Read More >>"> SI IKAN PAUS YANG MENYIMPAN SAMPAH DALAM PERUTNYA (Sudah Terbit / Open PO) (14. Harapan Kosong ) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - SI IKAN PAUS YANG MENYIMPAN SAMPAH DALAM PERUTNYA (Sudah Terbit / Open PO)
MENU
About Us  

Kami duduk berhadapan di dalam toko roti The Leisure Treasure Bakery atas bujuk rayu Pak Harsa. Padahal niatku mau traktir Pak Harsa di kafe kekinian yang ramah dompet dengan agenda (ceileeeh agenda) ucapan terima kasih dan minta maaf. Aku pikir tadi dompetku bakal nangis di depan kasir dengan semua pesanan kami. Ternyata...Pak Harsa lebih dulu ngeluarin kartunya. Yaah, gagal maning mentraktir Pak Harsa.

Aku mengangsurkan sebuah tas kertas padanya. Tampangnya langsung berubah bingung.

"Ini apa, Cal?"

"Jaket sama buku Bapak."

"Aah." Wajahnya langsung tercerahkan. "Mengapa dikembalikan?"

Mengapa dikembalikan?

"Kan punya Bapak. Maaf baru sempat sekarang."

Dia malah menggeleng enggak setuju. "Tidak apa-apa, Cal. Toh aku tidak membutuhkannya hingga saat ini."

Lega mengguyur hatiku.

"Terima kasih jaketnya, Pak. Setelah malam itu, jaketnya Bapak masih aku pakai sesekali. Tapi sekarang udah aku cuci, kok. Udah harum lagi," kataku cepat-cepat.

Pak Harsa mendengkus kecil, dengan seulas senyum tersungging di salah satu sudut bibirnya.

"Syukurlah ada gunanya. Padahal tidak dikembalikan juga tidak apa-apa. Jadi aku masih punya alasan untuk bertemu kamu lagi kalau-kalau kita kehabisan sebab untuk bertemu," katanya percaya diri. Matanya enggak lepas dariku.

Pshhhhh...

A-alasan macam apa itu?! Tapi, aku jadi penasaran...

"Kalau jaket dan bukunya aku kembalikan, Bapak bakalan pakai alasan apa?"

Dia berpikir beberapa detik lalu berkata, "Mau dibuatkan french toast buatanmu."

"Terus?"

"Ajak kamu makan di warung nasi uduk Bang Sani."

"Lalu?"

"Ajak kamu ke launching novelku."

"Apa lagi?"

"Ajak kamu bertemu Mama dan Papaku."

Eh? "Untuk apa?"

"Lalu datang ke rumahmu dan menemui..." Sejenak aku menangkap keraguan di matanya.

"Menemui..." sambungku.

"Ehem. Lupakan yang barusan. Sudah dapat tempat baru untuk ENTRY?" alihnya. Apa otak kecilku kelemotan ya, sampai enggak bisa memahami kata-katanya?

"Belum. Masih survei tempat." Pak Harsa mengangguk pelan.

"Kabari aku kalau ada perkembangan baru. Aku akan bantu pindahan." Kok baik banget...

Aku memberikan senyuman tertulusku. "Siap, Pak Dosen."

"Good."

Pak Harsa mendorong kroisan yang permukaannya dilapisi coklat lebih dekat padaku. "Makan."

"Terima kasih."

"Jadi..." Aku mendongak dari piringku. "Kamu mau bicara apa, Cal?"

Setelah semua sisa makanan masuk ke perut, aku mulai bicara.

"Aku...mau minta maaf."

"Lho? Bukankah aku yang harusnya minta maaf? Kamu tidak punya salah padaku." Wajahnya begitu tidak terima. Ini orang baik atau baik banget, sih?

"Aku nuduh Pak Harsa ngorek curhatan memalukanku dari...dari Dokter Najwa gara-gara Bapak mau buat perhitungan dengan Jeff. Maaf," ucapku begitu pelan. Sampai-sampai Pak Harsa memajukan tubuhnya lebih dekat padaku.

Tawa kecil dan usapan ringan dipucuk kepalaku malah menjadi jawabanku. Pria itu...sedang tersenyum padaku.

"Cal..."

"Maafin ya, Pak," mohonku.

"Kamu lucu."

Aku harus gigit bibir bawahku kuat-kuat supaya enggak ikut tersenyum di suasana yang harusnya serius ini.

"Tolong, jangan gigit bibirmu!"

"Kenapa? Suka-suka aku." Itu muka kok jadi gusar begitu?

"Pokoknya jangan. Kamu tidak tahu efek yang ditimbulkan gara-gara perbuatanmu barusan, Niscala," katanya datar.

Urusan minta maaf jadi melenceng jauh begini.

"Iya, iya. Enggak gigit bibir lagi. Jadi aku dimaafin, Pak?"

Dia tiba-tiba jadi kelelahan dan menumpukan kedua tangannya di meja dan jarak kami makin dekat.

"Dan aku juga minta maaf. Kelakuan impulsifku tempo hari pasti membuatmu tidak nyaman."

"Aku udah maafin Bapak."

Helaan napas lega Pak Harsa keluar begitu saja. Aku juga ikutan lega.

"Terima kasih," ucapnya tulus.

"Gimana sama maafku?" tuntutku cepat.

"Kamu tidak perlu minta maaf, sebab wajar-wajar saja kamu berpikiran begitu—"

"Pak!"

"Baiklah. Aku maafkan," katanya sambil memutar bola matanya. Aku jadi geli sendiri dengan permainan minta maaf ini.

Kami berdua kehausan dan sama-sama menyeruput teh lemon dingin (aku) dan kopi amerikano dingin (Pak Harsa).

"Kata Dokter Najwa, Bapak seperti Detektif karena bisa tahu ceritaku."

Tawa tersembur begitu saja dari bibirnya. "Dia terlalu banyak menonton film detektif," kata seseorang yang membuat novel fiksi.

"Terus kata Dokter Najwa, Bapak sangat intuitif. Bapak tahu dari mana Jeff melakukan hal-hal...enggak pantas padaku?" Seketika senyumnya hilang.

"Terus terang, kamu mengingatkanku pada Hayu." Wajahnya...berubah sendu. Dia tersenyum, tapi enggak dengan matanya.

"Kenapa dengan Hayu?"

"Dia pernah dilecehkan saat masih SMA."

Aku terkesiap. "Hayu yang manis dan ceria...pernah mengalami pelecehan?!"

"Benar. Kamu tidak menyangkanya, kan?" Aku mengangguk cepat.

"Traumanya Hayu..." Pak Harsa mendengkus kasar dan rahangnya mengeras. Andai aku bisa menenangkannya. Tapi, bagaimana caranya? "Masih sangat jelas dalam ingatanku bagaimana Hayu gelisah, bola matanya bergetar ketakutan, badannya gemetar bak kehilangan nyawa. Dia...begitu pucat. Persis seseorang yang berlari ketakutan keluar dari rumah si brengsek itu," geramnya. Tatapannya mengandung amarah bercampur sedih.

Apa yang telah dilakukan pria ini padaku menjadi masuk akal. Aku tersenyum masam.

"Terima kasih, Bapak mau datang untuk menjemputku malam itu," ucapku tulus dari hati. "Bapak tahu? Malam itu aku beneran lega Bapak mondar-mandir di balik pagar. Bapak nyelametin aku."

Pak Harsa menarik kedua garis senyumnya. Kini matanya ikut tersenyum...

"Tanpa diminta pun, aku akan melakukannya, Cal. Dan yang paling penting kamu juga telah menyelamatkan adikku."

Aku mengangkat alisku tinggi-tinggi. "Kayaknya Pak Harsa salah, deh. Aku nggak pernah punya andil menyelamatkan siapa pun, termasuk Hayu."

Dia menggeleng tidak setuju. "Aku pernah bilang kan, kehadiran kamu membuat dunia berwarna?"

Kata-kata itu dia ucapkan ketika aku membantunya mengetik di Warung ENTRY.

"Ehm, ya. Lalu?"

"Berkat kamu dan Warung ENTRY, Hayu seperti mendapatkan hidupnya lagi."

"Aku menyelamatkan Hayu dari apa? Kami hanya saling berbagi dan nyambung ngobrolin apapun hampir di segala topik. Tapi ya, sebatas itu."

"Tidak sesederhana sebatas itu, Cal. Kamu lebih dari itu. Kamu itu seperti...memberi napas baru bagi hidup Hayu."

"Aku enggak ngerti, Pak."

"Begini. Dia jadi sangat pendiam setelah kejadian itu. Kami kesulitan memahami isi pikirannya yang tidak pernah dia bagi ke kami. Mau masuk kuliah saja, kami semua sangat khawatir apa dia bisa beradaptasi dan bersosialisasi dengan lingkungan kampus. Apa dia bisa menjalin pertemanan di kampus dengan kondisi mentalnya yang sedang tidak baik-baik saja? Tapi apa yang kami dapatkan? Hayu lebih banyak bicara setelah pulang dari warung ENTRY. Dan dia sering berceloteh tentang menu ENTRY dan...kamu."

"Kenapa aku?"

"Aku tidak tahu." Dia menggeleng pelan. "Apa yang kalian obrolin, sih?"

"Hm... Kami suka membahas kuliahnya, shade lip tint terbaru produk W, mengomentari setiap episode drama Korea yang lagi happening di Netflik..."

"..."

Pak Harsa kelihatan tersesat. Lucu. 

"Terus kapan come back-nya boyband  Bangtan asal Korea Selatan."

"Bangtan?"

"Kalau enggak, kami ngebahas lagu mana yang lebih asik, Terkomang-komang, atau Kesialan."

"Ada lagu Kesialan?"

"Atau kadang ngeributin siapa yang paling cakep di antara delapan member boyband XO?"

"Cal..."

Aku tertawa lepas melihat wajah kebingungan akut Pak Dosen.

"Kamu melakukannya lagi."

Ya Tuhan, ini lagi.

"Aku ngelakuin apa, Pak?"

"Kamu...selalu membuatku terpesona."

***

Dia bilang terpesona? AAAAAAAK.....

Tak henti-hentinya tubuh ini berguling ke kiri dan ke kanan sambil memeluk guling dan membenamkan wajah di bantal. Lonjakan energi yang menggebu-gebu ini membuat jantungku memompa lebih kencang dan cepat. Semua gara-gara Pak Harsa!

"Semuanya."

Itu jawaban yang dia beri saat aku tanya bagian diriku yang mana yang memesona. Tidak ada garis membual di wajahnya.

"Kamu membuatku...apa ya istilahnya? Stunned? Captivated? Apa ya padanan bahasa Indonesianya yang paling pas?" katanya dengan tampang berpikir keras.

Sebut semuanya, Pak. Sebut!

Terus dengan sok kepedean, aku tanya begini, "Memangnya Bapak suka aku?"

Apa responnya? Astaga! Rasanya ekspresi Pak Harsa pagi itu harus aku lindungi dari mata-mata pengunjung toko roti Chef Aresta yang curi-curi pandang ke arah kami. Bukan, bukan. Ke arah Pak Harsa aja. Dia begitu...menggemaskan dan mulai meresahkan jantungku!

Untuk apa coba, Pak Harsa menunduk, mengusap-usap tengkuk, terus telinganya merah sesudah mengatakan satu kata sederhana, "Ya."

Aku kudu piye?

"Cala... Turun sebentar." Teriakan Yang Mulia menggema dari lantai bawah. Nyonya Bet memanggil. Dibanding memikirkan jawaban Pak Harsa, panggilan Ibuk lebih penting dari apa pun di dunia ini.

Maka aku tak kalah lantang berteriak agar suaraku sampai ke bawah, "Iya Buk! Cala turun."

***

"Cala, sini Nak."

Sumpah demi apa?!

Apakah hari ini adalah jawaban dari doa-doa yang aku panjatkan pada-Mu? Apakah hari ini akan menjadi hari bersejarah bagiku? Setelah semua obrolan ini berakhir, aku akan menandai hari ini di kalender menjadi hari paling spesial dan aku akan memperingatinya setiap tahun sebagai Hari Ibuk Nasional.

Dengan wajah antusias, Ibuk merangkul tanganku dan menggiringku ke sofa ruang keluarga di depan TV! Aah, akhirnya aku mempunyai waktu girl's talk dengan Ibuk.

"Ada apa, Buk?"

"Udah lama temenan sama Harsa?"

Hm? Tumben Ibuk tanya-tanya temenku. Ada alasan mengapa aku keheranan.

"Hampir tiga bulan, Buk." Ibuk mengangguk sekali.

"Gimana orangnya? Baik?"

"Pak Harsa orangnya baik, Buk."

Selain baik, dia orang yang blak-blakan, jujur, penuh nasihat berharga, tukang ngambek, baperan, dan penuh kejutan.

Kalau aku suka kamu, kamu harus tanggung jawab, Niscala...

Tuhaaan, satu lagi. Dia suka nyuruh aku untuk bertanggung jawab. Dia selalu bikin aku mikir kejauhan. Tapi, bukannya semua tindakannya memang mengarah ke satu kesimpulan? Dia kan, menyukaiku...

Pshhhhh...

Panas, panas. Aku mengipas wajahku diam-diam.

"Keluarganya gimana?"

Lho, kok Ibuk tanya sampai ke keluarganya?

"Cala enggak sempat ngobrol banyak sama keluarga Pak Harsa waktu itu. Tapi kayaknya keluarga mereka baik, Buk. Memangnya kenapa, Buk?"

Apa Ibuk setuju aku sama Pak Harsa? Aku bukannya mau ge-er, tapi pertanyaan Ibuk bikin aku mikir kejauhan.

"Ibuk hanya penasaran. Terus...dia single apa sudah ada pacarnya? Atau jangan-jangan dia sudah beristri?"

Katanya dia ingin bertanggung jawab akan hidupku. Apa pernyataannya mengarah ke sana? Apa itu artinya Pak Harsa single dan... dan... ingin serius denganku?

Pshhhh...

Sabar jantung. Tenangkan dirimu sekarang juga!

"Sampai sekarang, Pak Harsa nggak pernah menyinggung statusnya, Buk." Jarinya bebas cincin, sih. Tapi siapa yang tahu, kan?

"Kamu tanya dong. Dia sudah punya pacar apa belum? Atau sudah berkeluarga apa belum?"

Untuk sesaat, otakku dengan enggak sopannya membentuk sebuah kerangka gagasan bahwa Ibuk memberi restu pada...kami. Memikirkannya saja membuat tengkukku panas dingin.

Aku dan Pak Harsa?

Bukankah kami terlalu berbeda? Usiaku terpaut satu dekade dengannya. Sifat kami seperti Kutub Utara dan Kutub Selatan, berbeda dari segi apa pun. Kok dia mau bertanggung jawab atas hidupku? Apa kata Ibuk nanti? Apa kata dunia?

"Cala malu, Buk. Ngapain tanya-tanya status orang? Kan itu urusan pribadi."

Sebentar. Tidak menjadi urusan pribadi kalau dia mengatakan suka padaku, kan? Kalau dia memang serius, sah-sah aja kan, aku tanya pertanyaan itu?

"Kalian kan berteman. Ya wajar tanya apa statusnya. Dituduh jadi pelakor di zaman sekarang...aduuuh, jelek banget kesannya." Ibuk sampai meringis. Bibirnya mencebik ngeri membayangkan dunia perpelakoran di Indonesia. Apalagi kasus-kasus perselingkuhan di kalangan artis berseliweran dalam program infotainment di televisi. Ibuk enggak salah sih curiga seperti ini.

"Iya, kapan-kapan Cala tanyain ya, Buk." Wajah Ibuk berangsur lebih santai.

"Umur dia...berapa?"

"Katanya tiga empat."

"Umurnya sudah matang."

Pertanyaan Ibuk makin aneh.

Tadinya aku pikir, Ibuk akan tanya-tanya soal hidupku, soal warungku, atau soal apa pun itu mengenai aku. Tahunya kepoin Pak Harsa. Aku masih lupa untuk enggak berharap pada makhluk Tuhan.

"Ibuk kenapa tanya-tanya Pak Harsa?"

"Ibuk mau tahu anak Ibuk temenan sama siapa."

"Tumben Ibuk mau tahu. Biasanya kan Ibuk cuek sama temenku," sindirku.

"Mana ada Ibuk cuek!" Enggak percaya aku, Buk.

"Emangnya Ibuk tahu teman dekatku di SMA?" selidikku.

Sepertinya Ibuk sedang berusaha mengingat-ingat namanya. Terlihat dari keningnya yang berkerut. Semenit aku tunggu, tidak ada satu nama pun keluar dari bibir Ibuk.

"Kalau teman kuliahku yang sering aku ajak ke rumah di awal semester?"

"Siapa ya? Yang rambutnya pendek itu, bukan ya?"

Bukan. Dia berhijab, Bu. Cape deh. Tapi tenang. Aku sudah sampai di tahap respon Ibuk yang seperti ini tidak akan memengaruhi emosiku sama sekali. Aku kan, sudah terlatih untuk hal-hal seperti ini.

"Kalau teman-teman band-nya Mara Ibuk tahu siapa aja?"

"Itu... Ninok, Jaja, sama siapa tuh yang namanya agak-agak bule?"

"Alfred."

"Iya, si Alfred Lubis." Sampai marganya aja Ibuk tahu.

Diam-diam aku mencebik pilu. Aku menarik kata-kataku tadi. Ternyata hatiku masih mudah dipengaruhi oleh ketidakpedulian Ibuk.

Kapan aku akan terbiasa, Ya Allah?

***

Notifikasi bertubi-tubi dari media sosial Warung ENTRY memaksaku bangkit dari peraduan. Padahal tadinya mataku sempat melayang ke alam mimpi sebelum getar ponselku tiada henti membangunkanku. Kini, justru mataku membelalak melihat isi notifikasinya.

"Pengikutku bertambah seribu orang?"

"Banyak yang nge-tag akunku."

"Heee? Aku kebanjiran komentar?"

Oalah... Makananku di-review oleh pemilik akun-akun centang biru!

"Mereka yang nge-tag bukannya influencer yang datang di acara syukuran Kak Hanum?"

"Alhamdulillah. Kayaknya aku kecipratan rezekinya Kak Hanum, deh." Dadaku berdebar bahagia.

Ulasan yang diberikan enggak ada yang negatif. Mereka semua yang sudah mencoba suka dengan makananku. Namun, ada beberapa komentar yang kecewa. Mereka kecewa karena mendatangi Warung ENTRY yang selalu tutup beberapa hari ini.

Bukannya warungku tutup selamanya, wahai netizen yang budiman, tapi aku sedang mencari tempat terbaik untuk rumah barunya. Walaupun ide terbaik versi aku yang sekarang adalah berjualan dengan gerobak di depan halaman sebuah mini market sampai menemukan ruko yang layak dengan harga sesuai isi rekeningku. Hitung-hitung rencana cadangan kalau ruko punya teman Kak Mala kemahalan. Jaraknya sedikit lebih jauh dari Kampus N. Tidak mengapa. Yang penting tetap berjualan.

"Atau...aku pinjam uang Ibuk untuk sewa tempat baru? Eh tapi, paling nanti ditolak mentah-mentah terus diomelin."

Cala, kamu tidak akan tahu kalau tidak mencobanya, kata sisi optimisku

Benar juga, sih. Setelah membulatkan tekad, dengan dada berdebar penuh harap bercampur khawatir, aku mengendap-endap keluar kamar dengan langkah sehalus kaki Oncom. Tunggu! Kenapa aku berjalan seperti maling di rumahku sendiri? Aku terkekeh sendiri dan berjalan dengan normal sedetik kemudian.

Langkahku harus aku rem di tengah tangga ketika namaku menjadi topik pembicaraan dua orang kesayanganku di dapur.

"Buk, mending Ibuk kasih uangnya ke Kak Cala. Mara dengar Kakak diusir dari rukonya yang sekarang sebelum jatuh tempo. Kakak lagi pusing cari tempat baru."

Kapan aku ceritakan ke Mara soal aku yang diusir? Atau aku yang lupa?

"Ck! Itu anak bikin Ibuk pusing. Kemarin malas-malasan di rumah. Sekarang kata kamu dia diusir dari rukonya. Itu tuh tandanya kakak kamu disuruh berhenti dari jualan makanan yang ndak jelas. Harusnya dia nurutin Ibuk ikut tes pegawai negeri."

"Kak Cala seneng di Warung ENTRY, Buk. Mukanya hepi kalau lagi jualan."

"Ndak menghasilkan. Hepi dari mana?Mending kamu cari motor yang sesuai sama dana yang Ibuk siapkan. Bisa beli tipe yang mana sama uang delapan belas juta, Nak?"

Nyeri....

"Mara bisa kok ngumpulin duit dari nge-band. Alhamdulillah panggilan ada terus, Buk."

"Ibuk sudah niat, Nak. Beli saja, ya?"

"Kan Mara udah bilang. Yang lebih butuh duit itu, Kak Cala, Buk. Motor buat Mara enggak semendesak itu, kok."

Pedih...

Aku enggak sanggup lagi dengar kata-kata Ibuk. Dadaku makin teremas sakit. Mending aku kabur ke kamar.

Setelah menghenyakkan pantat ke lantai dingin, kepalaku terus mengulang kata-kata Ibuk tadi. Aku baru tahu mengapa kita tidak boleh menguping pembicaraan orang lain.

Karena...bisa melukai hati.[]

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • Madesy

    Love it... alur ceritanya enak untuk dibaca, bikin penasaran, jd bacanya harus sampai tuntas gak boleh kejeda2.

    Comment on chapter 21. Seperti Namamu
Similar Tags
Rindumu Terbalas, Aisha
490      339     0     
Short Story
Bulan menggantung pada malam yang tak pernah sama. Dihiasi tempelan gemerlap bintang. Harusnya Aisha terus melukis rindu untuk yang dirindunya. Tapi kenapa Aisha terdiam, menutup gerbang kelopak matanya. Air mata Aisha mengerahkan pasukan untuk mendobrak gerbang kelopak mata.
IMAGINATIVE GIRL
2234      1155     2     
Romance
Rose Sri Ningsih, perempuan keturunan Indonesia Jerman ini merupakan perempuan yang memiliki kebiasaan ber-imajinasi setiap saat. Ia selalu ber-imajinasi jika ia akan menikahi seorang pangeran tampan yang selalu ada di imajinasinya itu. Tapi apa mungkin ia akan menikah dengan pangeran imajinasinya itu? Atau dia akan menemukan pangeran di kehidupan nyatanya?
Awal Akhir
664      414     0     
Short Story
Tentang pilihan, antara meninggalkan cinta selamanya, atau meninggalkan untuk kembali pada cinta.
Bulan dan Bintang
5244      1396     1     
Romance
Orang bilang, setiap usaha yang sudah kita lakukan itu tidak akan pernah mengecewakan hasil. Orang bilang, menaklukan laki-laki bersikap dingin itu sangat sulit. Dan, orang bilang lagi, berpura-pura bahagia itu lebih baik. Jadi... apa yang dibilang kebanyakan orang itu sudah pasti benar? Kali ini Bulan harus menolaknya. Karena belum tentu semua yang orang bilang itu benar, dan Bulan akan m...
Shymphony Of Secret
299      232     0     
Romance
Niken Graviola Bramasta “Aku tidak pernah menginginkan akan dapat merasakan cinta.Bagiku hidupku hanyalah untuk membalaskan dendam kematian seluruh keluargaku.Hingga akhirnya seseorang itu, seseorang yang pernah teramat dicintai adikku.Seseorang yang awalnya ku benci karena penghinaan yang diberikannya bertubi-tubi.Namun kemudian dia datang dengan cinta yang murni padaku.Lantas haruskah aku m...
A Perfect Clues
5172      1439     6     
Mystery
Dalam petualangan mencari ibu kandung mereka, si kembar Chester-Cheryl menemukan sebuah rumah tua beserta sosok unik penghuninya. Dialah Christevan, yang menceritakan utuh kisah ini dari sudut pandangnya sendiri, kecuali part Prelude. Siapa sangka, berbagai kejutan tak terduga menyambut si kembar Cherlone, dan menunggu untuk diungkap Christevan. Termasuk keberadaan dan aksi pasangan kembar yang ...
Waktu Awan dan Rembulan
3908      2091     16     
Romance
WADR
Aku Menunggu Kamu
111      96     0     
Romance
sebuah kisah cinta yang terpisahkan oleh jarak dan kabar , walaupun tanpa saling kabar, ceweknya selalu mendo'akan cowoknya dimana pun dia berada, dan akhirnya mereka berjumpa dengan terpisah masing-masing
The Reason
9158      1681     3     
Romance
"Maafkan aku yang tak akan pernah bisa memaafkanmu. Tapi dia benar, yang lalu biarlah berlalu dan dirimu yang pernah hadir dalam hidupku akan menjadi kenangan.." Masa lalu yang bertalian dengan kehidupannya kini, membuat seorang Sean mengalami rasa takut yang ia anggap mustahil. Ketika ketakutannya hilang karena seorang gadis, masa lalu kembali menjerat. Membuatnya nyaris kehilan...
Last Hour of Spring
1421      733     56     
Romance
Kim Hae-Jin, pemuda introvert yang memiliki trauma masa lalu dengan keluarganya tidak sengaja bertemu dengan Song Yoo-Jung, gadis jenius yang berkepribadian sama sepertinya. Tapi ada yang aneh dengan gadis itu. Gadis itu mengidap penyakit yang tak biasa, ALS. Anehnya lagi, ia bertindak seperti orang sehat lainnya. Bahkan gadis itu tidak seperti orang sakit dan memiliki daya juang yang tinggi.