"APA?! PRAKERIN?!" aku memekik, kaget mendengar sederet kalimat yang baru saja terlontar dari mulut Hubin —Hubungan Industri— sekolahku itu. Langsung saja ku angkat kursiku dan kupukulkan ke kepalanya yang botak. Dia menjerit kesakitan, dan aku tertawa senang melihatnya.
Tapi, saat aku tertawa senang sendiri, tiba-tiba ada seseorang yang menepuk pundakku, dan tepat saat itu juga, aku langsung tersadar dari dunia khayalku.
Sial! Ternyata semua itu hanya terjadi dalam fantasi liarku saja. Namun pada kenyataannya, aku tetap diam tak berani mengeluarkan sepatah katapun untuk berprotes.
"Jay, lo waras?" satu pertanyaan singkat namun mampu menusuk hati itu langsung kudapati dari teman semejaku, Windy. Dia menatapku dengan banyak kerutan di keningnya, menandakan kalau dia sedang bingung dalam mode akut.
Aku mencebikkan mulutku, malas menanggapi ucapannya yang terlalu menyakitkan. Memangnya aku kenapa sampai dia bertanya seperti itu? Aku waras, sehat, cantik, pintar, dan rajin menabung juga pastinya.
Tapi, untuk pernyataan yang terakhir sepertinya kurang tepat. Biar aku perjelas, maksudku mengatakan aku rajin menabung di sini adalah, menginvestasikan seluruh uang jajanku ke kantin, mensejahterakan perutku yang hampir setiap waktu selalu berdering, dan memberikan secercah harapan hidup pada cacing-cacing di perutku yang siap berdemo kapan dan di manapun jika aku tidak menafkahi mereka.
Aku mengedarkan pandanganku ke sekitar, namun tak lama, aku membuang kembali pandanganku pada satu objek di sebelah kananku yang juga sedang menatapku.
Sial! Ternyata bukan hanya Windy yang sedang memperhatikanku, tapi semua teman sekelasku, juga Pak Galuh selaku hubin sekaligus guru mata pelajaran Bahasa Indonesia itu juga sedang menatapku bingung.
"Gue kenapa, Win?" tanyaku, tak mengerti dengan apa yang baru saja terjadi.
"Jay, lo waras nggak sih? Prihatin gue sama lo, makin hari makin gesrek aja otaknya" Windy menggelengkan kepala prihatin.
Aku semakin tidak mengerti dibuatnya, memangnya apa yang aku lakukan? Kenapa mereka seperti sedang mengintrogasiku? Sungguh, tatapan mereka lebih mengerikan dari tatapan om-om pedofil.
"Win, gue kenapa anjir? Kenapa mereka ngeliatin gue?" tanyaku dengan sedikit berbisik.
"Lo tadi teriak kenceng banget pas Pak Galuh ngomongin masalah prakerin, terus abis itu lo ketawa sendiri. Jadi wajar aja kalo mereka ngeliatin lo, mereka pasti ngira lo gila gegara liat lo ketawa sendiri" terangnya menjelaskan.
Aku ingat, ternyata tadi aku membayangkan aku sedang memukuli kepala botaknya Pak Galuh dengan kursi, dan tanpa aku sadari, aku tertawa sendiri dibuatnya. Tapi sialnya, teman-teman sekelasku malah menontoni aksi gilaku.
"Anja, kenapa tertawa sendiri?" tanya Pak Galuh saat suasana hening sudah menyelimuti kelas kami.
Aku mengerjap, bingung mencari alasan logis apa yang bisa membuat Pak Galuh percaya. Karena tak mungkin aku mengatakan kalau aku sedang menghajarnya dalam fantasi liarku. Bisa habis aku kena semprotnya.
"Nggak Pak, tadi saya liat Windy makan belopotan kaya anak kecil, jadi saya ketawa" jawabku yang langsung mendapatkan tatapan horror dari seseorang di sebelah kananku.
"Windy! Kamu makan di kelas lagi?!" tanya Pak Galuh murka. “Sudah berapa kali saya ingatkan untuk tidak makan di dalam kelas? Sekarang berhenti makan atau keluar!" lanjut Pak Galuh masih dengan tatapan tajamnya.
"Nggak Pak, saya mau tetep di kelas" jawab Windy lemah-lembut. Padahal jika berbicara denganku, dia tidak pernah selembut itu. Bahkan aku tidak tahu harus menyebutnya ucapan atau teriakan. Karena biasanya, Windy akan menggunakan suara lebih dari tiga oktaf jika sedang berbicara denganku.
Aku melirik Windy sekilas, wajahnya tampak pucat ketakutan, dan tangannya terlihat sedikit bergetar. Aku mengulum senyumku untuk menahan tawa yang sebentar lagi akan meledak. Tapi dengan segera Windy menginjak kakiku keras, membuatku refleks menjerit lagi.
"Anja! Kamu kenapa teriak-teriak terus? Sudah mulai sarapnya? Lupa minum obat? Apa kekurangan vitamin?! "tanya Pak Galuh berbalik membentakku. Kali ini bukan hanya Windy, tapi semua teman sekelasku memberikan tatapan prihatin kepadaku.
"Nggak Pak, saya sehat lahir batin kok" jawabku dengan suara selembut mungkin.
"Orang sehat nggak mungkin bersikap kaya gitu!" tukas Gak Galuh ketus.
Kulihat semua orang yang ada di kelas ini terkikik mentertawakanku. Kecuali Windy, sedari tadi dia hanya menunjukan tatapan kosongnya. Entah karena dia terkena depresi berat karena Pak Galuh membentaknya, atau karena dia sedang sibuk dengan fantasi liarnya? Aku tidak tahu.
"Sialan! Lo ngomong apaan Jay, orang gue kaga makan di kelas juga!" protes Windy setelah Pak Galuh dan semua teman sekelasku tidak memperhatikan kami lagi.
"Sori, gue tadi bingung mau nyari alesan apa" jawabku menyunggingkan senyum sok manis.
"Emang tadi kenapa lo ketawa sendiri?" tanyanya menatapku bingung.
"Gue ngebayangin gue mukul kepala botaknya Pak Galuh pake kursi, terus dia teriak-teriak minta ampun. Makanya gue katawa" jawabku jujur.
Dan tepat satu detik setelahnya, Windy langsung mengeluarkan gelak tawanya seperti yang tadi aku lakukan. Semua pasang mata yang ada di kelas ini langsung menatap kami lagi.
"Anja! Windy! Kenapa kalian ketawa? "tanya Pak Galuh penasaran, namun kami sebagai siswa tauladan tentunya tidak memberitahukan apa yang sebenarnya terjadi.
“Sekali lagi kalian ribut di kelas, jangan harap kalian bisa mendapatkan tempat untuk prakerin nanti!" ancam Pak Galuh.
Aku dan Windy dengan kompaknya mencibir, menarik sebelah sudut bibir kami membentuk senyuman masam dan berakhir dengan menggibahinya bersama-sama.
"Dasar botak, baru ribut dikit aja langsung ngamuk, asam uratnya kambuh baru tau rasa tuh!" geramku, Windy mengangguk semangat menanggapinya.
"Iya tau Jay, kemaren gue liat dia misuh-misuh sama anak kelas dua belas, terus siangnya penyakit encoknya kambuh. Tuman!" jawab Windy berapi-api, ku lihat wajahnya sangat gembira menceritakan hal itu.
"Pasti, lah, orang udah tuwir juga" balasku tak kalah semangatnya.
"Lagian ya, dia tuh berani marah-marah cuma di sekolah doang, kalo di rumahnya mah dia yang dimarahin sama istrinya" sahut Windy kemudian.
Aku kembali membuka mulutku untuk menanggapi cerita Windy. Tapi saat kata-kataku masih berada di dalam tenggorokan, sebuah spidol tiba-tiba melayang ke arahku. Sontak aku dan Windy mengehentikan acara menggibah kami, kembali fokus pada satu objek tua di depan kelas yang kini sedang menatap kami murka. Dapatku lihat wajah mengkerutnya memerah karena marah.
"Masih mau ribut lagi?" tanyanya memelototi kami. “Kalau keberadaan kalian di kelas hanya untuk membuat onar. Silakan, pintu keluar terbuka dengan lebar untuk kalian" ucap Pak Galuh lebih tenang.
Aku dan Windy menunduk, berpura-pura tobat dan menyesali perbuatan kami. Padahal di dalam hati kecilku, aku masih merutuki perbuatannya yang melempar spidol sembarangan ke arahku.
Aku mengedarkan pandakanganku menatap sekeliling. Dari meja paling depan, kulihat Junia tersenyum mengejek sambil mulutnya komat-kamit mencoba mengatakan 'Rasain lo! Makanya jangan ngegosip mulu' ucapnya tanpa suara. Aku memberinya tatapan tajam, namun dia tak mengindahkan dan justru menjulurkan lidahnya mengejekku.
‘Awas lo, gue sumpahin lobang idung lo bisulan!' ucapku tanpa suara juga. Tapi aku tahu dia masih bisa mengerti maksudku. Karena sedetik setelah aku mengatakannya, dia langsung memegangi hidungnya sendiri.
"Anja, kamu dengar apa yang saya katakan?" tanya Pak Galuh tiba-tiba. Aku mengerjap, tidak mengerti apa maksud dari pertanyaannya. Tapi untuk menghindari murkanya, kuanggukan saja kepalaku pura-pura mengerti.
"Tolong jangan berisik dulu, saya akan menginformasikan seputar prakerin pada kalian" pinta Pak Galuh sembari membuka laptopnya.
"Untuk yang mendapatkan tempat prakerin di bank, kalian berangkat besok, Tapi kita kumpul dulu di sekolah, saya akan memberikan breafing dulu" ucap Pak Galuh yang langsung mendapatkan berbagai respon dari teman-teman sekelasku.
"Yaaahhh.....Gue berangkat besok dong? Padahal gue belum siap"
"Males banget sih, kenapa harus ada prakerin segala coba?"
"Asik nih, siapa tau di tempat magang nanti dapet cogan!"
"Semoga nanti gue dapet gaji! Amiiiiin......"
Mereka mampu mengeluarkan semua yang ada dipikiran mereka kala itu juga, sedangkan aku? Aku hanya diam, tak percaya dengan apa yang baru saja aku dengar.
Yang mendapatkan tempat prakerin di bank harus berangkat besok? Dan Pak Galuh baru memberitahukannya hari ini? Tepat dua jam sebelum bel pulang berbunyi? Oh ayolah, aku belum mempersiapkan apapun, sedangkan siap tak siap aku harus tetap berangkat besok.
"Tidak ada alasan untuk tidak berangkat, kalian yang sudah dijadwalkan untuk berangkat harus berangkat" ucapnya menghindari protes yang akan kami para muridnya berikan.
Tapi aku tidak peduli, segera aku menghampiri Pak Galuh, memegang lengannya kuat lalu menarik-nariknya seperti menarik benang layangan.
"Aduh Pak, saya belum siap, jangan sekarang yaaaa...pliiiiiissss, kasih saya waktu sebulan lagi Pak, saya belum siap" pintaku dengan suara yang sengaja aku serak-serakan, agar guru killer ini mau membatalkan pemberangkatanku.
Seperti di drama-drama yang sering aku tonton, dengan teganya Pak Galuh menepis tanganku kasar. Dia menatapku horror dan berdecih sendiri, layaknya seorang ibu tiri dalam kisah bawang merah dan bawang putih.
"Enak saja sebulan lagi! Kamu pikir instansi itu milik nenek moyang kamu?" cibirnya.
"Saya tidak menerima alasan apapun, karena dari awal saya sudah memberitahukan kepada kalian, cepat atau lambat kalian akan berangkat. Dan saya sudah mewanti-wanti, agar kalian selalu siap kapan dan di manapun. Jadi, tidak ada alasan yang akan saya terima untuk penundaan prakerin. Siap tidak siap prakerin harus tetap kalian jalankan! Prakerin itu wajib!" lanjut Pak Galuh yang langsung membungkam rapat mulutku.
Apa yang dikatakan Pak Galuh tadi memang benar, jauh sejak pertama kali kami duduk dibangku kelas sebelas ini, Pak Galuh sudah memberitahu kami tentang program tahunan sekolah kejuruan yang selalu mengirim siswa-siswinya untuk prakerin, atau praktik kerja industri. Pak Galuh bahkan sudah memberitahu kami pembagian tempatnya, hanya saja kami yang tidak pernah peduli dan selalu lalai dalam tugas sekolah.
Sedangkan tugas sekolah yang satu ini bersifat wajib dan menjadi salah satu syarat dari kelulusan, jadi wajar saja jika Pak Galuh kekeuh ingin segera memberangkatkan siswa-siswanya.
Tapi rasa malasku yang amat sangat besar ini sangat sulit aku hilangkan, sehingga walaupun aku tahu kalau prakerin adalah wajib bagi siswa SMK, tetap saja aku malas melakukannya.
Terlebih jika aku mengingat cerita kakak kelasku tentang masa prakerin mereka, itu semakin membuatku malas dan enggan untuk berangkat prakerin.
Karena konon katanya, saat mereka prakerin dulu, mereka tidak diajarkan bagaimana cara bekerja di dunia kerja yang sebenarnya, melaikan dijadikan pesuruh oleh pembimbing mereka.
Ada yang jadi tukang mengambilkan minum, tukang membuatkan kopi, bahkan ada yang dijadikan tukang bersih-bersih ruangan. Makanya aku sangat takut untuk prakerin. Aku takut jika nanti aku akan mendapatkan pembimbing yang killer seperti yang pernah kakak kelas itu ceritakan.
Yang benar saja, masa wanita cantik sepertiku dijadikan pesuruh? Aku tidak mau!!
*****
Selera makanku hilang, istirahat kali ini aku hanya mengaduk-aduk minumanku malas. Berdebat dengan Pak Galuh benar-benar membuat moodku hancur. Dia membuatku ditertawakan semua teman-teman sekelasku.
Sekarang adalah jam istirahat kedua, sekolahku memang memberikan dua kali waktu istirahat pada siswanya. Jam sepuluh untuk istirahat pertama, dan jam dua belas untuk istirahat kedua. Jam sepuluh untuk mengisi perut, dan jam dua belas untuk beribadah bagi umat muslim sepertiku. Tapi aku menggunakan kedua waktu itu hanya untuk mengisi perut saja.
"Jay, lo yakin nggak mau makan?" Windy bertanya entah untuk yang keberapa kalinya.
"Makan aja Jay, kasian cacing-cacing di perut lo, mereka pasti lagi nungguin asupan nutrisi. Biasanya kan, jam segini lo udah ngasih mereka makan" lanjutnya tak berteori.
"Uh! Males gue, mood gue ilang gegara guru tua itu" jawabku sambil tak menghentikan gerakan tanganku mengaduk minuman.
"Kita kerjain aja, yuk!" ajak Windy kemudian.
"Kerjain gimana?" tanyaku bingung, aku tidak terlalu yakin.
"Tadi pagi gue liat Pak Galuh bawa motor, gimana kalo kita kempesin aja ban motornya?” jawabnya yang langsung membangkitkan semangat dalam tubuhku.
Call! Aku setuju. Guru tua itu memang harus diberi pelajaran! Aku dan Windy segera melesat ke parkiran, setelah merasa aman, kami mulai menjalankan rencana kami.
"Hey! Lagi ngapain kalian di situ?" teriak Dera tiba-tiba.
"Kalian? Jangan bilang kalian mau ngempesin ban motor guru lagi?" tanyanya mengintrogasi kami.
"Ng-nggak, jangan suudzon aja lo kalo ngomong" elak Windy membela diri.
"Alah, nggak usah ngeles deh, lo. Kemaren ban motor Pak Ares kempes, dapet kalian, kan?" sangkalnya tak mau percaya.
"Bukan, kita ke sini mau ngambil tugas di motor Windy, tuh yang ada di sebelah sana motornya" bohongku menunjuk motor Windy yang untungnya berada tak jauh dari motor Pak Galuh.
"Nggak usah bohong lo, Jay, ngaku aja, kaya gue nggak tau kebiasaan buruk lo aja" ujar Dera tak mau percaya.
"Maksud lo apa ngomong kebiasaan buruk Anja? Sok suci banget lo jadi cewek!" sulut Windy tiba-tiba, sepertinya dia tidak terima Dera berkata seperti itu kepadaku.
"Emang bener, kan? Lo sama temen lo itu suka ngerjain guru? Sering ribut di kelas? Dan nilainya ancur semua? Terus gue harus nyebut itu semua apa kalo bukan keburukan? Kalian berdua kan emang sampah sekolah" jawab Dera seraya berdecih. Kulihat Windy mengepalkan tangannya, rahangnya juga mengeras sempurna karena marah.
"Jangan sembarang lo kalo ngomong! Gue sama Anja bukan sampah, ada juga lo tuh yang sampah!" eram Windy.
"Terserah lo mau nyebut gue apa, yang jelas, semua siswa juga tau kalo kalian nggak berguna di sekolah ini" jawab Dera tersenyum mengejek. Aku hendak menanggapi ucapan pedasnya, namun seseorang di sebrang sana menyela dengan berteriak lebih dulu dariku.
"Dera!" teriaknya nyaring.
"Udah berapa kali gue bilang, jangan suka ngomong sembarangan!" pekiknya menghampiri kami bertiga.
"Anja, cepet ke kelas" titah orang itu yang tak lain adalah Edgar.
Aku segera menarik tangan Windy menjauh, meninggalkan mereka si cassanova dan primadona sekolah yang katanya relationship goals itu dengan hati dongkolku.
Edgar dan Dera memang sepasang kekasih, entah dari kapan mereka memulainya, namun hal itu sempat membuatku sakit hati.
Dulu aku sempat memiliki perasaan lebih pada Edgar, karena menurutku dia berbeda dengan pria pada umunya. Dimana kebanyakan pria biasanya mengumbar bualan untuk menarik perhatian para gadis, sedangkan Edgar tidak.
Dia bahkan lebih memilih menjauhi para fansnya yang membeludak di sekolah, dan karena sifatnya yang aku pikir cool itulah aku tertarik.
Tapi sejak aku tahu dia berpacaran dengan Dera, aku mulai mencoba melupakan perasaanku terhadapnya. Bahkan sekarang, aku mencoba untuk tidak mempedulikan apapun lagi tentangnya. Tapi.....
Aku tidak bisa.