Loading...
Logo TinLit
Read Story - Prakerin
MENU
About Us  

Setelah memesan tiga porsi mie ayam sekaligus, Windy segera melahapnya dengan rakus, dan aku hanya bisa diam menahan umpatanku. Mentang-mentang sedang ditraktir, dia makan seperti orang kesurupan.

Aku mengaduk-aduk makananku malas, merasa dikerjai olehnya yang ternyata pura-pura marah hanya untuk mendapatkan traktiran dariku.

"Gimana acting gue, Jay? Baguskan? Lo sampe minta gue janji segala karena takut gue beneran marah, berarti tadi lo percaya sama gue, kan?” tanyanya disertai tawa nistanya.

“Musyrik gue kalo percaya sama lo!" sulutku yang langsung disambut gelak-tawa olehnya.

"Lagian yang bikin gue marah kan bapak-bapak tadi, kenapa lo yang panik sendiri deh?"

Sialan! Jadi tadi sebenarnya dia tidak marah padaku? Pintar sekali dia, awas saja, akanku balas dia nanti!

"Bales gue dong Jay! Lo bikin taruhan apa lagi kek, gue siap" ejeknya.

Aku mengangguk, memikirkan apa yang baru saja dia katakan. Seharusnya aku tahu kalau dia hanya berpura-pura marah, karena sudah lebih dari sepuluh kali dia melakukan hal ini. 

Ah, bagaimana aku ini, harusnya aku tidak tertipu lagi oleh drama picisannya itu. Baiklah, ini akan menjadi yang terakhir kalinya aku tertipu.

"Jadi, sekarang lo nyerah nih? Lo nggak mau bales gue lagi? Bales dooong......." ucapnya dengan mulut yang penuh oleh makanan. 

"Nggak lah, gue takut dosa" jawabku asal. Setelahnya, dia menyambutku dengan semburan makanan dari mulutnya. 

Aku menganga, mendapati seragamku yang kini sudah tidak berbentuk lagi. Wangi parfum mahalku juga tergantikan oleh bau busuk yang sangat menyengat. 

Aku melotot, memberinya tatapan tajam yang biasa aku berikan kalau aku marah. Menurut Windy, tatapanku saat sedang marah sangatlah mengerikan, dulu dia pernah mengatakannya padaku.

Tak berselang lama, hidungku yang kadang payah dalam hal mengendus ini tiba-tiba mencium aroma yang berbeda, bukan bau busuk yang berasal dari seragamku, atau wangi dari mie ayam yang baru saja ditiriskan. Melainkan aroma maskulin seseorang yang sangat aku hafal. Annan! 

Tidak salah lagi, ini adalah wangi parfum Annan, ketua Osis sekolahku yang sering menjadi topik pembicaraan banyak gadis. 

Wajahnya yang tampan, tingginya yang lebih dari ukuran pintu kelas, dan warna kulitnya yang eksotis menurut banyak gadis, karena sering berjemur di lapangan untuk paskibra, dan tak lupa lesung pipinya yang bisa membuat banyak gadis harus membawa ember untuk menadahi iler mereka kalau mereka melihat lesung pipi itu. 

Sungguh, dia bagaikan tokoh fiktif dalam novel yang sering aku baca, memiliki banyak fans, aktif dalam segala kegiatan sekolah, juga otak yang cerdas. Tak heran jika ada banyak gadis yang sering mengkhayal menjadi pacarnya.

Kecuali aku, walaupun Annan baik, entah mengapa yang mengisi hatiku hanyalah Edgar. 

Sejenak aku melupakan seragamku, pikiranku terus berkelana memikirkan siapa pemiliki aroma maskulin itu. Dan saat seseorang melintas Di sampingku, tanpa aku sadar mulutku menganga dengan sendirinya.

Dia, si pemilik aroma parfum yang aku kira Annan itu berjalan menghampiri meja kosong di depanku. Dia bukan Annan, hanya seseorang yang memiliki aroma parfum yang sama dengan Annan saja.

Tapi anehnya, saat dia menatapku dan tersenyum, aku langsung teringat Edgar.

Entah karena otakku memang sudah di setting hanya untuk memikirkan Edgar, atau karena pria itu memang mirip dengan Edgar.

Setelah menetralkan pikiranku dari bayangan Edgar yang tidak pernah mau pergi, aku kembali menatap seseorang di sebrang mejaku yang dengan wajah tanpa dosanya kembali melanjutkan acara makan, tanpa berniat membersihkan noda yang sudah dia tumpahkan di seragamku, atau setidaknya merasa bersalah dan meminta maaf padaku. 

"Apa lo ngeliatin gue? Mau marah?" dengan tidak tahu dirinya dia memberiku pertanyaan itu.

"Watados banget lo anjir! Udah numpahin kuah mulut lo yang super duper bau itu ke seragam gue, bukannya minta maaf malah lanjut makan" runtukku kesal.

"Ngapain minta maaf? Bukan salah gue ini" jawabnya santai, aku menaikan sebelah alisku.

"Noh" tunjuk Windy dengan dagunya, dia menunjuk pria yang ada di depan meja kami.

"Kalo mau marah sama cowok yang mirip Edgar di depan sono noh! Dia yang udah bikin gue syok karena ketampanannya, dan berakhirlah gue kesedat dan ngeluarin makanan yang seharusnya ngisi perut gue itu" lanjutnya tanpa menghentikan kegiatan makannya. 

Aku memutar bola mataku malas, berdebat dengannya hanya akan membuatku naik itam saja. "Udahlah, gue mau bersihin baju gue aja ke toilet" putusku kemudian,

Aku membersihkan noda-noda yang ada di seragamku dengan sedikit memercikan air lalu mengelapnya dengan tissue. Setelah selesai, aku kembali ke meja yang tadi aku tempati, tapi aku tidak mendapati Windy di sana.

Setelah aku sampai di meja, aku menemukan sebuat sticky note dengan pesan yang yang berisi:

'Jay, maapin gue ya, gue ditelpon emak gue suruh balik secepetnya, jadi gue pulang. Lo pulang naek angkot aja ya? Atau nggak lo koprol aja.....hahaha......Jangan lupa bayar mie ayamnya' 

Tulisnya dalam kertas kecil itu, tak lupa pada akhir kalimatnya dia tambahkan emot-emot laknat yang membuatku semakin menyumpah serapahinya.

"Windy monet, dasar titisan dajjal" aku meremas sticky note itu hingga tak berbentuk lagi.

Dengan banyak umpatan yang keluar dari mulutku, aku berjalan menuju kasir untuk membayar. Dan sialnya, ternyata uangku pas-pasan, tak ada sisa satu rupiah pun setelah aku membayar.

Aku lupa sudah memesan apa saja, tapi yang jelas, sekarang dompetku benar-benar bersih tanpa ada sebutir debu pun di dalamnya.

Entah karena dompetku yang tipis, atau karena harga mie ayam disini memang mahal. Namun sepertinya, opsi pertamalah yang paling tepat.

Lalu bagaimana aku bisa pulang? 

Demi Mang Jun —penjaga gerbang sekolahku— yang sering aku bohongi, aku belum berhenti menyumpah-serapahi Windy sampai saat ini, tega-teganya dia meninggalkanku dengan dompet kosong seperti ini.

"Emang dasar monet si Windy, udah nyembur gue pake kuah, sekarang gue ditinggal pulang juga, gue sumpahin, semoga lo nggak bisa boker, Win" gerutuku.

“Mana gue kaga punya duit buat naek angkot, sumpah ya Win, gue tenggelemin ke kuah mie ayam kalo ketemu nanti!" lanjutku masih dengan geramnya.

"Awas aja, gue nggak pernah ingkar janji, gue lelepin beneran lo kalo ketemu!"

"Uh, serem amat" sahut seseorang di belakangku.

"Bodo amat, jangan bikin gue tambah kesel kalo lo nggak mau gue semprot juga!" tukasku tanpa peduli siapa seseorang yang menyahuti sumpahanku itu.

"Cuma gara-gara uang habis dan nggak bisa pulang, kamu mau nenggelemin orang?"

"Iya! Kalo perlu gue mutilasi sekalian!" aku memutar tubuhku. Dan betapa terkejutnya aku saat mengetahui siapa orang itu. 

Dia adalah seseorang yang aku kira Annan. Seseorang yang sudah membuat Windy tersedat dan menyemburkan makanannya padaku. Seseorang yang membuatku menganga lebar hanya karena melihat wajahnya. 

Pikiranku berkecamuk, tidak enak hati karena sudah berkata kasar di depannya. Juga antara malu karena tidak bisa jaim —jaga image— di depan cogan—cowok ganteng— seperti dia.

Tapi aku sedang kesal. Jadi segeraku tepis semua perasaan tidak enak itu dan beralih menatapnya datar.

"Ya Allah, serem beneran ini mah, yaudah nih buat ongkos naek angkotnya, tapi kamu jangan mutilasi orang ya? Nanti kamu dipenjara" dia meraih selembar uang dengan pecahan seratus ribuan dari saku celananya.

Mataku langsung terbelalak melihatnya. Tapi sekali lagi, aku berusaha membuat tatapanku menjadi sedatar mungkin. Kali ini, aku harus menjaga imageku. Dia sudah tahu aku suka mengumpat, jadi jangan sampai dia tahu kalau aku ingin menerima uang itu juga.

"Lo pikir gue pengemis pake acara ngasih-ngasih duit segala? Nggak, gue nggak butuh duit lo" ucapku yang sebenarnya berbanding terbalik dengan isi hatiku. 

Dia mendekatkan wajahnya ke arahku, lalu menyipitkan mata dan menatapku dengan sebelah alisnya yang terangkat, mencari kepastian dari ucapanku tadi.

Sial, disaat seperti ini, jantungku tidak bekerja dengan benar, dia berdetak dengan sangat cepat di dalam sana.

"Yakin?" tanyanya menggoda. 

“I-iya gue yakin! ucapku, tapi kepalaku malah bergerak kekanan dan kekiri. 

Memalukan. Sekarang tubuhku juga menjadi tidak sinkron karenanya. Ku lihat dia tersenyum penuh misteri, lalu menjauhkan wajahnya dariku.

"Yaudah kalo nggak mau" ucapnya, kemudian menarik kembali tangannya hendak memasukan uang itu ke dalam sakunya. 

Otakku berhenti bekerja, pikiranku hilang entah kemana. Karena yang kupikirkan sekarang bukanlah ketampanannya, melainkan caraku pulang jika aku tidak mengambil uang itu.

“Bener nih, kamu nggak mau nerima uangnya?" tanyanya seraya menenteng uang itu di depan wajahku. 

"Iya yakin, nggak mau" jawabku memalingkan wajah.

"Yaudah" dia kembali membuat gerakan yang sama, menarik tangannya dari hadapanku dan bersiap menyimpan kembali uang itu ke dalam saku celananya.

Dan seperti slow motion yang biasa ada di drama-drama, tanpa sadar aku menarik tangan pria yang bahkan belum aku tahu siapa namanya itu.

"Tahan dulu sebentar!" aku menahan gerakan tangan pria itu.

"Ada begitu banyak hal yang udah terjadi, kayanya bakal panjang banget kalo diceritan. Singkatnya, pinjem dulu seratus" perlahan aku menarik uang itu dari tangannya, dia terkejut, tapi sedetik kemudian dia tertawa.

Saat dia tertawa, aku melihat lekukan di kedua pipinya. Sebuah lesung pipi, ralat! Maksudku dua buah lesung pipi yang langsung mengingatkanku pada Edgar.

Entah aku yang terlalu banyak berkhayal tentang Edgar, atau mataku yang memang bermasalah, tapi saat dia tersenyum seperti itu, dia terlihat sangat mirip dengan Edgar.

"Nggak usah minjem, kamu pake aja uang itu, tapi inget, abis ini jangan mutilasi temen kamu itu, ya? Kamu masih SMA, nggak elit kalo harus masuk penjara gara-gara memutilasi orang" ucapnya.

"Bukan SMA kali, gue mah anak SMK" jawabku sedikit membeberkan identitasku. 

Dia bisa memamerkan ketampanannya di depanku, kenapa aku tidak memamerkan statusku sebagai anak SMK di depannya juga?

Walaupun aku sendiri juga tidak tahu dimana letak keagungan anak SMK yang harus dibanggakan, tapi aku selalu merasa bangga jadi anak SMK.

"Iya, iya. Terserah, mau anak SMA atau anak SMK, intinya kamu masih dibawah umur, dan nggak boleh berbuat kriminal" jawabnya seraya menggelangkan kepalanya pelan.

"Enak aja di bawah umur, umur gue bentar lagi 17 tahun ya, bentar lagi juga gue dapet KTP, jadi jangan seenaknya lo nyebut gue anak dibawah umur" sahutku, dia terlihat frustrasi mendengar jawabanku. 

"Aduh, Kamu kayanya suka debat ya, terserahlah apapun itu, atur aja sendiri" jawabnya.

Biar saja, biar dia tahu betapa ahlinya aku membuat orang mendadak frustasi karena menanggapi ucapanku.

Tapi, karena dia sudah berbaik hati mau memberiku ongkos untuk pulang, maka aku tidak akan membuatnya frustasi lalu bunuh diri. Tidak, dia terlalu baik untuk mati muda.

"Hehe, makasih Om uangnya, nanti kalo gue sukses gue gantiin" ucapku mengalihkan topik, karena sekali lagi, aku tidak mau membuatnya frustasi jika harus melanjutkan obrolan tidak berguna tadi.

"Om? Kamu pikir saya setua itu? Saya juga masih 21 tahun, seenaknya aja kamu manggil saya Om, panggil Kakak aja” dia tampak terkejut dengan panggilan Om dariku.

"21 tahun? Itu udah tua Om" jawabku. Ternyata dia seumuran dengan Rehan, kakak ku. 

"Kakak! Panggil Kak Galfin aja" ucapnya.

Aku tersenyum. Tanpa harus gengsi bertanya, aku sudah mengetahui namanya, Galfin.

Aku menarik kembali senyumku.“Yaudah, kalau ngga mau dipanggil Om, berarti dipanggil bapak aja, Pak Galfin" aku sengaja menggodanya, namun bukannya kesal, dia hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum.

"Hmmm, bocil kematian" gumamnya yang masih dapat aku dengar dengan jelas. "Ngomong-ngomong, siapa nama kamu?"

Untuk kali ini aku tidak bisa menyembunyikan senyumanku. Untuk pertama kalinya di dalam hidupku yang penuh dengan drama ini, ada pria tampan yang menanyakan namaku! Karena biasanya, aku harus membuat drama dulu bersama Windy.

Biasanya, dengan sengaja aku menyuruh Windy untuk meneriakkan namaku dengan keras agar seseorang yang hendak aku beritahu namaku itu bisa mendengarnya.

Tapi sekarang? Tanpa harus membuat drama pasaran itu, dia menanyakannya secara langsung padaku.

"Anja Viatama Marici, sekolah di SMK Vilmaris, kelas sebelas Akuntansi, biasa dipanggil Anjay, wali kelas Bu Eno, anak kesayangannya Bu Erna karena rajin ke musolah padahal cuma numpang wifi sama modus doang, musuh bebuyutannya Pak Galuh karena nggak mau berangkat prakerin" jawabku antusias.

“Kamu jawabnya lengkap banget Anja, padahal saya cuma tanya nama" kekehnya.

"Tapi kok nggak mau prakerin? Kenapa?" tanyanya kelihatan bingung.

"Nggaklah, males. Prakerin itu ya Pak, cuma dijadiin pesuruh doang. Kata kakak kelas gue dulu, mereka disuruh bersih-bersih terus dimarah-marahin sama pembimbingnya. Udah sih pembimbingnya lebih killer dari guru akuntansi yang suka ngamuk kalo catatan sama fisiknya nggak balance, jadi gue males prakerin" jawabku tak mengindahkan seruannya untuk memanggil dia kakak. 

Entahlah, aku merasa aneh jika harus memanggilnya dengan sebuatan kakak. Karena Aku tidak pernah memanggil kakak kepada siapapun. 

Kepada kakak kelas di sekolahku, aku selalu menyebut namanya tanpa menggunakan embel-embel kak tau kakak di depannya. Bahkan kepada Rehan yang notabenya adalah kakak kandungku sendiri pun, aku terbiasa memanggil nama. 

Jadi ya sudah lah, aku panggil dia dengan sebuatan bapak saja. Toh dia laki-laki, dan umurnya juga lebih tua dariku, dari pada aku memanggilnya dengan sebutan Lo-Gue yang jelas tidak lebih sopan, lebih baik aku panggil dia bapak saja.

Anggap saja ini sebuah pencitraan agar aku terlihat sedikit lebih sopan di depannya.

"Kata siapa? prakerin itu sama aja kaya di sekolah, belajar. Bukan dijadiin pesuruh, apalagi tukang bersih-bersih" kata Pak Galfin memberitahu.

Namun tentu saja aku lebih percaya pada cerita kakak kelasku yang sudah pernah merasakan prakerin dibanding dengan Pak Galfin yang belum tentu pernah merasakan prakerin juga.

"Nggak, orang kata kakak kelas gue juga prakerin itu dijadiin pesu—"ucapanku terpotong oleh suara ponsel Pak Galfin.

Pak Galfin segera menjawab telepon itu, setelahnya dia kembali lalu mengatakan harus segera pergi. Aku mengangguk paham, lalu ikut beranjak mencari angkutan umum karena si jahanam Windy itu meninggalkanku sendirian.

Dan setelah sampai di rumah, aku baru merutuki kebodohanku yang lupa meminta kontak Pak Galfin. Si tampan, mapan, dermawan dan murah senyum itu. 

Bodoh bodoh bodoh! Kenapa aku tidak memanfaatkan kesempatan emas itu? Belum tentu aku bisa bertemu dengan cogan sepertinya lagi dilain hari.

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Le Papillon
3114      1229     0     
Romance
Victoria Rawles atau biasa di panggil Tory tidak sabar untuk memulai kehidupan perkuliahannya di Franco University, London. Sejak kecil ia bermimpi untuk bisa belajar seni lukis disana. Menjalani hari-hari di kampus ternyata tidak mudah. Apalagi saat saingan Tory adalah putra-putri dari seorang seniman yang sangat terkenal dan kaya raya. Sampai akhirnya Tory bertemu dengan Juno, senior yang terli...
SI IKAN PAUS YANG MENYIMPAN SAMPAH DALAM PERUTNYA (Sudah Terbit / Open PO)
5552      1882     8     
Inspirational
(Keluarga/romansa) Ibuk menyuruhku selalu mengalah demi si Bungsu, menentang usaha makananku, sampai memaksaku melepas kisah percintaan pertamaku demi Kak Mala. Lama-lama, aku menjelma menjadi ikan paus yang meraup semua sampah uneg-uneg tanpa bisa aku keluarkan dengan bebas. Aku khawatir, semua sampah itu bakal meledak, bak perut ikan paus mati yang pecah di tengah laut. Apa aku ma...
Bittersweet My Betty La Fea
4592      1464     0     
Romance
Erin merupakan anak kelas Bahasa di suatu SMA negeri. Ia sering dirundung teman laki-lakinya karena penampilannya yang cupu mirip tokoh kutu buku, Betty La Fea. Terinspirasi dari buku perlawanan pada penjajah, membuat Erin mulai berani untuk melawan. Padahal, tanpa disadari Erin sendiri juga sering kali merundung orang-orang di sekitarnya karena tak bisa menahan emosi. Di satu sisi, Erin j...
Percayalah , rencana Allah itu selalu indah !
151      111     2     
True Story
Hay dear, kali ini aku akan sedikit cerita tentang indahnya proses berhijrah yang aku alami. Awal mula aku memutuskan untuk berhijrah adalah karena orang tua aku yang sangat berambisi memasukkan aku ke sebuah pondok pesantren. Sangat berat hati pasti nya, tapi karena aku adalah anak yang selalu menuruti kemauan orang tua aku selama itu dalam kebaikan yaa, akhirnya dengan sedikit berat hati aku me...
Ludere Pluvia
1209      677     0     
Romance
Salwa Nabila, seorang gadis muslim yang selalu berdoa untuk tidak berjodoh dengan seseorang yang paham agama. Ketakutannya akan dipoligami adalah penyebabnya. Apakah doanya mampu menghancurkan takdir yang sudah lama tertulis di lauhul mahfudz? Apakah Jayden Estu Alexius, seorang pria yang tak mengenal apapun mengenai agamanya adalah jawaban dari doa-doanya? Bagaimanakah perjalanan kisah ...
A Freedom
150      130     1     
Inspirational
Kebebasan adalah hal yang diinginkan setiap orang. Bebas dalam menentukan pilihan pun dalam menjalani kehidupan. Namun sayang kebebasan itu begitu sulit bagi Bestari. Seolah mendapat karma dari dosa sang Ayah dia harus memikul beban yang tak semestinya dia pikul. Mampukah Bestari mendapatkan kebebasan hidup seperti yang diinginkannya?
Lebih dari Cinta Rahwana kepada Sinta
3174      1604     0     
Romance
Pernahkan mendengarkan kisah Ramayana? Jika pernah mendengarnya, cerita ini hampir memiliki kisah yang sama dengan romansa dua sejoli ini. Namun, bukan cerita Rama dan Sinta yang akan diceritakan. Namun keagungan cinta Rahwana kepada Sinta yang akan diulas dalam cerita ini. Betapa agung dan hormatnya Rahwana, raksasa yang merajai Alengka dengan segala kemewahan dan kekuasaannya yang luas. Raksas...
Heliofili
2596      1158     2     
Romance
Hidup yang sedang kami jalani ini hanyalah kumpulan berkas yang pernah kami tandatangani di kehidupan sebelumnya— dari Sastra Purnama
Cinta Sebatas Doa
607      426     0     
Short Story
Fero sakit. Dia meminta Jeannita untuk tidak menemuinya lagi sejak itu. Sementara Jeannita justru menjadi pengecut untuk menemui laki-laki itu dan membiarkan seluruh sekolah mengisukan hubungan mereka tidak lagi sedekat dulu. Padahal tidak. Cukup tunggu saja apa yang mungkin dilakukan Jeannita untuk membuktikannya.
My Soulmate Coco & Koko
6318      1978     0     
Romance
Menceritakan Isma seorang cewek SMA yang suka dengan hewan lucu yaitu kucing, Di hidupnya, dia benci jika bertemu dengan orang yang bermasalah dengan kucing, hingga suatu saat dia bertemu dengan anak baru di kelasnya yg bernama Koko, seorang cowok yang anti banget sama hewan yang namanya kucing. Akan tetapi mereka diharuskan menjadi satu kelompok saat wali kelas menunjuk mereka untuk menjadi satu...