"Bapak... lapar?"
"Menurutmu?!"
Ya salam. Aku bahkan kehilangan alasan untuk membalas si Tuan Grumpy yang sepertinya memang kelaparan. Sangat.
"Mau dibuatkan french toast savory double roti?" tawarku.
"Iya! Makan di sini," sahutnya sambil jalan merentak ke meja lesehan. Mati-matian aku tahan bibir ini agar tidak tersenyum menyaksikan seorang bocah lelaki yang terjebak di dalam tubuh pria dewasa jangkung berkaca mata. Aku jadi penasaran, usianya berapa sih?
"Ditunggu sepuluh menit ya, Pak," teriakku semangat. Responnya? Hm doang.
Setelah meletakkan pesanan Pak Harsa, pelangganku tak henti-hentinya datang silih berganti membuat diriku sibuk di depan kompor. Alhamdulillah. Lumayan mengobati hatiku akan perasaan bersalah karena mendongkol menjaga Kai. Aku bukannya mendongkol karena Kai, tapi karena keadaan. Oke? Demi Tuhan. Kai adalah keponakan pertamaku. Aku sangat menyayanginya.
Akhirnya setelah dua puluh menit tanpa henti melayani pelanggan, aku bisa menghenyakkan pantat dan mengistirahatkan tungkaiku barang sejenak. Aku penasaran dengan Pak Harsa, sebab sejak pesanannya sampai di meja, dia jadi pendiam dan tidak rewel seperti kedatangannya di awal.
Tuan Grumpy begitu tenang duduk di depan laptopnya. Pipinya mulai merona, dan bibirnya tidak sepucat yang tadi. Dan aku berani bersumpah, tampang Pak Harsa sesudah makan jauh lebih approachable, lebih ramah. Kalau tadi? Wajahnya seperti singa Maasai kelaparan di Afrika sana yang belum mendapat seekor impala selama sebulan penuh.
"Kenapa lihat-lihat?" Kerlingannya bertahan dua detik padaku. "Nanti naksir. Aku tidak akan tanggung jawab," ucapnya enteng.
Iddih! Kepedean banget!
"Jangan ge-er, Pak. Udah tua, juga," jawabku asal. Apa hubungannya ge-er sama tuanya dia, coba?
Pak Harsa mengangkat wajah dan bola matanya mengunciku. Tatapan itu membiusku, membekukan jantung, membuat persendianku sekaku patung.
Elah, emang matanya obat anastesi?
Dia mengangkat bahunya enteng. "Kalau katamu tua, aku bisa bilang apa? Tahun ke-34 adalah tahun terbaikku."
"Apa?! Tiga empat?" Dia mau menipuku? Dia lebih cocok di angka 28.
"See? Kamu pasti tidak percaya. Bukan kamu saja kok yang bereaksi seperti tadi. Mereka pikir aku masih berada di akhir 30."
Lihat bagaimana dia bicara. Level kepedeannya udah tembus sampai langit.
Ya Allah ya Tuhanku. Apotek tutup semua kayaknya. Emang enggak ada obat si Tuan Grumpy sok kepedean dan narsis ini.
"Sudah, jangan ikut-ikutan ileran lihatin aku. Mending kamu ke sini tolong ketik kerjaanku."
"Siapa juga yang ileran?!" protesku. Tapi kakiku tak mau kompromi dengan otak kecilku, sebab dia terus berjalan dan duduk di sebelah kiri Tuan Grumpy.
"Dari tadi Bapak ngetik pakai tangan kiri?"
"Iya."
"Tangannya masih sakit? Pasti enggak nyaman kerja sama satu tangan." Aku benar-benar kasihan. Pasti Pak Harsa merasakan kepayahan bekerja dengan tangan kirinya saja.
Sekilas si Tuan Grumpy tersenyum, tipiiiis banget.
"Terima kasih sudah mengkhawatirkan tanganku. Mo bilang besok sudah bisa beraktivitas tanpa arm sling, tapi—"
"Alhamdulillah." Aku beneran lega. "Eh, tapi...?" sambungku cepat-cepat. Barusan aku melihat Pak Harsa memutar bola matanya samar. Maaf, Pak.
"Tapi setelah dapat persetujuan dari ahli fisioterapiku juga."
Tanpa pikir panjang, aku elus lembut bahu kanannya yang malang dua kali dari balik kemejanya. "Yang penting tangan Pak Harsa cepat pulih," ucapku sepenuh hati.
"Terima kasih, Cal."
Ya Tuhan, ada apa ini? Tatapan Pak Harsa kembali menghipnotis dengan kelembutan dan keteduhannya. Pandangan yang tak putus itu membuat dadaku berdebar halus.
"Nge-ngetiknya p-proyek thank you, Pak?" tunjukku pada laptop yang sedang terbuka. Sial. Heh, lidah! Nggak perlu gagap di depan Pak Harsa. Habisnya, tatapannya mendominasi semua yang ada pada diriku: pikiranku, gerak-gerikku, hingga jantungku.
"Kamu itu, ya. Perhitungan, pamrih, tidak ikhlas. Apa lagi, hm?"
Apa?! Aku dibilang pamrih? Enggak Ikhlas? Perhitungan? Sabaaar. Sabar itu seluas lima samudera di dunia yang digabung jadi satu. Tenangkan diri. Pikirkan taman laut Bunaken, aurora di langit Tromso Norwegia, dan ikan paus yang berenang dengan tenang dan elegan di laut dalam dengan membawa sampah manusia di perutnya.
Betewe, apa aku udah mirip ikan paus yang ke mana-mana membawa sampah uneg-uneg dalam hati dan enggak tahu bagaimana cara membuangnya?
"Melamun."
"Enggak!" jawabku cepat.
Kepalang tanggung, kecebur aja sekalian biar dianggap pamrih dan enggak ikhlas. "Jadi gimana, Pak? Proyek thank you?" ulangku sambil menunjuk laptop dengan dagu.
Bukannya marah, dia lebih terlihat seperti sedang menahan senyum.
Menggemaskan.
"Aku bukan manusia pelit. Dua puluh ribu per halaman. Deal?"
"Deal!"
Kami berdua spontan tertawa amat harmonis. Ternyata, Pak Harsa enggak semenyebalkan dugaanku.
***
"Bapak nulis novel ya?" tanyaku disela-sela ketikan. Sumpah, jariku kaku banget udah lama enggak diajak kerja bareng keyboard.
"Hm."
"Tentang apa?"
"Sejarah, romansa, konspirasi."
"Berat, tapi romantis."
"Menurutmu Komandan Gara dan Nyai Dasim romantis?" Pak Harsa menaikkan alisnya sebelah.
"Ya."
"Bagian mana?"
"Waktu Komandan Gara meminta doa kekasihnya agar tidak mati di tangan penjajah dan saat dia mengecup kening Nyai Dasim sebelum pergi menyerang pasukan Belanda." Percayalah, meski berlatar penjajahan Belanda, act of service sederhana komandan Gara yang minimalis itu benar-benar mengena di hatiku.
Respon Pak Harsa hanya tersenyum irit dan, "Hm."
"Rating ceritanya?"
"Dewasa."
"Iiih, Bapak penulis buku romansa dewasa panas yaaaa?" ledekku. "Bakal ada adegan nganu-nganunya, Pak?"
"Hah? Nganu-nganu?"
"Itu lho, adegan yang bikin si Nyai Dasim dan Komandan Gara grasak-grusuk sesak napas di..." aku melihat sekeliling, memastikan pembicaraanku tidak ada yang mendengar. "...kamar," bisikku di telinganya.
"Astaga pikiranmu!" Pucuk kepalaku dipukul lembut sama pena. "Rating dewasa tidak melulu harus ada adegan seks, tapi bisa juga adegan sadis, perkelahian brutal, darah di mana-mana, pembunuhan, percobaan bunuh diri, dan sejenisnya. Mengerti, Cal?!"
"Iya, iya." Aku merasa jadi anak sekolahan barusan.
"Sering baca buku-buku seperti itu?"
"Ya enggak lah, Pak," belaku meringis. "Aku nggak hobi baca buku, apalagi genre kayak gitu."
"Bagus. Jangan coba-coba baca bacaan yang bukan untuk kamu. Merusak otak, merusak hati. Kamu masih kecil."
Egoku langsung tersentil gara-gara dibilang masih kecil!
"Jangan panggil aku anak kecil, Paman. Namaku Niscala. Pakai huruf C ya! Bukan huruf K. Aku udah 24 tahun, loh! Udah dewasa. Semua hal yang dilarang sebelum punya KTP udah bisa aku lakuin sekarang. Bikin anak aja udah bisa, apa lagi hanya baca bacaan DE-WA-SA!" ucapku tak terima dan berapi-api.
"Kamu buka anak kecil India itu, Cal."
"Pak Harsa tahu?" Mataku berbinar jadinya.
"Aku punya keponakan yang pernah nonton animasi itu. Tapi, bikin anak?" Cebikan bibirnya bikin aku pengen jadi semut saat ini juga. Sumpah, aku menyesal kata-kata 'bikin anak' keluar dari mulut tengilku.
"Udah, jangan dibahas." Aku langsung melarikan diri dari tatapan Pak Harsa yang berubah jenaka, namun mata itu tak jua melepasku. Aku takut terhanyut lagi. Alarm di belakang kepalaku menyala. Bahaya. Bahaya!
"Niscala pakai C."
"Ha?"
Pak Harsa membaca sesuatu dari ponselnya. "Dalam bahasa Sansekerta bermakna kokoh dan tangguh."
Oh, arti namaku. "Mungkin Tuhan memang sengaja bikin aku jadi manusia tangguh untuk menghadapi Nyonya Bet seumur hidupku." Aku mengangkat bahu ringan.
"Nyonya Bet?"
"Lupakan apa yang aku bilang," ucapku mengibas tangan lemah.
"Kalau dalam bahasa Yunani, Niscala berarti kemenangan manusia."
Aku tersenyum tipis. "Aku aminin aja ya. Artinya bagus." Apa aku bisa menang melawan emosiku sendiri?
"Kok terdengar putus asa?" Andai Pak Harsa tahu...
"Emang cerita yang aku ketik ini mau dibukuin, Pak?" Aku enggak mau membahas hidupku yang nelangsa dengan pria antah berantah ini.
"Insyaallah. Udah diteror sama editorku di penerbit M."
"Waaaah. Hebat. Itu kan penerbit besar." Aku memberikan selebrasi kecil-kecilan dengan bertepuk tangan. Pipinya jadi memerah. Lucu.
"Terima kasih. Tapi jangan bocorkan isi ceritanya," warning-nya.
"Tenang, aku lihai menyimpan rahasia." Nyimpen sampah uneg-uneg aja udah tahunan, Pak, apalagi cuma cerita Bapak.
"Terima kasih, Cal. Aku sangat menghargainya," ucapnya sungguh-sungguh.
"Hm, sama-sama."
Lalu Pak Harsa kembali ke ponselnya membaca sesuatu.
"Dalam KBBI, niskala dengan huruf K, ya, berarti tidak berwujud, tidak berbeda, mujarad, abstrak. Namamu unik juga."
Aku tertawa kering. Kenapa pria ini sangat tertarik dengan namaku?
Lagi-lagi sepertinya Tuhan mempermainkanku. Apa namaku benar-benar cerminan diriku yang sebenarnya? Tidak berwujud bagi keluargaku sendiri?
"Kenapa murung?"
"Lagi-lagi namaku merepresentasikan diriku yang sebenarnya."
"Tak berwujud? Abstrak?" Pak Harsa menaikkan alisnya sebelah kanan.
"M-hm." Aku mengangguk.
"Kehadiranmu membuat dunia berwarna."
"Pujian yang datang dari seseorang yang nggak kenal aku. Tapi makasih ya, Pak."
Dia mendengkus tak terima. Pak Harsa harus menerimanya karena itulah kenyataannya.
"Kamu membuatku percaya bahwa masih ada orang baik di muka bumi yang masih terus menjalankan peran sebagai penyambung tangan Tuhan."
"Bapak ngomong apa, sih? Jangan ngelindur, Pak. Masih pagi, lho."
"Apa kamu tidak sadar bahwa kamu telah membantu—"
"OM HARSA!!!"
Suara itu membuat kami berdua menoleh bersamaan, seiring dengan mendekatnya sosok itu dengan riang ke meja kami.
"Nisa!" Tangan kiri Pak Harsa melambai riang pada gadis kecil itu. Pria di sebelahku... tersenyum lebar. Hey! Kenapa aku baru tahu ada lesung pipi di kedua pipinya? Dia beneran Tuan Grumpy-Narsis-Galak-Jutek-Sok Kepedean yang sejak tadi bercengkerama denganku? Bukan Dewa Yunani?
Betewe, Nisa adalah pelanggan cilikku yang paling spesial. Gadis itu meletakkan karung putih besar yang aku perkirakan baru terisi seperempat dan berjalan ke arah kami. Mungkin dia baru memulai harinya sedikit terlambat, sama sepertiku.
"Kak Cala pacar Om, ya?" tebaknya ceria. Ini anak! Belajar dari mana dia soal pacar-pacaran? Hm?!
"Menurutmu, kami kayak pacaran, Nisa?" Eeh, malah ditantangin.
"Kok bisa kenal Nisa, Pak?" potongku cepat-cepat supaya topik ini enggak bergulir terlalu jauh.
"Mau tahu atau mau tahu banget, Cal?" Duuuh, capek deh.
"Tinggal jawab apa susahnya sih, Pak?" Si Bapak malah tertawa. Tawanya begitu menular, membuat aku dan Nisa ikut-ikutan tertawa.
"Om Harsa sering borong semua jualan Ibu Nisa, Kak. Kadang suka dikasih uang jajan. Banyaaak, sampai Nisa bisa bayar SPP!" Aku memutar cepat kepalaku dan mendapati Pak Harsa menatap penuh iba gadis kecil sembilan tahun ini. Satu lagi sifat Pak Harsa yang telah terbuka. Dia...orang baik.
"Kakak udah siapin sekarung plastik sama karton. Mau?"
"Mau!" Duh senyum Nisa bak malaikat. Adem banget.
"Ambil aja di belakang. Langsung kelihatan kok."
"Yes. Makasih Kakak Cantik." Nisa langsung berlari kecil ke belakang.
Aku tak bisa menahan bibirku untuk tersenyum lebar. Niscala, masa dipuji Nisa udah ge-er begitu?
Aku selalu mengumpulkan plastik dan kardus untuk gadis kecil itu supaya dia tidak perlu mengorek tong sampah warungku. Hidup udah susah. Aku nggak mau nambah-nambah kesulitan hidup Nisa yang udah keras.
"Sebelum pergi Kakak buatin waffle. Buat makan di jalan," teriakku.
"Aseeeek. Alhamdulillah rejekiiii," teriaknya tak kalah senang.
Aaah, bahagia banget. Hanya buatin waffle untuk Nisa bikin aku bahagia. Kok bisa ya? Kan cuma hal kecil, bukan nyelametin satu negara juga. Ajaib.
Sebelum berdiri, ada sesuatu yang bikin aku merinding enggak jelas, dan aura aneh itu bersumber dari seseorang yang duduk di sisiku dari tadi.
"Pak..."
"Hm?" Matanya bergetar kaget.
"Jangan ngelihatin aku kayak gitu." Aku bilang begitu, soalnya mata Pak Harsa enggak beranjak menatapku sejak aku ngobrol dengan Nisa.
"Ketahuan, ya?" ucapnya ringan tanpa ada secuil perasaan bersalah baik dari wajahnya maupun dari nada bicaranya.
Deg!
Ke-ketahuan begimane? Dia sama sekali enggak berniat diam-diam melirikku. Dia terang-terangan menatapku! Bisa-bisanya Omnya Nisa bikin jantungku berdesir pelan. Sulit. Sulit! Menghadapi orang yang terlalu jujur bikin aku enggak bisa ber-word-word. Baru kali ini aku menghadapi laki-laki modelan begini. Sangat blak-blakan.
Eh, bukannya dari awal dia memang berkarakter to the point?
Aku harus segera ngacir. Enggak bisa lama-lama berdekatan dengan pria ini.
"Pak, aku mau buatin Nisa waffle," izinku.
"Hm. Pergi sana."
Owmaigad. Barusan dia mengusirku dengan lambaian tangannya. Baru aja berdiri, kata-kata Pak Harsa bikin aku pengen nyebur ke kolam.
"Kalau tidak ada pelanggan, ke sini lagi."
***
"Dekat sama Nisa?" tanyanya setelah sepuluh menit yang tenang. Aku mengangkat kepalaku dari ketikan Komandan Gara yang mau menusuk pisau belati tempaan kakeknya ke seorang tentara Belanda yang sedang menjaga posko.
"Iya. Dia sering mulung di komplek ruko daerah ini. Kasihan aku tuh, Pak. Aku paham banget nyari duit itu enggak gampang."
Karena aku juga mengalaminya. Jatuh bangun mendirikan Warung ENTRY, belum lagi cacian dan patahan semangat dari Nyonya Bet, lalu sikap Pak Bas yang cuek-cuek aja waktu itu.
"Aku memahamimu, Cal." Suaranya terdengar seperti makhluk yang paling mengerti aku di muka bumi.
"Makasih, Pak."
Lalu kami melanjutkan kegiatan kami. Aku mengetik, Pak Harsa membaca sebuah buku tebal. Judul bukunya ada kata linguistik. Bukunya terkesan sangat akademis. Kalau bukan mahasiswa, berarti...
"Pak Harsa dosen, ya?" tebakku.
Setelah mendongak sebentar dari bukunya, dia mengangguk dan bergumam, "Hm." Lalu matanya kembali ke buku.
"Ooh. Di kampus sebelah?" Maksudnya Universitas N yang letaknya hanya sejauh 500 meter dari Warung ENTRY.
Dia merepitisi gerakannya tadi, mendongak padaku dan bergumam, "Hm."
"Kakakku juga dosen di sana."
"Hm." Kali ini dia hanya mengangguk dan tatapannya tetap tertancap ke bukunya.
"Bapak ngajar di fakultas apa?" Aku ingin mengorek lebih jauh tentang dia.
"Sastra."
"Waaaw. Sastra apa?"
"Indonesia."
"Whoaaa! Pak Harsa hebat." Spontan aku bertepuk tangan. Berarti kepintaran Pak Harsa sama kayak Kak Mala. Aku...jadi minder.
"Aku menyenangi dunia mengajar. Mengajar adalah impianku sejak kecil."
Aku bisa membaca gurat bangga di ujung matanya yang tersenyum meski dari balik kaca mata. Garis senyumnya juga tertarik samar ke kiri dan ke kanan ketika dia menceritakan mimpinya. Aku juga bisa mendeteksi si Tuan Grumpy ini bahagia dengan pilihannya menjadi dosen.
Kalau aku, mimpiku... apa?
Aku enggak pintar-pintar amat dalam belajar. Sejak SD sampai SMA, nilaiku selalu rata-rata. Lulus aja udah Alhamdulillah. Kuliah juga enggak menonjol. Aku bahkan enggak tahu apakah aku menyukai jurusan akutansi atau enggak. Sebab, Ibuk yang memilihkan jurusanku.
Kata Ibuk, aku harus kuliah dengan jurusan yang banyak peminatnya, biar bisa bekerja di perusahaan keuangan seperti bank, pajak, bea cukai, atau pegawai negeri, dan dapat gaji tetap setiap bulan.
Takdir berkata lain. Lulus kuliah aku malah ingin berjualan makanan setelah bertemu dengan Jeff yang otaknya bener-bener encer soal bisnis dan makanan. Alhasil, ibuk enggak setuju meski aku udah mengungkapkan segala argumen yang paling masuk akal kenapa aku mau jualan.
Mana pernah pendapatku didengar? Apa pendapatku bahkan penting bagi Nyonya Bet? Sedihnya, beliau memang tidak pernah menganggap pendapatku penting untuk didengar. Dan yang lebih sedih lagi, aku menyayangi Ibuk melebihi apa pun.
Maaf, Buk. sekali iniii aja. Aku enggak dengerin kata Ibuk. Cala pengen jualan, Buk.
Jadi sekali lagi, apa mimpiku? Apa Warung ENTRY benar-benar mimpiku setelah menentang keinginan beliau?
"Melamun."
"Hah?"
Kening Tuan Grumpy mengernyit saat matanya mengunci mataku. Resah. Itu kata yang mewakili wajahnya ketika memandangku sangat intens. Aku balas menatapnya. Kalian tahu? Kami saling memandang dalam diam selama 30 detik yang terasa seperti selamanya. Tatapannya... tak terbaca kali ini.
Pak Harsa akhirnya menutup buku linguistiknya dan memutar tubuhnya agar kami saling berhadapan.
"Apa yang kamu pikirkan, Niscala?" mohonnya.[]
Love it... alur ceritanya enak untuk dibaca, bikin penasaran, jd bacanya harus sampai tuntas gak boleh kejeda2.
Comment on chapter 21. Seperti Namamu