Banyak orang yang merasa enggan untuk menaiki kendaraan umum, terutama kelas ekonomi. Begitu pula dengan Anne, padahal ia baru saja masuk ke dalam kereta ini sepuluh menit yang lalu. Tangisan bayi, teriakan anak kecil, barang penuh sesak di depan dan di atas kepalanya, semuanya masih bisa tahan. Namun, yang paling menyebalkan dari semua ini adalah bau badan orang di sampingnya. Walaupun ia sudah mengenakan masker, menyemprotkan pengharum tetap saja bau itu masih terus ada.
'Aku mau turun aja satu stasiun lagi, udah ga tahan.' Anne menuliskan pesan pada Tante Sarah.
Andai saja ia memesan tiket lebih cepat, semua ini tidak akan terjadi. Kini Anne tahu kenapa kelas eksekutif yang lebih mahal malah cepat terjual, nyatanya tidak semua orang bisa bertahan di sini. Selain itu, jika bukan karena Tante Sarah yang memintanya datang ke pernikahan anaknya, Anne akan dengan senang hati tidur nyenyak di atas kasur empuknya daripada harus bersusah payah memeluk tas nya yang tidak mendapat tempat seperti saat ini.
'Sabar, Anne. Sebentar lagi stasiun besar, pasti banyak yang turun. Itung-itung perjuangan sebelum liburan kan.' Tante Sarah adalah orang yang paling mengerti tempramen Anne.
Tak lama setelah ia membuka pesan, kereta mulai mengurangi kecepatannya. Sedikit ada harapan saat orang di sampingnya bersiap menurunkan barang. Dalam hati Anne terus berdoa bahwa orang di sampingnya ini akan segera turun. Seakan diijabah oleh Tuhan, orang di sampingnya basa-basi berpamitan pada Anne bahwa ia akan turun di stasiun yang akan datang.
"Mari, Mbak. Saya turun di stasiun ini, Mbaknya bisa santai sedikit," kata pria di sampingnya.
"Iya, Pak. Hati-hati turunnya, mungkin agak licin," ujar Anne sambil memantau keadaan di luar yang sedang gerimis.
Setelah basa-basi, sungguh Anne sedikit merasa lega, walaupun sedikit merasa tak enak sejak tadi ia menggerutu di dalam hatinya tentang bapak ini. Bagaimana lagi, sepertinya itu semua sudah bawaan lahir bawa Anne sangat gila akan kebersihan, walaupun bagi sebagian orang itu memang sedikit keterlaluan.
Kereta mulai berjalan kembali dan kaca di samping Anne sudah semakin basah. Nampaknya hujan di luar cukup lebat, dan semoga saja tidak mengganggu perjalanannya hari ini. Anne sebenarnya sangat suka hujan, namun kali ini beda kondisi. Kalau saja ia ada di rumahnya dengan kasur empuk dan selimut yang membalutnya, hujan akan sangat menyenangkan bagi Anne. Memang dasarnya Anne tidak pernah keluar rumah selain bekerja, jadi saat seperti ini ia merasa bosan, padahal pekerjaannya terus mengalir, tapi Tante Sarah sudah mewanti-wantinya untuk tidak membawa pekerjaan ke rumah, alhasil laptop dan segala kertas yang selalu memenuhi tas Anne harus ditinggalkan.
Enchanted by Taylor Swift mulai mengalun di telinga Anne, kereta juga stabil selama beberapa saat, dan perlahan ia mulai mengantuk. Namun semua gagal saat petugas kerta mulai memberikan pengumuman bahwa mereka akan berhenti lagi di sebuah stasiun, dan sialnya saat ini mereka akan berhenti selama dua puluh menit di karenakan ada pengecekan kereta. Suasana hati Anne yang awalnya sudah membaik kini kembali jatuh ke dasar jurang. Benar saja, kereta yang ditumpangi Anne sudah berhenti dengan sempurna di sebuah stasiun yang untungnya lumayan besar.
Anne memutuskan untuk keluar dari kereta dan mencari air minum karena kebodohannya, ia tadi lupa membawa barang yang sudah ia siapkan sejak semalam itu. Langkahnya terus maju, dan menemui beberapa pilihan lain selain air mineral. Indera penciumannya yang tajam menangkap bau harum dari sebuah toko roti yang cukup terkenal. Pada akhirnya Anne memutuskan untuk membeli roti di sana dan menyantapnya sejenak bersama dengan air minum yang sudah dibelinya tadi.
Tak terasa Anne sudah menghabiskan hampir dua puluh menit di toko roti tersebut, lagi-lagi suara petugas menyadarkannya untuk segera kembali ke kereta. Air minum di tangan kanan dan sebungkus roti yang masih tersisa di tangan kiri. Dengan tergesa, ia kembali ke gerbong kereta dan tak lama kereta mulai berjalan dengan pelan, bersyukur Anne tidak tertinggal. Untuk tubuhnya yang ramping, ia tak perlu kesusahan untuk bergerak di gerbong yang entah sejak kapan menjadi penuh sesak.
Mata Anne tertuju pada bangku yang ditempatinya, namun ada yang sedikit berbeda. Kini ada sebuah benda asing yang menghuni bangkunya, sebuah gitar berbalut tas hitam sudah bersandar sempurna di bangku milik Anne. Di samping gitar tersebut ada seorang pria tinggi yang memeganginya. Pria dengan kemeja hitam dan beanie berwarna hijau army duduk dengan santai seakan tidak mengetahui bahwa di belakangnya Anne sedang berdiri kebingungan karena bangkunya sudah penuh dengan barang yang bukan miliknya.
Di seberang pria tersebut, seorang pria lainnya yang memakai kaos putih polos dan headphone menyadari kedatangan Anne yang nampak seperti wanita kebingungan. Ia pun melepas headphone dan menyadarkan temannya bahwa ada Anne di belakang yang sedang kebingungan.
"Kak, ini bangkunya?" tanya pria berkaos putih polos sambil menunjuk bangku Anne yang kini dihuni sebuah gitar.
"Iya, Kak. Bisa minta tolong dipindah sebentar gitarnya?" jawab Anne yang entah mengapa merasa tidak enak.
"Maaf ya, Kak. Sebentar saya pindah dulu. Silakan masuk dulu, Kak." Pria dengan kemeja hitam itu akhirnya sadar dan beranjak dari bangkunya sambil menepikan gitarnya.
Anne dengan rasa sedikit canggung kembali ke bangkunya yang berada di samping kaca, seakan diapit oleh pria-pria tinggi di sampingnya. Pria dengan kemeja hitam masih kebingungan memindahkan gitarnya, dan pria dengan kaos putih beberapa kali melirik ke arah Anne.
"Kak permisi, bisa titip gitar ini dulu di samping kakaknya? Itu tas nya biar dipindah ke atas, Kak, " tanya pria berkaos putih.
"Boleh, Kak." Anne menyerahkan tas nya pada pria yang mengajaknya bicara, namun yang menaikkannya ke atas adalah pria berkemeja hitam di sampingnya.
Gitar yang dari tadi tidak mendapatkan tempat, kini sudah aman berada di samping Anne. Mereka pun juga kembali pada aktivitas masing-masing. Kantuk yang tadi menerjang Anne kini sudah menghilang entah kemana, karena ia harus berdiri beberapa saat kini kakinya yang malah merasa lelah. Pria di sampingnya sudah tertidur, dan pria satunya lagi membuka laptop dan sepertinya sedang mengerjakan sesuatu. Pemandangan di luar jendela juga sudah tak terlihat karena hari sudah gelap, hanya beberapa kilau lampu dari pemukiman warga yang menjadi hiburan bagi Anne.
"Kakak mau turun di mana?" Anne sedikit terkejut karena pria yang tadi sudah teridur kini sudah memandang ke arahnya.
"Oh, turun di Surabaya, Kak. Kakaknya turun di mana?" jawab Anne basa-basi.
"Sama kalo gitu, Kak. Kita juga mau turun di Surabaya," balas pria tersebut.
Melihat Anne yang kebingunan, pria dengan kemeja hitam itu menunjuk ke arah teman-temannya yang sudah berada di seberang lorong, dan pria berkaos putih di depannya. Akhirnya Anne menyimpulkan bahwa mereka adalah satu grup band melihat dari semua peralatan yang mereka bawa.
"Mau manggung, Kak?" tanya Anne.
"Iya, Kak. Kebetulan kita ketinggalan bus rombongan, jadi naik kereta aja, Kak." Anne tidak menyangka bahwa pria di sampingnya ini cukup banyak berbicara. Mungkin sekalian membunuh bosan karena perjalanan mereka kurang lebih masih empat jam lagi.
"Keren, Kak. Acaranya khusus band indie aja, Kak?" Anne mulai penasaran karena ia juga sedang mencari kegiatan yang akan ia lakukan saat Tante Sarah sibuk mempersiapkan pernikahan anaknya besok.
"Didominasi sih, Kak. Tapi nggak semua kok, Kak. Mau nonton?" tanya pria tersebut.
"Niatnya sih, Kak. Soalnya belum tahu besok di Surabaya mau ke mana aja," jawab Anne terang-terangan.
Kejutan kedua, pria berkemeja hitam tersebut mengulurkan tangannya pada Anne mengisyaratkan bahwa mereka harus saling mengenal.
"Gio, kakak?" tanya pria tersebut.
"Annastasia, panggil aja Anne," jawab Anne sambil membalas uluran tangan Gio.