Gerimis membungkus taman kota. Suasana akhir pekan yang semula cerah, berubah gelap. Awan mendung tiba-tiba menghalangi matahari pagi ini. Burung-burung berterbangan, kembali kesarangnya. Para pengunjung yang sejak tadi bercengkrama, bermain bersama menikmati akhir pekan, bergegas pergi. Mencari tempat berteduh. Khawatir hujan yang turun akan semakin deras. Aku yang sejak tadi bersantai, duduk sambil mendengarkan lagu, panik. Bangkit. Segera kumasukkan smartphone beserta earphonenya ke dalam tas. Ikut bergegas mencari tempat berteduh. Hujan sepertinya akan semakin deras.
Setelah kurang lebih satu menit, akhirnya aku menemukan tempat berteduh yang tepat. Sebuah halte kecil di pinggir jalan yang berjarak 50 meter dari pusat taman, tempat tadi aku bersantai. Halte ini satu-satunya tempat berteduh tersepi yang aku temui. Hanya ada seorang lelaki paruh baya, seorang anak laki-laki yang membawa gitar kecil, sepertinya ia seorang pengamen, dan dua orang remaja perempuan seusia adikku. Tanpa pikir panjang, aku segera duduk di bangku halte paling ujung. Mengambil earphone yang masih tersambung dengan smartphone dari dalam tas, dan memasangnya kembali ketelinga. Melanjutkan mendengarkan lagu yang tadi terpotong karena hujan yang datang tiba-tiba.
Akupun tenggelam dalam suasana lagu yang kuputar. Ikut terantuk karena angin yang terus membelai lembut kulitku. Beruntung aku memakai jaket, sehingga tubuhku tidak kedinginan. Aku menguap. Terus menguap. Hingga sedetik kemudian aku terlelap.
***
“Kak, Kak, bangun Kak…”
Samar terdengar suara anak kecil. Kemudian, tubuhku diguncang-guncangkan.
‘Sepertinya suara anak itu memanggilku.' gumamku dalam hati.
Perlahan aku membuka mata. Dan benar, anak itu sedang membangunkanku.
‘Ada perlu apa anak ini denganku?’
Segera kulepas earphone dari telingaku.
“Hmm, yaa.. Ada apa ya, Dik?” tanyaku sambil mengusap wajah setelah menguap sebentar.
“Itu Kak...” ujar anak laki-laki itu sambil tangannya menunjuk ke tengah jalan.
Mataku mengikuti arah tunjukan tangan anak itu. Betapa terkejutnya diriku melihat lelaki paruh baya yang tadi berada di halte bersama kami sudah terkapar di tengah jalan dengan tubuh yang basah. Merah. Darah mengalir dari tubuhnya.
“Tolong Bang Ian, Kak. Ia tadi diserang oleh segerombolan orang dengan pisau dan kemudian diserempet dengan mobil yang mereka kendarai. Bang Ian sudah mencoba melawan, tapi ...”
Tanpa pikir panjang dan menunggu anak laki-laki itu selesai berbicara, aku segera melepaskan tas dan meletakkannya di bangku halte. Tidak lupa melepas jaket yang kupakai agar tidak basah terguyur hujan, segera berlari menerobos hujan menuju lelaki paruh baya itu.
Sebelum aku menerobos hujan, kalimat terakhir yang kudengar dari anak laki-laki itu adalah bahwa saat kejadian, dia disuruh bersembunyi oleh lelaki paruh baya itu.
Hujan masih turun sangat deras. Aku telah berada di depan tubuh lelaki paruh baya yang terkapar itu. Aku mencoba untuk menyadarkannya. Namun, menyedihkan sekali. Lelaki paruh baya itu sudah tak bernyawa. ‘Bagaimana ini? Bagaimana kalau nanti aku yang menjadi tersangka atas kematian lelaki paruh baya ini.’ keluhku dalam hati.
‘Ah, tidak mungkin! Tenang saja, ada anak laki-laki itu yang bisa menjadi saksi atas kejadian ini’
Darah segar masih mengalir. Terbawa air hujan yang membasahi mayat lelaki paruh baya itu. Mengalir diatas aspal mengikuti arus air menuju selokan. Aku lekas mengangkat bahu lelaki paruh baya itu. ‘Ugh, berat sekali! Aku tidak sanggup menggendong mayat lelaki paruh baya ini.’ keluhku dalam hati.
Kuputuskan untuk menyeretnya dengan rasa sedikit menyesal.
Sambil menyeret mayat lelaki paruh baya itu menuju halte, samar kudengar seruan anak laki-laki yang tadi membangunkanku di halte.
“Hati-hati Kak! Hujannya semakin deras.” seru anak laki-laki itu kepadaku.
Sontak aku mengangguk untuk mengiyakan seruannya. Dan melepaskan satu tanganku untuk mengacungkan jempol. Untuk kemudian kembali memegang bahu mayat lelaki paruh baya itu dan kembali menyeret tubuhnya menuju halte. Beruntung hujan masih turun sangat deras. Sehingga kedua tanganku yang berlumuran darah, yang digunakan untuk menyeret mayat lelaki paruh baya itu, langsung terbilas oleh air hujan yang turun.
Setelah beberapa lama, sampailah aku di halte. Ku letakkan mayat lelaki paruh baya itu di lantai halte. Mayat lelaki paruh baya itu berat sekali. Untuk membawanya ke halte saja menghabiskan waktu kira-kira sepuluh menit. Padahal, jarak dari tengah jalan ke halte hanya dua puluh meter. Proses yang amat melelahkan.
Setelah selesai merapikan posisi mayat lelaki paruh baya itu dan menutupnya dengan daun pisang yang kudapat dari sebuah pohon pisang yang daunnya menyembul dari kebun kosong dibelakang halte ini, aku segera menghubungi pihak polisi.
Setelah tersambung dengan polisi, mereka mengatakan akan tiba kira-kira setengah jam lagi bersama dengan ambulans yang akan membawa mayat lelaki paruh baya itu ke rumah sakit. Agak lama memang. Dikarenakan hujan yang sangat lebat disertai angin kencang yang menyebabkan sebuah pohon besar tumbang di perempatan jalan sektor lima yang berjarak lima ratus meter dari taman kota. Tumbangnya pohon besar itu juga menyebabkan jalur kendaraan menuju jalan depan halte ini ditutup sementara hingga hujan lebat yang disertai angin kencang reda. Itulah alasan mengapa sejak tadi tidak ada kendaraan yang lewat, yang mungkin bisa membantu membawa mayat ini ke rumah sakit.
Kantor polisi itu sendiri sebenarnya tidak terlalu jauh dari halte ini. Hanya membutuhkan waktu sepuluh menit untuk dapat sampai dalam kondisi normal. Tapi, karena pohon tumbang itulah polisi harus melewati jalur lain yang membuat waktu perjalanan bertambah tiga kali lipat dari biasanya.
Setelah menutup telepon dan menyimpan smartphone kembali ke dalam tas, segera kubuka kaos lengan pendek yang kukenakan, yang telah basah kuyup. Dan menggantinya dengan jaket yang tadi ku tinggalkan. Tujuanku untuk menghindari rasa kedinginan yang berlebihan. Anak laki-laki yang sedari tadi menungguku segera menghampiri.
“Ini Kak. Pakai aja handukku untuk mengeringkan badan Kakak yang basah.”
Aku menoleh ke anak laki-laki itu dan mengernyitkan dahi.
“Hmm… Tapi…”
“Tenang aja Kak. Handuk itu belum aku pakai. Baru aku bawa tadi pagi saat aku mau berangkat mengamen. Kukira hari ini cuaca akan panas. Eh, ternyata hujan. Deras banget lagi.”
Anak laki-laki itu memotong pembicaraanku. Seakan tau apa yang ada dalam pikiranku.
“Eh, bukan. Maksudku...”
“Udah Kak, pakai aja. Enggak apa-apa kok.”
Aku tersenyum dan mengambil handuk yang disodorkan anak laki-laki itu.
“Terima kasih, ya Dik..” sambil kuusap kepala anak laki-laki itu. Dia pun tersenyum.
Aku segera mengeringkan badanku yang basah dengan handuk tersebut dan mengenakan jaket yang tadi kutinggalkan.
“Jadi, ketika tadi aku sampai di tempat Bapak ini terkapar, ia sudah tak bernyawa.”
Aku memulai pembicaraan sambil mengambil minyak aromatheraphy dari dalam saku tas dan mengoleskannya ke tangan, leher, dan badan. Dengan celana panjang yang masih basah, tentu aku merasa kedinginan. Sehingga aku membutuhkan alat penghangat seperti minyak aromatheraphy untuk menghangatkan tubuhku.
“Bagaimana Kakak tahu?”
“Hmm… Awalnya aku ragu. Namun setelah melihat banyaknya luka yang terdapat pada tubuh besar Bapak ini, membuatku yakin bahwa Bapak ini sudah meninggal. Dan itu dibuktikan dengan telah berhentinya denyut nadi Bapak ini. Aku telah mengeceknya tadi.”
“Ooh.. Begitu. Baiklah, semoga Kakak tidak salah.”
Aku mengangguk. Lantas menawarkan anak laki-laki itu minyak aromatheraphy. Anak laki-laki itu menolak. Bilang bahwa dia sudah terbiasa dengan cuaca seperti ini.
Aku menyimpan kembali minyak aromatheraphy ke dalam saku tas. Sudah sepuluh menit berlalu sejak aku menelpon polisi. Kemungkinan dua puluh menit lagi polisi akan tiba. ‘Semoga mereka tiba tidak lebih lambat dibandingkan waktu yang mereka perkirakan.’ batinku.
Hujan belum berhenti juga. Masih turun sangat deras. Di halte ini, tinggallah aku, anak laki-laki tadi, dan mayat lelaki paruh baya itu. Dua orang remaja perempuan yang tadi berada di halte ini sudah pergi menumpang angkutan umum yang lewat. Sepertinya saat dua remaja perempuan itu pergi, pohon besar yang berada di perempatan sektor lima belum tumbang. Sehingga kendaraan masih bisa melewati jalur depan halte ini.
Sambil menunggu polisi dan ambulan tiba, aku terus berbincang-bincang dengan anak laki-laki itu. Nama anak laki-laki itu adalah Ken. Dia biasa mengamen disekitar taman dan alun-alun kota. Kukatakan padanya bahwa dia akan ikut bersamaku ke kantor polisi untuk menjadi saksi utama atas insiden pembunuhan ini. Juga untuk menghindari polisi mencurigaiku sebagai pelaku pembunuhan. Dia pun setuju dan kami meneruskan pembicaraan.
Aku bertanya kepada Ken tentang lelaki paruh baya itu. Menurut cerita Ken, lelaki paruh baya yang mati terbunuh itu adalah bosnya. Namanya Novian. Orang-orang biasa memanggilnya Bang Ian. Ia sudah menjadi bos para pengamen di sekitar taman kota selama lima belas tahun. Sejak umurnya tiga puluh tahun.
Ken baru diangkat oleh Bang Ian menjadi anak buahnya selama satu tahun. Ia memang belum terlalu lama mengenal Bang Ian. Namun, menurutnya Bang Ian adalah orang yang tegas. Meskipun kadang suka marah-marah, sebenarnya Bang Ian adalah orang yang perhatian dengan para anak buahnya.
Contohnya ketika kemarin Ken dipalak oleh preman di sudut gang dekat sekolahan. Bang Ian langsung bertindak ketika mendapat informasi bahwa salah satu anak buahnya dipaksa memberikan uang hasil mengamen . Menurut cerita Ken, kejadiannya begitu cepat. Sebelum preman itu meninggalkan sudut gang, tiba-tiba tubuh preman tersebut ditarik seseorang dan sedetik kemudian terpelanting. Tak disangka, yang melakukan itu adalah Bang Ian. Ken pun sangat antusias menceritakan kisah kehebatan Bang Ian. Menurutnya, Bang Ian adalah orang yang paling hebat yang pernah ia temui.
“Tapi, mengapa hari ini Bang Ian kalah dari para penjahat itu? Benarkah Bang Ian telah terbunuh? Buatku, itu suatu yang mustahil. Sulit bagiku percaya bahwa Bang Ian telah mati. Karena menurut cerita kawan-kawanku yang sudah menjadi anak buahnya sejak lama, Bang Ian tak pernah terkalahkan walau ia pernah ditabrak truk tronton! Hebat bukan Kak?”
Aku bergidik. Membayangkan betapa hebatnya seorang Bang Ian itu.
“Entah ilmu macam apa yang Bang Ian gunakan. Tapi, itulah faktanya. Meskipun aku belum melihat secara langsung kehebatan Bang Ian dalam hal itu, dia tetap idolaku!”
“Wah, beruntung sekali kamu memiliki bos sebaik Bang Ian!" jawabku antusias.
Sekarang kira-kira sudah dua puluh menit sejak aku menelpon polisi. Kemungkinan sepuluh menit lagi polisi akan tiba. ‘Semoga mereka tiba tidak lebih lambat dibandingkan waktu yang mereka perkirakan.’ batinku.
Aku dan Ken duduk di pinggiran depan halte yang masih tertutupi atap. Duduk memandangi hujan yang mulai mereda sambil berbincang ringan. Posisi kami membelakangi mayat Bang Ian.
“Kenapa tiba-tiba perasaanku jadi enggak enak ya, Ken?”
“Ah, mungkin itu hanya…”
Sraakk.. Sraakk
Sebelum Ken selesai bicara, tiba-tiba terdengar suara aneh. Seperti suatu barang yang dirobek secara kasar. Suara itu berasal dari belakang kami.
‘Suara apa itu?’
“…”
Aku dan Ken saling tatap.
“Jangan-jangan…”
Aku dan Ken berkata bersamaan. Sontak kami menoleh ke belakang. Dan,
“Aargh… Aargh.. Tt..to..long ll..le..pp..pas..kk..kan a..aa..ak..ku.”
Tiba-tiba dua buah tangan kokoh Bang Ian mencekik erat leherku. Benar dugaanku. Suara aneh itu berasal dari Bang Ian yang hidup kembali lalu merobek daun pisang yang tadi digunakan untuk menutupi tubuhnya. Dengan tubuhnya yang kekar dan besar, ia mampu mencekik sambil mengangkatku dengan mudah. Susah sekali bagiku untuk bernapas.
“APA YANG TELAH KAU LAKUKAN KEPADA ANAK BUAHKU, HAH? AKAN KUBALAS KAU MELEBIHI APA YANG TELAH KAU LAKUKAN KEPADA ANAK BUAHKU!”
Brakk!
Tubuhku terlempar ke lantai halte.
“AARGH.. AA.. KK.. KUH TTIH..DAHK.. BERSALAH!!” aku berusaha teriak meyakinkan Bang Ian.
“Bang Ian? Apa yang Bang Ian lakukan kepada Kak Rey? Bukan dia pelakunya, Bang! Bukan… “
Brakk!
Ken pun terjatuh.
Apalah dayaku sekarang? Tidak ada yang akan membantuku. Ken jatuh pingsan. Sepertinya Bang Ian yang sekarang berbeda dengan Bang Ian yang dulu. Lihatlah, Bang Ian seperti tidak peduli dengan Ken yang telah membuat pembelaan untukku. Ken yang telah setia bekerja untuknya. Ia mendorong Ken dengan kasar hingga Ken pingsan. Kepala Ken terantuk bangku halte cukup keras.
Setelah menoleh sebentar ke arah Ken, Bang Ian kembali menatapku. Akulah tujuan utamanya. Bang Ian berjalan ke arah ku sambil membawa sebatang besi yang ia ambil dari bangku halte yang sudah lepas murnya.
‘Apa yang harus kulakukan?’ batinku lirih.
Dan sebelum aku sempat berdiri, Bang Ian telah berada di hadapanku. Mengangkat batang besi dan siap mengayunkannya ke arahku. Leherku kaku. Tulangku remuk. Aku tak bisa bergerak. Aku pasrah. Tak bisa berkutik.
“MATI KAU!!”
Bugh!!
***
“Hah… hah…”
Aku membuka mata. Tersadar. Hujan masih turun sangat deras. Tampak di hadapanku Ken yang panik. Segera kulepaskan earphone dan memasukkannya ke tas.
“Kak, Kak. Ada apa dengan Kakak?”
‘Ken?’Aku bertanya dalam hati.
“Kakak baik-baik saja?”
Aku mengangguk. Aku memang tidak apa-apa. ‘Tapi, mengapa Ken masih sadar? Dan Bang Ian? Jadi yang tadi itu hanya mimpi? Atau…’
“Kak, tolong Bang Ian, Kak.” ujar Ken sambil tangannya menunjuk ke tengah jalan.
Deg!
‘Apa ini? Apa maksud semua ini? Apa aku akan mengalami semua yang terjadi di mimpiku? Inikah takdirku?’
***
Jelek Banget ahahahahahah