina tak mengetahui kejadian tadi.
"Survei nya udah selesai. Ayo pulang, Anja" ajak Pak Galfin, wajahnya masih terkikik menahan tawa. Aku mencubit lengannya, mengisyaratkan Pak Galfin untuk diam agar kejadian tadi tidak sampai diketahui oleh Bu Rina.
“Bella, Kak Anja pulang dulu ya" pamitku, setelah mencubit pipi Bella pelan, aku melenggang meninggalkan ruangan itu.
"Hati-hati Pak, Neng" ucap Bu Rina saat Pak Galfin melajukan mobilnya, setelah memberikan klason, Pak Galfin langsung melaju dengan cepat dari pekarang rumah Bu Rina.
Di dalam mobil aku hanya diam, merasa malu sendiri atas kejadian tadi. Ku pegang kepalaku yang kini terasa nyut-nyutan. Untung saja perosotan tadi tidak terlalu tinggi, jadi kepalaku tidak terlalu sakit.
Tak berselang lama, tawa Pak Galfin pecah. Wajahnya sampai memerah karena saking kencangnya dia tertawa.
"Ada orang kesakitan bukannya diobatin malah diketawain" sindirku. Tapi Pak Galfin masih tak menghentikan gelak tawanya.
Aku mengerucutkan bibirku, kesal dengan suara tawanya yang terdengar mengejek.
Pak Galfin menatapku serius, "Sesuka itukah kamu sama boneka kecil tadi?" tanya Pak Galfin. "Sampe-sampe pas ngusruk juga kamu masih megangin aja boneka itu" ucapnya lagi.
Aku menggeleng. "Nggak tuh, biasa aja" jawabku, tanganku masih setia memegangi kepalaku yang terasa nyeri.
Pak Galfin menghentikan laju mobilnya, dia menarik tanganku yang memegangi kepala dengan perlahan. "Sakit?" tanyanya. Tangannya terulur mengusap kepalaku yang sedari tadi aku pegangi.
Pak Galfin mendekatkan wajahnya padaku, tangannya masih tak berhenti mengelus kepalaku pelan. Setelah jarak kami semakin dekat, dia meniup puncak dahiku guna meredakan sakit yang kurasakan.
Sejenak aku terdiam, merasakan tangannya yang mengelus kepalaku dengan lembut. Ku tatap Pak Galfin tanpa berkedip, dari posisi ini, dia terlihat tampan.
Sejenak suasana hening menyelimuti kami, entah kemana perginya suara tawa Pak Galfin yang tadi menggelegar.
"Biasa aja ngeliatinnya, saya tau saya emang ganteng" ucap Pak Galfin tiba-tiba, segera aku mengalihkan pandanganku darinya.
"Ayo turun!" seru Pak Galfin yang entah dari kapan sudah memarkirkan mobilnya di depan sebuah toko boneka.
"Kok? Bapak mau ngapain ngajak saya ke toko boneka?" Aku semakin bingung dibuatnya, untuk apa dia mengajaku ke toko boneka?
"Nggak usah pura-pura. Saya tau, kamu naik perosotan itu karena di lantainya banyak bola sama boneka, kan?" jawab Pak Galfin. Aku merenung sejenak, tadi aku memang tertarik dengan perosotan itu hingga berani mencobanya. Tapi bukan karena aku tertarik dengan bonekanya.
"Pake acara monyong-monyong segala lagi" Sindirnya karena tadi aku mengerucutkan bibir. "Kamu nggak usah monyong-monyongin bibir juga saya bakal beliin boneka, Anja" ucapnya.
Seolah tak puas sudah mentertawakanku, sekarang dia mengejek bibir monyongku.
Aku menutup wajahku menahan malu, dan Pak Galfin semakin tertawa senang melihatnya. "Udah-udah, ayo turun. Saya beliin kamu boneka biar mulutnya nggak monyong-monyong lagi" ajaknya menarikku turun dari mobil.
Sialan!
*****
Mengarsip dan menggandakan dokumen sudah menjadi rutinitasku sekarang. Seperti pagi ini, Pak Galfin memintaku untuk menggandakan beberapa data nasabah. Setelah selesai, aku disuruh untuk memindahkan foto-foto agunan kemarin dari tustelnya ke komputer.
Saat aku memindahkan foto-fotonya, tak sengaja aku menemukan sebuah foto aneh, foto Pak Galfin bersama Edgar! Dalam foto itu terlihat Pak Galfin dan Edgar saling merangkul bahu satu sama lain.
Apa Pak Galfin mengenal Edgar? Apa dia berteman baik dengannya? Atau mereka adalah saudara dekat? Sebenarnya ada hubungan apa Pak Galfin dengan Edgar? Aku penasaran, aku harus segera mencari tahu hal ini.
"Udah selesai?" tanya Pak Galfin menutup map-mapnya. Aku segera mengclose foto itu dari layar komputer Pak Galfin dan mengeject tustelnya.
"Udah Pak" jawabku mencabut kabel data dari tustel dan menyerahkannya pada Pak Galfin.
"Pak, ini tustel punya Bapak atau perusahaan?" tanyaku menyelidik.
"Punya saya, kenapa?"
"Oh, nggak "jawabku. Pantas saja ada banyak sekali fotonya, ternyata tustel itu miliknya sendiri, aku kira milik perusahaan.
"Gimana pelajar kemaren? Masih inget KPR itu apa?" tanya Pak Galfin tiba-tiba. Aku tersenyum, untung aku sudah mempersiapakan semuanya.
"Inget" jawabku antusias.
"Apa?" tanyanya lagi.
"Kredit pemilikan rumah" jawabku masih terlihat antusias.
"Proses pemberian kreditnya?"
"Pertama, nasabah harus mengajukan KPR dengan melengkapi semua persyaratan yang diberikan oleh bank. Setelah itu, pihak bank akan mengecek kebenaran data yang diberikan nasabah, juga melakukan survei dan penilaian terhadap agunan yang diberikan.
Kaya kemaren itu lho Pak, saya kira survei itu kaya gimana, eh ternyata cuma nanya-nanya, foto-foto, terus abis itu pulang. Enak ya Pak, nggak susah, kaya wartawan. Padahal dulu pas saya ditanya mau apa nggak jadi tukang survei saya bilang nggak mau, tau gitu saya bilang mau.
Kan enak cuma duduk-duduk doang, disambut ramah sama pemilik rumah, disuguhin makanan..."
"Anja, saya nanya proses pemberian KPR, bukan cita-cita kamu" potong Pak Galfin di tengah penjelasanku.
"Terserah kamu mau jadi tukang survei, tukang kredit atau tukang ngusruk sekalipun, saya nggak peduli. Saya cuma nanya proses pemberian KPR" lanjutnya kembali menyinggung masalah kemarin.
"Ish, Bapak masih bahas masalah kemaren aja, udahlah Pak, yang lalu biarlah berlalu" sahutku malas. Sudah tahu aku malu karena kejadian kemarin, masih saja dia membahasnya.
Menyebalkan.
"Abisnya kamu jawabnya ngawur. Saya nanya apa kamu jawab apa" balasnya dengan sedikit terkekeh.
"Oke-oke, nyampe mana tadi?" tanyaku mengalihkan topik, karena jika tidak dialihkan, Pak Galfin pasti akan terus membahas nasib sialku kemarin.
"Sampe pengecekan data nasabah dan survei" jawabnya kembali serius, aku berpikir sejenak sebelum akhirnya melanjutkan.
"Nah, jika semua data yang nasabah berikan adalah benar, dan agunan yang nasabah berikan sesuai atau senilai dengan jumlah pinjaman yang diminta, maka pihak bank akan menerbitkan SP3K atau Surat Penegasan Persetujuan Penyediaan Kredit"
"Di dalam surat itu bank menjelaskan semua syarat dan ketentuan yang berlaku, juga memberitahu jangka waktu dan jumlah angsuran yang harus dibayar setiap bulannya. Setelah nasabah setuju dengan SP3K tadi, maka akan dilakukan ijab atau serah terima pinjaman" jawabku melanjutkan. Sekedar info, aku menghafal jawaban itu semalaman suntuk.
Kemarin, saat aku meminta tanda tangan Pak Galfin untuk jurnal dan absensi laporanku, Pak Galfin mengatakan bahwa besok akan menanyakan lagi teori tentang KPR yang sudah dia sampaikan. Untuk menutupi kebodohanku yang kemarin tidak mengerti dengan penjelasnnya, aku mencari tahu dan menghafal materi itu semalam suntuk.
"Oke, karena kamu udah paham, sekarang kita lanjut ke materi jumlah minimal dan maksimal pinjaman KPR” Pak Galfin menegakan duduknya, bersiap memberikan materi lagi padaku.
"Aduh Pak, nanti dulu ya ngejelasinnya, sekarang saya mau ke toilet dulu" potongku sebelum Pak Galfin memulai.
Tanpa persetujuan darinya, aku segera hengkang menuju toilet. Bukan apa-apa, aku hanya malas mendengar ceramah panjangnya yang sama sekali tidak aku pahami. Terlebih, setelahnya dia pasti akan menanyakan lagi materi yang pernah dia berikan.
Aku pusing.
Ting!
Saat aku mematung di depan cermin dengan wajah lelahku, tiba-tiba suara notifikasi terdengar dari ponselku, bersamaan dengan hal itu, sebuah pop up pesan whatssap dari Annan muncul.
Annan: Anja, sebenernya waktu itu gue mau bilang sesuatu sama lo, tapi lo malah ninggalin gue sama Windy.
Tulisnya dalam pesan itu. Otakku kembali mengingat-ingat kejadian di kantin waktu itu. Ah, benar. Waktu itu aku sengaja menginggalkan Annan dengan Windy.
Me: Iya, waktu itu gue buru-buru.
Balasku, tak perlu menunggu lama, Annan langsung membalas lagi.
Annan: Besok gue bakal bilang.
Annan: Semangat prakerinnya!
Balasnya. Aku mengedikan bahu, bukan kah besok aku masih harus prakerin?
"Pak, besok saya prakerin nggak?" tanyaku pada Pak Galfin yang kini kembali sibuk dengan komputernya.
"Nggak, besok sabtu, libur" jawab Pak Galfin.
Saat tadi aku hendak kembali ke mejaku, tak sengaja aku bertemu dengan Windy. "Jay, besok gue jemput jam setengah sembilan, siapin aja alesan yang pas buat Mang Jun" ucapnya. Aku hendak bertanya apa maksudnya menyiapkan alasan untuk Mang Jun, tapi dengan segera dia pergi meninggalkanku.
Sesampainya di mejaku, aku langsung bertanya pada Pak Galfin, dan aku baru ingat, ternyata besok adalah hari sabtu. Yang berarti prakerinku libur karena kantor tempatku prakerin hanya beroperasi dari hari senin sampai jumat saja.
Pantas saja Annan mengatakan ingin bicara denganku besok, ternyata besok aku sekolah. Tapi, apa yang akan dia bicarakan denganku?
"Kenapa? Kamu nggak mau libur? Pengen ketemu sama saya terus? "tanya Pak Galfin tiba-tiba.
Aku merotasikan bola mataku malas, percaya diri sekali dia. "Iya Pak, takut kangen nggak ketulungan" jawabku.
“Pasti, banyak yang bilang saya emang ngangenin orangnya" balasnya, aku tak kembali menanggapi.
"Oh iya, nanti kamu pulang sama siapa?" tanya Pak Galfin, kini matanya beralih menatapku.
"Sama Windy"
"Temen kamu yang waktu itu mau kamu tenggelemin?" tanyanya lagi. Aku mengaguk sebagai jawaban. Tajam sekali ingatannya, sampai kejadian yang bahkan aku sendiri sudah lupa pun dia masih mengingatnya.
"Oh iya, Pak. Uang Bapak yang waktu itu belum saya ganti, tapi sekarang saya nggak bawa uang banyak. Besok ya, eh senin. Senin saya bayar" karena mengingat kejadian di warung mie ayam waktu itu, aku jadi ingat hutangku kepada Pak Galfin.
"Oke, tapi lima kali lipat ya?" jawab Pak Galfin, sepertinya dia suka sekali bercanda. "Kalo kamu nggak bisa bayar lima kali lipatnya, kamu bisa bayar pake yang lain" ucapnya lagi.
Aku menatapnya dengan wajah bingungku. "Kok gitu? Kan waktu itu saya minjemnya uang, bukan yang lain"
"Kalo saya maunya dibayar pake yang lain?" Pak Galfin tersenyum menyeringai, aku jadi bergidik ngeri melihat tatapannya.
Dasar om-om!