Sejak tadi Tory hanya berdiri mematung saat Juno terus menyilang semua sketsa yang dibuatnya di atas kanvas. Tory tidak percaya kalau tiga sketsa yang dibuatnya sampai begadang semalaman dihancurkan begitu saja oleh cowok itu tanpa rasa bersalah sedikit pun.
“Ini juga tidak bagus, sebenarnya kau tau tidak apa ide yang mau kau sampaikan?” setelah selesai mencoret-coret sketsa Tory, Juno menoleh ke arah Tory yang berdiri tidak jauh dari situ. Ini adalah hari pertama Juno menjadi tutor Tory. Seperti janji, mereka bertemu di studio gedung Da Vinci.
“Sebenarnya aku kehabisan waktu semalam dan tidak bisa menyelesaikan sketsa nya-”
“Lalu kenapa kau buat tiga sketsa?” tanya Juno datar.
Sebagai tutor, Juno cukup menyeramkan. Tory tidak menyangka kalau Juno benar-benar se-serius ini. Dan mengesankan seorang Juno jelas bukan pekerjaan yang mudah. Mendadak Tory sedikit menyesal dengan meminta Juno menjadi tutor-nya.
“Karena…, aku pikir kau butuh banyak pilihan,”
Juno menatap Tory tidak percaya sambil menggelengkan kepalanya heran. “Ketiga sketsa-mu punya konsep yang berbeda,” Juno mulai menjelaskan perbedaan sketsa yang dibuat Tory. Memang Tory mengakui kalau idenya ini masih sangat rancu. Ia belum bisa memikirkan ide yang tepat, oleh karena itu ia membuat tiga sketsa.
Juno berjalan keujung ruangan untuk mengambil kanvas dan langsung meletakkannya di atas easel kayu. Ia mengisyaratkan Tory untuk duduk.
“Sekarang aku mau kau merekayasa ulang lukisan yang akan kau buat. Aku mau satu konsep yang jelas dan pasti,”
Tory mengangguk dan mulai menggambar. Jujur saja ia sedikit tertekan namun ia juga tidak mau mengecewakan Juno yang super perfeksionis. Juno mengambil kursi dan duduk tepat di samping Tory. Cowok itu terus memperhatikan cara Tory menggambar.
Diperhatikan seperti ini membuat jantung Tory berdegup kencang. Karena saat ini bukan hanya teman atau orang tuanya yang melihat ia menggambar secara langsung. Tapi ini Juno! Tory tidak boleh membuat kesalahan atau ia akan malu seumur hidup.
Juno juga hanya diam tanpa berkomentar sedikit pun, seolah-olah ia memang sedang fokus memperhatikan Tory. Atmosfer sekitar menjadi sangat tegang dan berat buatnya.
Kemudian mereka berdua dikejutkan dengan ponsel Juno yang berdering. Juno bangkit berdiri untuk menerimanya. Sedangkan Tory hanya menghela nafas lega saat cowok itu menjauh untuk mengangkat telepon. Ia pun berhenti menggambar.
“Halo…, aku di Da Vinci, oh oke, oke aku kesana,” Juno menutup panggilan dan mendapati Tory sedang memperhatikan nya.
Sial! Tertangkap basah! Gerutu Tory dalam hati.
“Aku akan pergi sebentar, kau selesaikan lukisan-mu sebelum aku kembali,” jelas Juno sambil meraih tas dan kamera miliknya.
Tory mengangguk patuh dan Juno langsung menghilang di balik pintu. Sepertinya ada hal mendesak yang harus dilakukan cowok itu.
Selama beberapa menit Tory hanya bisa memandangi kanvasnya dengan tatapan kosong. Tory ingin menghubungi Emma atau Theo namun ia mengurungkan niatnya dan lanjut menggambar. Karena tidak tau kapan Juno akan kembali, sebaiknya ia segera menyelesaikan lukisan ini.
***
“Kemana saja kau?”
“Sudah kubilang aku di studio gedung Da Vinci,”
Prim hanya menatap heran ke arah Juno.
“Maafkan aku,” sambung cowok itu dan Prim hanya mengangguk sambil menyodorkan kopi yang telah di pesan kannya.
“Cappuccino, dengan susu seperti yang kau suka,”
Juno tersenyum. “Terimakasih,” Lalu menyeduh kopinya.
“Apa yang kau lakukan di studio? Bukankah kau sudah tidak punya kelas disana?” tanya Prim heran sebelum meneguk minumannya juga.
“Ada siswa baru yang memintaku jadi tutor-nya,” ucap Juno membuat Prim spontan menatap cowok itu tidak percaya. “Ya aku tau, ini terdengar aneh. Tapi aku merasa kalau dia punya potensi besar dan sangat berbakat, karena itu aku mau membantunya,” jelas Juno langsung.
“Jadi…, kau mulai kembali melukis?” tanya Prim pelan.
Juno terdiam sejenak, ia terus mengaduk-aduk minumannya. Sebenarnya, sudah lebih dari 3 bulan Juno tidak pernah melukis lagi. Itu lah alasan nya lama meninggalkan apartemen di Lafayette. Di tahun terakhirnya Juno memang tidak mengambil kelas melukis melainkan fokus dalam fotografi. Alasannya karena ia merasa jenuh dalam melukis. Seolah-olah ia tidak punya kesenangan di dalam melukis seperti dahulu kala.
“Tidak juga, pada dasarnya aku cuma memberi saran karena dia akan mengikuti acara Athena Exhibit,”
Prim semakin tertarik. “Oh ya? Siapa dia? Mungkin aku mengenalnya kalau memang berbakat seperti yang kau ceritakan,”
Juno hanya menggeleng pelan. “Dia tidak berasal dari sini dan dia tidak mengenal banyak senior,” Juno kembali mengecek ponselnya untuk melihat waktu.
Prim melipat tangannya di depan dada dan menatap Juno dengan heran. “Tidak mengenal banyak senior tapi mengenal seorang Juno?”
Juno hanya memutar bola mata nya.
Prim tertawa lepas. “Kalau begitu kau harus memperkenalkanku padanya,”
Juno hanya menatap Prim seolah-olah meminta cewek itu untuk tidak melakukannya.
“Kenapa tidak? Kau terus melihat waktu di ponsel-mu. Selain itu aku tidak bisa membiarkan siapapun menderita di bawah ambisis perfeksionis-mu,” tambah Prim puas.
Juno menggelengkan kepalanya sambil mengacak-acak rambut Prim dengan gemas.
“Jangan rusak rambut-ku hari ini Juno!” gerutu Prim sedikit kesal.
“Kau yang mulai duluan putri es,” balas Juno tidak mau kalah.
Kemudian Prim bangkit berdiri dan mengulurkan tangannya. “Ayo, perkenalkan aku dengan murid barumu,”
Juno menghela nafas panjang dengan malas. “Bukankah kau memintaku datang untuk membantumu di perpustakaan?”
Prim terdiam dan terlihat berpikir sejenak sebelum menjawab. “Kau benar juga, kalau begitu setelah dari perpustakaan,” Prim langsung menarik tangan Juno sampai cowok itu berdiri.
“Astaga, baiklah,” ucap Juno sambil mengikuti Prim keluar dari cafetaria menuju perpustakaan.
***
Sudah lewat 45 menit sejak Juno meninggalkannya. Tory melirik waktu di ponsel sekali lagi. Kali ini lukisannya sudah setengah jalan. Sebenarnya ia tidak terlalu puas. Tory melakukan beberapa kesalahan, sehingga saat ini ia berusaha untuk memperbaikinya dengan berbagai cara. Mulai dengan mengganti warna dan memperjelas detail lukisan. Selama beberapa saat Tory memperhatikan lukisan bergambar seorang wanita yang memeluk tubuhnya sendiri. Kali ini Tory memang akan membawa konsep tentang women empowerment.
Setelah beberapa kali percobaan Tory sedikit puas dengan hasilnya. Ia mulai mencuci kuas serta telapak tangannya yang sudah penuh cat. Sekarang satu jam sudah berlalu dan Juno belum juga kembali. Tory mulai berpikir kalau mungkin saja Juno memang tidak akan kembali. Tory mulai membereskan barang-barangnya tepat saat pintu terbuka.
“Tory?”
Prim melangkah masuk ke dalam studio, ia terlihat terkejut saat melihat Tory yang kebingungan. Apa yang dilakukan Prim disini?
Sedetik kemudian Prim langsung tersenyum lega. “Oh, ternyata kamu yang meminta Juno menjadi tutor ya?”
Tory masih bingung namun ia hanya mengangguk pelan.
“Prim, sudah kubilang jangan meninggalkanku begitu saja,” Juno masuk sambil membawa beberapa buku yang sangat tebal.
“Yah, kau jalannya lama sekali tadi,” ucap Prim geli.
Tory baru menyadari fakta bahwa Juno dan Prim ternyata saling mengenal. Kalau dilihat dari manapun keduanya sangat cocok satu sama lain.
Astaga?! Apa mereka pacaran?!
“Kenapa kau tidak bilang kalau muridmu itu Tory,”
“Aku tidak tau kalau kau mengenalnya,” ucap Juno berusaha membela diri.
“Kalau begitu aku tidak akan mengganggu kalian, Juno sudah meninggalkanmu terlalu lama. Dan kalau ia berani macam-macam jangan sungkan bilang padaku ya,” bisik Prim sambil mengedipkan matanya kepada Tory.
Tory hanya mengangguk dan Prim langsung berjalan mengambil buku-buku yang tadi di bawa Juno.
“Hati-hati, kau nanti pulang sendiri?” tanya Juno saat ia mengantar Prim keluar dari studio.
Prim mengangguk.
“Kalau begitu tunggu aku setelah ini, aku akan mengantarmu pulang,”
“Nggak usah, aku masih ada acara penggalangan dana sore ini, kau pulang saja terlebih dahulu,” jawab Prim dan Juno mengangguk paham sebelum ia menutup pintu.
Sejak tadi Tory masih menyimak pembicaraan mereka sambil menyelesaikan lukisannya.
“Belum selesai juga?”
“Sudah, tinggal sedikit lagi,” Juno mendekat untuk memperhatikan lukisan Tory. dalam hati Tory masih penasaran akan hubungan Juno dan Prim, namun ia berusaha tetap fokus dalam lukisan dan juga kritik yang akan dilontarkan Juno.
“Menurutku kau sudah menemukan konsep-mu. Tapi lukisan ini membosankan,”
Tory menelan ludahnya dengan susah payah. Bahunya mendadak menjadi lemas.
“Lukisan mu tidak menceritakan apa-apa, warna yang kau gunakan juga tidak masuk akal,” sambung Juno membuat Tory semakin merasa pasrah. “Kemarilah,” Juno mengisyaratkan Tory untuk mengikutinya duduk di depan meja besar. Juno mengambil secarik kertas dan juga beberapa cat dari rak peralatan dan membawanya ke meja. Ia mulai menggambar sketsa yang mirip dengan lukisan Tory dengan sangat cepat. Tory bahkan sangat takjub saat melihat Juno bekerja. Ia menggambar dengan sangat rapi dan detail. Kemudian ia mulai menambahkan warna-warna diatas gambar nya. Tory memperhatikan dengan seksama. Tangan Juno bergerak sangat lincah dan tegas, namun tetap halus disaat bersamaan. Menghasilkan sebuah lukisan yang sangat indah dalam waktu yang singkat.
“Kau lihat perbedaanya?”
Tory memperhatikan lukisan Juno dan membandingkan dengan miliknya. Lukisan Juno tidak memilih banyak warna, hanya ada 3 warna yang terlihat lebih suram dari warna-warna cerah yang pilih Tory dalam lukisannya.
“Kau menggunakan warna-warna gelap dan…,” Tory berpikir keras agar dia bisa menemukan jawaban yang tepat namun ia kehabisan kata-kata. Itu karena lukisan Juno jelas jauh lebih bagus dari miliknya.
“Aku menggunakan warna-warna monokrom. Kenapa? Karena warna mendeskripsikan suasana yang ingin kau tunjukan dari lukisanmu. Suasana yang lebih teduh dan itu tidak bisa dihasilkan oleh warna-warna vibrant yang kau gunakan. Lukisan yang bernilai tinggi adalah lukisan yang bisa menyampaikan makna. Nikmat dipandang saja tidak akan cukup,” jelas Juno dan Tory mengangguk-angguk paham.
“Baiklah aku akan mengulangnya,” Tory bangkit berdiri namun ditahan oleh Juno.
“Tidak hari ini, kita akan melanjutkannya lusa,”
Awalnya Tory hendak membantah namun Juno langsung mengangkat tangannya.
“Ingat, perjanjiannya? Kau harus mengikuti apa yang kusuruh,” ucap Juno, dengan berat hati Tory hanya mengangguk patuh.
“Ayo pulang,”
“Sekarang?” tanya Tory bingung.
Juno berpikir sejenak dan mengangguk. Aku nggak punya jadwal setelah ini, apa kau tidak mau pulang?”
Sebenarnya hari ini Tory juga tidak punya kelas dan ia baru akan bekerja di Oliviere nanti sore.
“Kalau begitu ayo pulang, bukankah kau menjanjikan makan siang?” Tanya Juno.
Spontan Tory langsung menepuk jidat nya seperti teringat sesuatu. “Oh iya benar juga,”
Namun cewek itu tersadar lagi dan menatap Juno curiga. “Eh, aku menjanjikanmu sarapan bukan makan siang,” gerutu Tory membuat Juno tertawa dan mereka pun berjalan keluar studio.
“Bukankah sama saja? Lagipula aku juga belum sarapan,” jawab Juno membuat Tory curiga sampai ia menghentikan langkah cowok itu.
“Astaga? Kenapa kau tidak bilang? Aku bisa membuatkanmu sarapan tadi pagi,” ujar Tory langsung karena dia memang sudah berjanji untuk membuat kan sarapan selama Juno menjadi tutornya.
“Aku jarang sekali sarapan,”
“Tapi sarapan itu penting, kau tau menurut para ahli orang yang tidak sarapan sama dengan mobil yang tidak memiliki bahan bakar untuk memulai harinya,” jelas Tory.
Juno sedikit tertarik. “Oh ya benarkah?”
Tory mengangguk lagi. “Orang yang melewatkan sarapan cenderung lebih cepat mengalami hari yang stress dan pikiran yang berat,” jelas Tory lagi dengan sangat serius.
Juno hanya menyeringai ke arah Tory. “Aku tidak percaya, itu hanya mitos,”
Kali ini Tory menghentikan langkah Juno saat ia akan menyentuh tombol lift. Juno bahkan sedikit terkejut. “Tapi itu benar! Kau harus percaya padaku,” Tory masih bersikeras kalau pendapatnya benar.
“Terserah, tapi sekarang itu semua menjadi tanggung jawabmu,”
Pintu lift terbuka dan Juno masuk begitu pula dengan Tory yang masih menggerutu karena Juno tidak mempercayai kata-katanya.
***
“Jadi kau dan Prim sangat dekat?”
“Kenapa kau bertanya?” Juno menoleh ke arah Tory dengan curiga.
Mereka baru saja turun dari bus karena hari ini Juno juga tidak membawa mobil. Mereka pun berjalan di trotoar.
“Aku hanya penasaran, karena menurutku Prim itu keren sekali,” jawab Tory cepat.
“Jadi maksudmu kau tidak percaya kalau orang se-keren Prim dekat denganku?”
Tory buru-buru menggeleng. “Bukan begitu maksudku, hanya saja aku ingin berteman dekat dengannya juga,”
“Jadi kau tidak puas hanya berteman denganku?” Juno menyenggol bahu Tory
Cewek itu menatapnya jengkel. “Bukan begitu Juno…, hanya saja di hari pertama Prim sempat membantuku,” Tory teringat saat Prim membantunya membereskan peralatan lukisnya yang sempat dijatuhkan oleh Megan dengan sengaja.
“Tenang saja, Prim juga menyukaimu. Dia terus memberitahuku kalau ada seorang siswa baru di kelas Ms.Lydia yang sangat berbakat,” ucap Juno namun Tory hanya diam. Selama beberapa saat kedua nya berjalan dalam diam.
“Aku berteman dengan Prim sejak kecil,” ucap Juno tiba-tiba.
Tory hanya menyimak dalam diam. “Hanya bersahabat? Tapi kalian terlihat cocok sekali,” komentar Tory.
Juno langsung membuang perhatiannya ke jalan. Tory menyadari hal itu. “Tunggu dulu, jangan bilang kau memang punya perasaan padanya?” tanya Tory langsung disertai tawa gelinya.
“Kau bicara apa? Sudah kubilang kami hanya berteman,” jelas Juno lagi.
Tory hanya mengangguk-angguk paham sambil tersenyum kecil.
“Apa yang lucu?”
“Hah? Nggak ada,” jawab Tory cepat.
Juno masih menatapnya penuh curiga. Namun ia memutuskan untuk diam.
Tak terasa mereka telah sampai di depan apartemen.
“Juno! Tory!” Grace yang seperti biasa sedang duduk di tangga depan pintu masuk langsung melompat girang menghampiri Juno dan Tory.
“Grace? Baru pulang sekolah?” tanya Tory.
Grace yang masih lengkap dengan seragam sekolahnya mengangguk. “Mama memanggang pai kesukaan Juno, ayo kita bermain di rumah,” Grace menarik-narik tangan Juno untuk segera masuk.
“Baiklah Grace, kau bersemangat sekali,” ucap Juno sedikit geli.
“Ayo Tory! Kau juga harus ikut,” Grace menarik tangan Tory juga.
Juno hanya berpandangan bingung dengan Tory begitu pula sebaliknya.
“Ah ada Juno dan Tory, masuklah aku baru saja memanggang pai dan kue,” panggil Bertha saat mereka masuk ke dalam rumah mereka.
Grace mengajak Juno dan Tory untuk duduk di sofa ruang tengah mereka. Kemudian Grace mengambil buku gambar yang ada di task sekolahnya.
“Lihat Juno, ini gambar-ku kemarin,”
“Seekor harimau? Wah, ini bagus sekali,” puji Juno yang terlihat takjub.
Ini adalah pertama kali Tory melihat Juno dan Grace bersama. Mungkin orang lain akan mengira kalau mereka bersaudara. Juno sangat manis saat mengobrol bersama Grace.
“Kan aku mau masuk ke Franco University seperti Juno,” ujar Grace bangga.
“Tentu saja, anak berbakat sepertimu akan masuk dengan mudah. Seperti Tory, ia tidak membayar sepeserpun untuk belajar disana,”
Kini Grace mengalihkan perhatiannya pada Tory dan terlihat terkejut. “Benarkah? Kalau begitu Tory juga bisa melukis sepertimu?”
Juno mengiyakan pertanyaan Grace. “Dia melukis lukisan terbaik yang pernah kulihat,” Juno menoleh ke arah Tory membuat cewek itu menatap Juno tidak percaya. Tentu saja cowok itu hanya bercanda. Juno hanya tersenyum jahil apalagi saat Grace meminta Tory untuk menggambar sesuatu di bukunya.
Mereka pun menghabiskan waktu bersama Grace siang itu. Bertha membawa banyak kue dan pai yang sangat lezat. Tory menikmati siang itu dan Juno ternyata tidak sedingin saat menjadi tutor. Hal itu membuat Tory cukup lega. Sampai ia hampir lupa waktu untuk segera pergi ke kedai kopi. Tory pun mohon diri untuk pergi.
“Hati-hati,” ucap Juno.
Tory mengangguk.
Grace juga ikut melambaikan tangan pada Tory sebelum cewek itu pergi.
“Apa kau menyukainya?”
Juno tersentak mendengar pertanyaan Grace saat ia sudah menutup pintu.
“Apa yang kau bicarakan Grace,” Juno mengangkat Grace dan mereka mulai bercanda tawa lagi di ruang tengah.
“Tapi Tory sangat cantik kan?” tanya Grace lagi.
Juno terlihat berpikir sejenak.
“Apa kau akan melukisnya?” tanya Grace lagi sambil mengguncang bahu Juno.
“Untuk apa aku melukisnya Grace?”
“Ayolah Juno, kau melukisnya seperti kau melukisku,” Grace menunjukan gambar dirinya bersama Mr.Teddy yang pernah digambar Juno di buku gambar Grace.
Melihat itu Juno hanya mengacak-acak puncak kepala Grace. Ia masih tidak percaya kalau Grace yang berumur lima tahun bisa berkata seperti itu. Namun dalam hati, Juno memang memiliki keinginan untuk melukis kembali sejak ia bertemu dengan Tory. Entah dorongan apa itu, Juno belum tau pasti.
***