Sudah satu minggu berlalu sejak orientasi dimulai. Masa orientasi cukup menyenangkan. Tory mulai memusatkan pikiran pada mata kuliah apa saja yang akan dia ambil semester ini. Ia bertekad untuk fokus dalam studinya. Dan hari ini adalah hari pertama akhirnya kelas benar-benar dimulai. Tory sudah tidak sabar. Dan pagi ini sudah berjalan menuju kelas bersama dengan Emma. Diluar dugaan, Tory dan Emma menjadi semakin dekat. Mereka menghabiskan banyak waktu bersama saat orientasi. Tory pun mengenal Emma lebih dekat. Emma tinggal di London sejak ia kecil. Ia tumbuh besar dan selalu bersekolah di sekolah asrama putri. Emma punya dua adik laki-laki yang berada di bangku SMP dan SD. Kedua orangtua Emma sangat mendukung Emma menjadi artis.
“Kau tau, orientasi benar-benar melelahkan…, ibuku terus bertanya kenapa aku selalu langsung tidur tanpa makan malam,” ucap Emma pada Tory saat mereka menaiki tangga ke kelas. Suasana koridor juga sudah mulai ramai dengan mahasiswa-mahasiswa yang berlalu lalang.
“Memang benar melelahkan…, tapi cukup menyenangkan juga,” jawab Tory tanpa bisa menyembunyikan nada senang nya.
“Maksudmu menyenangkan karena dimarahi oleh Juno di hari pertama orientasi?” spontan Tory melotot ke arah Emma yang langsung tertawa geli.
“Aku bahkan sudah melupakan hal itu…, lagi pula orang itu juga tidak pernah muncul lagi,” ujar Tory saat mereka sampai di depan kelas. Emma hanya mengangguk-angguk setuju. Karena selama seminggu orientasi, Juno memang tidak muncul sebagai pembina grup mereka dan digantikan oleh senior yang lain. Suasana kelas sudah mulai ramai karena kelas akan dimulai 10 menit lagi. Tory dan Emma sepakat untuk duduk bersama di baris kedua.
“Kenapa dia tidak datang ya? Padahal seru juga memandangi wajahnya yang tampan,” Tory buru-buru menyuruh Emma diam. Jujur saja Tory nggak mau membahas tentang Juno lagi apalagi tentang ketampanannya. Bisa-bisa ia kena masalah seperti terakhir kali. “Eh kenapa? Kan Juno nggak ada disini,” bisik Emma namun Tory hanya memutar bola matanya mencoba untuk tidak peduli.
“Eh kalian lagi bicarakan Juno ya?” tiba-tiba saja Theo muncul dan duduk di samping kanan Tory. Theodore Mcallen, atau biasa dipanggil Theo. Tory dan Emma mengenal Theo karena mereka berada di grup orientasi yang sama. Theo adalah cowok kurus dengan kulit putih hampir pucat dan rambut pirang yang sedikit ikal. Awalnya Theo terlihat sendirian saat mereka harus membentuk kelompok berisikan tiga orang. Tory lah yang mengusulkan untuk mengajak Theo bergabung. Dan ternyata mereka langsung akrab. Theo punya selera humor yang bagus dan juga ia berada di kelas seni lukis dan saxophone.
“Theo! Kami mencarimu kemana-mana,” ucap Tory sambil menepuk bahu Theo akrab.
“Maafkan aku ladies, tapi pagi ini aku harus mengantarkan adik perempuanku yang baru masuk SD,” jelas Theo sambil mengeluarkan buku-buku dari tasnya. Sama seperti Emma, keluarga Theo juga tinggal di London, mereka pindah sekitar 5 tahun yang lalu dari Australia.
“Bicara soal Juno, hmm…, aku dengar alasan ia digantikan karena ia punya konser tunggal di Paris yang sangat mendadak kemarin,” bisik Theo memulai pembicaraan.
“Konser tunggal?” tanya Tory bingung.
Theo mengangguk mengiyakan.
“Hebat banget! Aku pernah melihatnya bermain piano satu kali di TV, kalau tidak salah…, sekitar 5 tahun yang lalu,” ujar Emma yang terlihat sangat antusias. Dalam hati Tory terus bertanya-tanya. Apa yang tidak bisa seorang Juno ini lakukan? Kenapa cowok itu memiliki segudang bakat? Jelas tidak masuk akal.
Tak lama kemudian dosen mereka datang dan kelas langsung dimulai. Kali ini adalah kelas tentang sejarah seni kontemporer. Tory bahkan sampai memperingatkan kedua temannya itu untuk berhenti membicarakan Juno. Tory ingin sekali tetap fokus di kelas.
“Jadi untuk mengawali perkenalan kita di semester yang baru ini, saya akan mengadakan kuis,” ucap Mr.Joe yang langsung membuat seisi kelas terkejut, termasuk Emma dan Theo yang saling melotot ke arah satu sama lain. “Jangan kaget semuanya, sekarang kalian adalah Mahasiswa Franco University, belajar seni bukan hanya sekedar mengoles kuas dan memahat kayu, teori dan sejarah juga penting untuk dipelajari,” Mr. Joe membagikan kertas kuis nya. Saat menerima lembar kuis nya, Tory sama sekali tidak mengeluh. Sebenarnya ia memang sempat pergi ke perpustakaan beberapa hari yang lalu untuk meminjam buku. Ia juga sudah sempat membaca materi-materi untuk kelas hari ini. Tory pun bisa menyelesaikan kuis dengan baik.
***
“Aku hanya bisa menjawab separuh dari kuis yang tadi!” gerutu Emma sambil menyandarkan duduknya. Ia terlihat sangat kesal.
“Kau benar, aku juga sama sekali tidak tau banyak,” tambah Theo sambil minum kopinya. Saat ini Tory, Emma, dan Theo sedang duduk untuk makan siang di cafetaria kampus. Emma terus mengeluh bagaimana kuis Mr.Joe berisikan 100 nomor soal tentang sejarah seni yang sangat sulit.
“Kau nggak mengeluh sama sekali Ry, bagaimana dengan kuismu tadi?” tanya Emma membuat Tory tersadar dari buku yang baru dibacanya.
“Lumayan,” jawab Tory sambil tersenyum membuat Theo dan Emma saling pandang bingung.
“Astaga! Aku lupa kalau kau pintar! Kau bahkan dapat beasiswa penuh disini,” seru Theo langsung.
“Nggak juga, aku hanya membaca buku yang direkomendasikan Mr.Joe di silabusnya beberapa hari yang lalu,” Jawab Tory membuat Emma mengangguk-angguk sambil memakan salad buahnya.
“Sepertinya kau salah bergaul dengan kami Ry, kau jelas siswa-siswa jenius lainnya,” komentar Emma spontan membuat Tory menyenggol bahunya.
“Jangan begitu Emma, aku lebih nyaman bergaul dengan kalian. Dan lagi kalian juga pintar,” ucap Tory tulus.
“Oh aku tersanjung…, sekarang aku penasaran bagaimana lukisanmu di kelas berikutnya,” tambah Theo langsung membuat Emma setuju.
“Kau harus melihatnya! Lukisan Tory benar-benar hebat!” seru Emma langsung. Tory memang pernah memperlihatkan beberapa lukisan yang pernah dibuatnya.
“Benarkah? Aku tidak terkejut, tapi aku juga penasaran! Bolehkan aku lihat juga?” Pinta Theo langsung dengan gaya yang sangat berlebihan.
“Jangan mengada-ada Theo! Tapi kalau kau melihat nya, kau akan terkejut sama sepertiku! Karya Tory bahkan lebih bagus dari Juno!” ujar Emma sedikit berbisik namun Tory bisa mendengarnya dengan jelas.
“Bisakah kita berhenti membicarakan Juno? Aku jadi terus merasa bersalah apalagi setelah insiden kopi,” Ucap Tory sebelum kembali pada bukunya.
“Insiden kopi apa?” Tory memang belum memberitahukan hal itu pada Theo. Namun tentu saja Emma yang bersemangat langsung menceritakannya pada Theo. “Astaga?! Kau gila sekali menumpahkan kopi pada seorang Juno,” ucap Theo dengan gaya nya yang sangat dramatis.
Tory langsung menggeleng. “Aku tidak sengaja dan aku ingin sekali mengganti kopinya. Hanya saja kau tau kan dia sudah tidak pernah muncul lagi,” jelas Tory berusaha membela diri. Tentu saja ia merasa bersalah namun jujur saja Tory lebih memilih untuk tidak berurusan dengan senior setenar Juno. Theo hanya mengangguk-angguk paham.
“Bagaimana kalau kau coba menggambar dan memperlihatkannya pada Theo?” Emma mengubah topik karena ia tau kalau Tory merasa tidak nyaman.
Theo langsung mengangguk setuju. “Ayolah…, aku ingin melihatmu menggambar,” tambahan lagi. Awalnya Tory ingin menolak namun ia akhirnya menuruti permintaan kedua temannya. Tory mengeluarkan buku sketsa dari tas nya.
“Kalian ingin aku menggambar apa?”
“Apa saja,” jawab Emma. Tory mengangguk dan melihat sekeliling untuk menemukan objek yang ingin bisa ia gambar. Pilihannya jatuh pada tangga besar yang ada di luar cafetaria. Disana ada banyak orang berlalu lalang. Tory mulai menggambar dengan pensil yang dibawanya. Theo dan Emma yang penasaran sampai berpindah tepan duduk untuk melihat Tory menggambar. Tory menggambar dengan cepat dan berhasil membuat Theo dan Emma kagum. Gambar yang Tory buat sangat mirip dan cantik, bahkan Tory hanya perlu melihat beberapa kali ke arah objek.
“Itu bagus sekali!”
“Benar kan! Apa kubilang! Kemarin bahkan Tory menggambar seluruh gedung kesenian saat istirahat orientasi!” ujar Emma spontan membuat Theo hanya menggelengkan kepalanya tidak percaya.
“Ini hanya coretan yang masih butuh proses panjang,” ucap Tory sambil memperhatikan gambar nya yang sudah jadi.
“Tetap saja ini bagus sekali Ry,” Emma menepuk bahu Tory beberapa kali.
“Terimakasih-” Tiba-tiba saja sebuah minuman tumpah di atas buku sketsa Tory. Cairan hitam memenuhi seluruh halamannya termasuk celana jeans Tory.
“Astaga! Maafkan aku tidak sengaja,” Tory mendongak dan mendapati seorang cewek dengan mantel putih, rok kulit selutut, dengan rambut hitam lurus tersenyum kerah Tory. Benar-benar tidak pas dengan apa yang dikatakannya. Tory menghela nafas panjang dan mengangguk.
“Tidak apa-apa,” Ia langsung bangkit dan mengambil sapu tangan dari tasnya untuk membersihkan tumpahan kopi di meja. Emma juga ikut membantu Tory, namun cewek yang menumpahkan minuman itu hanya diam sambil melipat tangannya di depan dada.
“Kau Tory kan? Jurusan seni lukis?” tanya cewek itu membuat Tory langsung mengangguk. “Namaku Megan,” cewek itu mengulurkan tangan nya yang langsung disambut oleh Tory. “Aku dengar kau menerima beasiswa penuh disini?”
“Ah iya…, dari mana kau tau?” tanya Tory sedangkan Megan hanya tersenyum.
“Semua orang juga tau,” gumam Megan. Matanya masih menelusuri seluruh penampilan Tory dan beralih ke Emma dan Theo yang ada di dekat Tory. Entah mengapa membuat Tory merasa tidak nyaman. “Sedikit saran, sebaiknya kau bergabung bersamaku dan anak-anak yang lain daripada menghabiskan waktu disini bersama…,” Megan menoleh ke arah Emma dan Theo dengan tatapan tidak suka. “Mereka,” sambungnya membuat Tory spontan merasa tidak setuju.
“Terimakasih, tapi aku baik-baik saja.” jawab Tory tegas membuat Megan menoleh ke arahnya dengan sedikit tersinggung.
“Oh, jadi kau adalah tipe yang seperti itu.”
“Seperti apa maksudmu?” Tanya Tory langsung. Jujur saja kata-kata Megan sedikit membuatnya kesal apalagi saat cewek itu meremehkan kedua temannya.
“Tipe orang yang merasa mampu bekerja sendirian disini dengan sombong dan sok suci,” bisik Megan tepat ditelinga Tory, membuatnya tersentak kaget. Ada apa sebenarnya dengan cewek ini? Tory bahkan tidak ingat kalau ia pernah membuat masalah dengannya. Setelah berkata demikian Megan langsung berjalan melewati Tory begitu saja dan keluar dari cafetaria.
“Ada apa dengan nya?” tanya Tory bingung sedangkan Theo langsung mengisyaratkan Tory dan Emma untuk kembali duduk.
“Dia adalah Megan Fitzgerald! Siswa paling berbakat di angkatan kita! Yang kudengar seluruh karya lukisannya sudah memenangkan banyak penghargaan sejak dia SMA. ditambah lagi keluarganya itu sangat kaya raya dan merupakan pendukung utama Franco University!” jelas siapa lagi kalau bukan Theo, yang tau segalanya tentang semua orang di kampus ini.
“Menyebalkan sekali! Kenapa ia berbicara begitu pada Tory?” tanya Emma tanpa bisa menyembunyikan nada kesalnya.
Kini Theo menoleh ke arah Tory. “Ry, tadi kau salah besar,”
“Salah besar apa maksudmu? Dia jelas-jelas menghina kalian,” jawab Tory yang sebenarnya juga sangat kesal dengan Megan. Apalagi setelah cewek itu menumpahkan minumannya di atas buku sketsa Tory.
“Megan itu tipe siswa yang sangat ambisius dan memang seperti itu. Dia selalu mencari rival untuk menjadi saingannya. Seharusnya kau menerima saat dia mengajakmu Ry. Karena untuk semua orang yang didatangi Megan hanya punya dua pilihan, yang pertama jadi temannya atau menjadi musuhnya,” jelas Theo membuat Emma menggelengkan kepala nya tidak percaya.
“Ternyata ada orang seperti itu juga ya di tempat seperti ini,” komentar nya sambil menyeduh capucinonya.
“Aku tidak mengerti…, kenapa dia melakukan itu? Maksudku, bukankah kita bisa bersaing secara sehat saja?”
Theo menggeleng tidak setuju dengan kata-kata Tory. “Tidak untuk orang seperti Megan, dan mulai hari ini mungkin saja dia telah menganggapmu sebagai saingan,” sambung Theo.
“Memang nya seberapa bagus karyanya? Aku jadi sangat penasaran,” tanya Emma membuat Theo langsung mengeluarkan ponselnya. Ia mencari halaman instagram Megan untuk menunjukan beberapa karya seninya.
“Dua juta pengikut?! Jadi dia Megan yang terkenal itu?!” seru Emma tidak percaya yang langsung disuruh oleh Theo untuk diam. Tory juga ikut melihat walaupun ia tidak tau siapa Megan ini.
“Lihat kan, ini beberapa karya seni yang dimenangkan Megan saat ia SMA,” Theo menunjukan beberapa foto Megan yang membawa beberapa penghargaan bersama karya-karya lukisannya yang langsung membuat Tory kaget. Karya-karyanya memang sangat bagus.
“Ah! Memang bagus tapi tidak spesial! Aku yakin karyamu akan lebih bagus dari Megan,” ucap Emma pada Tory yang masih memperhatikan karya-karya Megan.
“Sudahlah aku juga tidak peduli. Kalau dia menganggapku saingan itu tidak masalah. Karena aku cuma mau fokus pada karyaku sendiri disini,” ucap Tory sambil memasukan barang-barangnya ke dalam tas.
“Eh, Tory kau mau kemana?” tanya Theo langsung.
“Hari ini aku mulai part time di kedai kopi yang kemarin kuceritakan,” jawab Tory sambil bangkit berdiri dan meraih tasnya.
“Oh iya! Ya sudah jangan sampai telat di hari pertama Ry,” ucap Emma, dan Tory mengangguk.
“Sampai nanti,” setelah berkata demikian Tory berlalu meninggalkan kedua temannya.
***
“Ya aku tau…, ya baiklah,”
Juno menutup ponselnya dan menghela nafas panjang sebelum bersandar di kursi mobilnya. Waktu sudah menunjukkan pukul 8 malam dan ia belum juga keluar dari mobil sejak 15 menit yang lalu. Juno baru saja menerima panggilan telepon dari neneknya. Lagi-lagi nenek terus menyuruh Juno untuk segera pulang ke rumah. Apalagi karena Juno telah pergi selama seminggu lebih tanpa mengabari keluarganya. Juno memang suka pergi keluar London, untuk mencari inspirasi atau sekedar menghilangkan kejenuhannya. Entah mengapa sudah berbulan-bulan ini ia merasa jenuh berada di kampus. Bahkan sekarang adalah pertama kalinya Juno pulang ke apartemennya sejak dua bulan yang lalu. Juno lebih memilih tidak pulang ke rumahnya karena malas bila harus berhadapan dengan ayah. Sejak dulu ayah hanya membicarakan tentang bisnis keluarga yang harus diteruskan. Ayah tidak pernah setuju kalau Juno menjadi seorang seniman.
Tidak seperti ibu.
Juno meraih sebuah foto yang selalu terselip di kaca mobilnya. Ia memperhatikan foto itu dalam waktu yang cukup lama, sebelum seseorang mulai mengetuk jendela mobilnya dengan sangat keras.
“Kak Juno!”
Spontan Juno tersenyum dan langsung menurunkan jendela mobilnya. Seorang anak perempuan yang mungkin berusia 6 tahun tersenyum lebar ke arah Juno dengan boneka beruang di pelukannya.
“Kak Juno kemana aja? Grace nggak pernah lihat kakak!” ucap Grace langsung sedangkan Juno langsung menyuruh Grace mundur agar dia bisa keluar dari mobilnya.
“Grace? Apa yang kau lakukan diluar sini? Dimana mamamu?” tanya Juno sambil mengangkat Grace, membuatnya langsung tertawa terbahak-bahak.
“Aku baru pulang membeli roti, itu mama,” Grace menunjuk ibunya yang terlihat akan masuk ke apartemen.
“Selamat malam Bertha,” Sapa Juno membuat Bertha langsung memicingkan matanyanya karena ia tidak bisa melihat dengan jelas.
“Juno? Itukah kau? Astaga, sudah lama aku tidak melihatmu, dari mana saja kau selama ini?” Juno menurunkan Grace dan menghampiri Bertha.
“Aku sedikit sibuk akhir-akhir ini dan baru bisa pulang,” jawab Juno membuat Bertha mengangguk-angguk paham.
“Kau selalu sibuk Juno, Grace terus-terus menanyakan kapan kau akan pulang,” ucap Bertha membuat Juno tersenyum dan berjongkok di depan Grace.
“Benarkan? Kau merindukanku ya?” Grace langsung mengangguk.
“Aku kira kau sudah tidak tinggal disini lagi. Dan aku mau memperkenalkanmu pada teman baru ku,” ucap Grace membuat Juno tertarik.
“Oh ya? Kau punya teman baru?”
“Iya namanya-”
“Grace, ayo kita masuk dulu, kau bisa terkena flu nanti,” Bertha membuka pintu masuk apartemennya.
“Kak Juno! Ayo kita main bareng!” Grace mulai menarik-narik mantel Juno.
“Grace…, kakak Juno sedang sibuk,” ujar Bertha langsung membuat Grace cemberut.
“Sekarang aku belum bisa bermain denganmu Grace karena ada barang-barang yang harus kubawa ke atas, tapi aku janji akan berkunjung saat sudah selesai,” jelas Juno namun Grace masih cemberut. Juno terdiam sejenak, memikirkan cara untuk membuat Grace menurut. “Bagaimana kalau kita menggambar sebentar, setelah aku menaikan barang-barangku?”
Mata Grace langsung berbinar.
“Benarkan?! Baiklah aku akan mengambil buku gambarku!” seru Grace girang membuat Bertha tertawa dan langsung mengajak Grace untuk segera masuk.
“Seharusnya kau tidak usah repot-repot Juno, tapi Terima Kasih, nanti aku akan memanggang kue untukmu,” ucap Bertha dan Juno langsung mengangguk sebelum ia kembali ke mobilnya untuk mengambil barang-barang dari bagasi.
***
“Tory, kau bisa menutup toko hari ini?”
“Ya tentu,” ucap Tory yang masih membersihkan salah satu meja di kedai.
“Baiklah sampai besok,” setelah berkata demikian Oliver salah satu pegawai kedai kopi ini langsung berlalu keluar dari kedai. Hari ini adalah hari pertama Tory bekerja di kedai kopi. Tory memang berencana untuk mengambil kerja part time selagi kuliah. Hal ini dilakukannya karena ia juga butuh pemasukan. Memang kampus membiayai seluruh biaya kuliah dan juga uang saku yang cukup digunakan untuk sewa apartemen. Namun menjadi mahasiswa kesenian Tory masih membutuhkan banyak biaya untuk peralatan lukis dan juga kebutuhan sehari-hari lainnya.
Kedai kopi ini juga terletak tidak jauh dari apartemen tempat Tory tinggal. Tory menoleh ke arah jam yang sudah menunjukkan pukul 9 malam. Sebentar lagi kedai akan tutup dan sudah tidak ada pelanggan yang datang. Kemudian ponsel Tory berdering dan ia langsung mengangkatnya. Panggilan video dari ibunya.
“Hai Tory apa yang sedang kau lakukan sekarang?” Tory bisa melihat ayah dan ibu yang melambaikan tangan. Mereka terlihat sedang berada di rumah.
Tory yang senang langsung menyapa mereka. “Aku sedang berada di kedai kopi tempat ku bekerja,” jelas Tory sambil menunjukan sekelilingnya.
“Hebat sekali kamu sudah dapat part time Tory, tapi ingat ya tetap fokus kuliah,” ucap ibu yang langsung membuat Tory tersenyum.
“Tentu saja nggak usah khawatir,” setelah itu Tory menceritakan banyak hal soal orientasi dan juga hari pertama kuliah sampai ia mengakhiri panggilannya.
Tory menghela nafas panjang sambil melepas apronnya. Ia memasukan ponsel dalam tas tepat saat ia meraih buku sketsanya yang rusak. Ia membalik halaman-halaman gambar yang sekarang sudah tertutup warna coklat. Buku sketsa ini adalah hadiah pemberian ayah. Tory sedikit menyesali karena buku sketsa ini sekarang tidak bisa dipakai. Sekarang ia membutuhkan tambahan uang untuk membeli buku sketsa baru.
Setelah membereskan kedai Tory menutup dan mengunci kedai lalu berjalan untuk pulang. Karena jarak kedai dan apartemen tidak jauh, Tory memutuskan untuk berjalan kaki. Udara malam kota London semakin dingin, Tory mempererat mantelnya. Di perjalanan Tory sempat melewati toko alat-alat lukis. Ia berhenti sejenak saat melihat buku sektas yang dipamerkan di etalase.
Apa aku harus membeli nya sekarang?
Mengingat kalau besok praktik akan dimulai, mungkin Tory membutuhkan buku sketsa secepat mungkin. Namun saat melihat harganya, Tory tidak jadi masuk ke dalam toko itu. Harga buku itu bisa digunakan untuk membeli peralatan lain yang lebih penting seperti cat dan kuas. Dengan berat hati Tory lanjut berjalan pulang. Mungkin setelah beberapa kali bekerja di kedai ia akan bisa membeli buku sketsa itu.
Tak terasa sampai di depan apartemennya. Tory mengerutkan kening saat melihat sebuah mobil hitam terparkir di depan pintu. Ia bertanya-tanya siapa penghuni apartemen yang memarkir mobilnya itu. Seingat Tory sebagian besar penghuni apartemen ini tidak memiliki kendaraan pribadi. Namun Tory tidak mengindahkan dan langsung masuk ke apartemen. Saat ini ia merasa cukup lelah dan ingin segera mandi dan tidur. Tapi seperti biasa, puluhan anak tangga harus dilewati untuk ke kamarnya. Tory mendengus kesal dan mulai menaiki tangga. Sampainya di anak tangga teratas Tory langsung terduduk di depan pintu kamarnya. Sedikit menyesal mengapa ia memilih kamar yang berada di lantai teratas. Memang harganya lebih murah tapi baru seminggu tinggal disini Tory sudah lelah naik turun tangga dan agak menyesali keputusannya.
“Kau baik-baik saja?”
Tory mendongak dan hampir saja kena serangan jantung saat ia melihat Juno berdiri tidak jauh darinya. Cowok itu mengenakan turtleneck hitam dan celana jeans biru. Rambutnya sedikit berantakan namun entah mengapa membuatnya terlihat lebih menarik dari yang dilihat Tory sebelumnya. Tory masih terdiam di tempatnya karena ia masih tidak percaya kalau orang itu adalah Juno. Alhasil Tory hanya mengerjapkan matanya beberapa kali. Juno terlihat bingung karena Tory tidak menjawab pun berjalan ke arah Tory dan mengulurkan tangannya.
“Apa kau baru saja terjatuh? Kau butuh bantuan?” tanya Juno lagi membuat Tory tersadar dan langsung menggeleng dan langsung bangkit berdiri.
“Nggak kok, aku baik-baik saja,’ jawab Tory cepat dan Juno hanya mengangguk paham sebelum memasukan tangannya ke dalam saku celana. Dalam hati Tory masih memikirkan apa yang dilakukan Juno disini?
“Apa yang kau lakukan disini?” Tanpa sadar pertanyaan itu langsung meluncur begitu saja.
“Oh, aku tinggal disini,” Juno menunjuk sebuah kamar yang terbuka lebar. Tory tidak bisa menahan diri untuk tidak melihat sekilas ke dalam. Ia hanya bisa melihat beberapa kanvas dan juga barang-barang yang tertutup kain putih.
“Tapi…, aku tidak pernah melihatmu sebelumnya?” tanya Tory lagi yang langsung membuatnya menyesal karena mengutarakan pertanyaan konyol seperti itu. Mendadak Tory teringat pada penjelasan Theo tentang cowok yang saat ini berdiri dihadapannya. Juno adalah senior nya yang paling terkenal, seharusnya ia bisa menjaga sikap nya lebih baik.
“Aku baru saja kembali, dan kamar ini lebih seperti studio lukisku,” jelas Juno santai sedangkan Tory hanya mengangguk-angguk paham. Hening sejenak di antara mereka. Tory masih memikirkan apalagi yang harus ia katakan. Sedangkan Juno masih memperhatikan Tory dengan seksama. Jujur cowok itu juga kaget kalau tetangga barunya adalah Tory.
“Kalau begitu aku harus kembali, ada beberapa barang yang harus ditata ulang,”
“Ah iya, pergilah, eh, maksudku silahkan,” jawab Tory menutup matanya karena ia merasa malu dengan hal konyol yang baru ia ucapkan.
“Baiklah, selamat malam,” setelah berkata demikian Juno langsung masuk ke dalam kamar dan menutup pintu.
Tory menghela nafas lega. Ia masih mengatai dirinya sendiri karena bertingkah memalukan. Apa yang akan dikatakan Emma dan Theo saat ia menceritakan hal ini. Semuanya benar-benar konyol. Tory masih tidak percaya kalau ia bertetangga dengan Juno! Mendadak ia teringat dengan insiden kopi tumpah. Tory belum sempat mengganti kopi Juno! Memikirkan hal itu membuat Tory sangat malu. Mungkin sekarang Juno berpikir kalau Tory adalah orang aneh yang super ceroboh. Tory mendengus kesal dan langsung masuk ke kamarnya. Dari yang awalnya ingin menghindar, sekarang kemungkinan besar Tory akan sering bertemu dengan Juno. Tory berpikir kalau sempat ia berjanji akan menggantinya dan meminta maaf sekali lagi.
***
Dibalik pintu Juno tersenyum kecil dan langsung berjalan ke arah kanvas yang tadi sempat dikerjakannya. Tentu saja ia masih terkejut dengan cewek aneh yang menjadi tetangga barunya. Namun entah mengapa itu sedikit menghibur Juno. Juno melihat sekelilingnya. Ruangan ini berdebu dan kotor sejak ia pergi. Mungkin Juno harus menyempatkan diri untuk mulai membersihkannya besok. Juno pun kembali melukis di kanvas. Ia punya waktu sepanjang malam. Karena malam ini ia juga tidak akan bisa tidur lagi,
sama seperti malam-malam sebelumnya.
***