"Aku rasa kau harus berhenti menilai orang dari penampilannya saja," ucapku menirukan kata-kata Spongebob di televisi.
Adikku biasa menonton serial kartun Spongebob sebelum berangkat sekolah. Saat itu aku yang sedang menunggu jemputan Bobby ikut menikmati kartun tersebut.
"Benar juga, untuk menilai seseorang kita perlu mengenalnya lebih jauh," ujarku pelan.
“Kak kamu omongan sendiri ya?,” kata Eren membuyarkan lamunanku.
“Hush, Rin kamu segera berangkat sekolah gih,” ujar Mama sambil menyiapkan bekal untuk Eren dan Eran.
“Kan aku nanti dijemput temen Mamah nunggu dulu,” jawabku.
Pukul 06.40 pagi, datanglah Bobby dengan motor matik hitamnya. Seperti biasa, ia datang beserta senyuman lebarnya dan matanya menggoda usil.
Aku awalnya bermaksud untuk langsung naik ke motor Bobby dan berangkat tanpa harus mengenalkannya pada Mama dan Ayah.
Bukan Bobby Namanya kalau tidak berbasa-basi. Tanpa seizinku, ia turun dari motor dan langsung menghampiri Mamah.
Selain meminta izin pada Mama, Bobby juga menjelaskan kejadian kemarin soal sepedaku yang bocor meski aku sudah menceritakannya pada Mama kemarin.
Setelah acara yang aku sebut ramah tamah Bobby dengan Mamah, kami kemudian berangkat. Sekitar 10 menit dibutuhkan untuk sampai ke sekolah.
Dalam perjalanan, Bobby terus mengajakku mengobrol. Sepertinya dia benar-benar tidak sadar kalau aku tak bisa mendengarnya dengan jelas saat mengenakan helm adiknya yang sempit.
Sesampainya di sekolah, ku lihat banyak anak laki-laki menongkrong di parkiran. Sudah menjadi mereka nongkrong di sana sebelum masuk kelas.
"Suka banget sih nongkrong, mana masih pagi," batinku.
Setelah memakirkan motornya, Bobby kemudian membantu melepas helm di kepalaku. Aku sendiri agak terkejut dengan “keramahan berlebihan” yang Bobby tunjukkan pagi itu.
Aku tahu dia memang selalu baik padaku. Tapi membantuku melepas helm ku rasa itu tidak perlu.
Aku yang agak kaget dengan perlakuan tersebut, secara reflek menjauh dan sedikit memberikan raut muka galak padanya. Sedangkan Bobby sepertinya tidak tersinggung dan malah nyengir-nyengir seperti biasa.
Saat kami hendak berjalan menuju kelas, terdengarlah suara dari anak-anak yang menongkrong menggoda kami.
"Wah Bobby udah punya pacar," teriak salah satu cowok di tongkrongan tadi.
"Apaan woy," balas Bobby berteriak
Digoda begitu, Bobby terlihat santai-santai saja. Sedangkan aku justru ingin berjalan lebih cepat menuju kelas karena malu.
Rupanya anak-anak cowok itu kebanyakan adalah teman Bobby di kelas sebelumnya. Makanya Bobby terlihat akrab dengan mereka.
“Mereka teman-temanku Rin, biarin aja mereka suka begitu,” kata Bobby berbisik padaku.
"Kamu pacaran sama pemain sepak bola Bob?," teriak salah satu temannya lagi disusul gelak tawa lainnya.
"Huh, lagi-lagi," sungutku.
"Iya, keren kan?," balas Bobby santai.
Sepertinya nama ledekanku sudah menyebar ke banyak orang di sekolah. Sial.
Saat Bobby tengah sibuk menanggapi mereka, aku lantas meninggalkannya.
"Sudah santai aja," kata Bobby menyusulku.
"Santai apaan, emang kamu enggak malu ya jalan sama aku Betty La Fea," kataku.
"Ya ampun kenapa sih malu, kamu kan pinter, bisa rangking satu, aku seneng kok bisa deket-deket orang pinter," pujinya.
Mendengar itu, aku tidak bisa tidak salah tingkah. Jika biasanya aku dirundung, kali ini aku dipuji oleh anak laki-laki.
Sesampainya di kelas, Mika agak terkejut aku datang bersama Bobby. Dari kejauhan ternyata Mika sudah mengamati kami berdua berjalan bersama.
“Wah Rin, sejak kapan kamu sama Bobby?,” ujar Mika menyambut kedatanganku.
“Apaan sih Mik,” ujarku sedikit kesal sambil melemparkan tubuhku ke kursi.
Agar tak salah paham, aku kemudian menjelaskan apa yang terjadi soal ban sepedaku yang bocor. Aku rasa aku agak berlebihan menanggapi godaan orang-orang mengenai Aku dan Bobby.
***
Kejadian serupa sempat terjadi lagi ketika aku pulang bersama Bobby. Bobby dengan santainya berboncengan denganku meski banyak anak-anak cowok menggoda kami.
Sejujurnya aku mulai agak risih dengan mereka. Aku benar-benar tidak mau ada kesalahpahaman mengenai hubungan kami. Sedangkan aku dan Bobby hanyalah teman yang kebetulan dekat karena kerja kelompok bahasa Inggris. Tidak mungkin kami berpacaran, karena merasa tidak mungkin Bobby menyukaiku yang seperti ini.
Meski begitu, aku mencoba menenangkan pikiranku toh aku dekat dengan Bobby hari ini saja. Besok aku akan berangkat dan pulang sekolah menggunakan sepedaku lagi.
Sebelum pulang, Bobby mengajakku untuk mencari ikan di pasar hewan. Bobby mengatakan, Mamahnya akhir-akhir ini sangat suka memelihara ikan hias di aquarium.
“Mamaku ulang tahun, aku berniat membelikannya beberapa ikan untuknya, pasti dia senang,” kata Bobby menjelaskan.
“Boleh ya mampir bentar,” pintanya padaku.
Aku yang tidak bisa mendengar suara Bobby dengan jelas hanya bilang oke-oke saja. Makanya saat motornya justru berhenti di pasar hewan aku sempat bingung.
“Loh Bob kok ke sini,” tanyaku.
“Lah kan aku sudah jelasin di motor tadi aku mau beli ikan dulu tadi kamu oke aja,” kata Bobby.
“Oh iya ya,” ujarku malu dan menurut saja dengan apa yang diinginkan Bobby.
Selama di pasar hewan kami melihat berbagai hewan peliharaan maupun hewan ternak di sana. Bobby dengan semangatnya menjelaskan hewan apa saja yang ada di sana.
“Kok kamu tahu banyak sih Bob,” kataku.
“Eh iya aku tau karena saat aku kecil cita-citaku ingin menjadi pawang kebun binatang,” ujarnya.
“Hahaha lucu,” ungkapku sambil tertawa.
“Akibatnya aku sering membaca, mencari tahu, soal-soal dunia hewan,” katanya.
“La sekarang gimana masih pengen jadi pawang?,” tanyaku tertarik.
“Mmm mungkin masih, tapi aku sekarang lebih tertarik untuk menjadi seorang pemusik,” katanya.
“Kamu bisa main musik?,” tanyaku.
Namun pertanyaanku sepertinya tidak didengar Bobby hingga kuulangi dua kali. Ternyata Bobby sudah tak berada di sampingku.
Bobby ternyata sudah berhenti di toko ikan hias. Ia terlihat sibuk mengamati ikan-ikan cupang yang ada di sana. Saking seriusnya, Bobby sepertinya agak lupa denganku beberapa saat.
“Wah ini bagus banget Rin,” ujar Bobby bicara sendiri.
“Heh aku di sini woy Bob,” kataku sambil menepuk pundaknya.
Kemudian Bobby membeli empat ikan cupang dan beberapa ikan hias lainnya untuk Mamahnya. Dua di antara ikan cupang itu diberikan padaku, tanpa persetujuanku.
“Nih buat kamu dirawat ya,” kata Bobby.
“Lah Bob kan aku enggak pengen,” ujarku protes.
“Liat dulu itu pasti kamu seneng,” ujar Bobby. Ia mengataknnya seperti bukan sebagai permintaan tapi suruhan.
Benar apa yang dikatakan Bobby, saat ku amati ikan-ikan cupang itu, aku merasa tertarik. Aku seperti terbius dengan dua ekor ikan cupang berwarna merah yang sudah dibeli Bobby.
“Kamu pengen yang ini ya? Ini Namanya Ikan cupang jenis super red halfmoon,” kata Bobby menjelaskan.
Selain menyerahkannya padaku, Bobby juga mengingatkan untuk tidak memelihara mereka dalam satu wadah. Ia juga menjelaskan apa saja cara merawat ikan cupang yang benar.
“Nanti kamu bisa google cara merawatnya, oh iya kamu bisa juga tanya dan chat aku,” kata dia.
“Pokoknya, tiap seminggu sekali aku akan menanyai dan memintamu memperlihatkan keadaaan mereka. Awas saja kalau sampai sakit atau mati,” ujarnya tegas.
Seperti terbius dengan kata-kata Bobby, aku menurut saja dengan apa yang diperintahnya.
Dugaaanku soal aku tak akan dekat dengan Bobby lebih dari teman sekelompok Bahasa Inggris ternyata salah.
Selama beberapa hari setelah membeli ikan hias, Bobby selalu mengajakku mengobrol di kelas. Saat jam kosong, ia tak sungkan untuk menghampiri mejaku.
Dia sepertinya juga tidak peduli dengan celotehan anak-anak lain. Bahkan, Mika menyebut bahwa Bobby jatuh cinta padaku yang dengan tegas aku sebut tak mungkin.
Ada-ada saja yang diobrolkan Bobby padaku. Kebanyakan hal-hal yang menurutku tidak penting.
"Kok kamu bisa pintar gitu, bisa rangking 1," tanyanya padaku.
Aku benar-benar bingung menjawab pertanyaannya itu. "Ya, enggak tahu, aku juga mungkin biasa aja kok," jawabku sekenanya.
Selain itu, Bobby juga sering kali menanyaiku sudah makan atau belum setelah jam istirahat berakhir. Walau aku tak merasa pertanyaan itu dikarenakan dia naksir padaku, namun aku merasa hal itu jelas aneh.
"Erin udah makan?," tanya Bobby tiap sehabis jajan dari Mbok Sar bersama gengnya "Kelompok Sean".
Bicara soal Sean, Sean tentunya juga sering menggoda Bobby. Sean memiliki kecurigaan yang sama dengan Mika mengenai Bobby jatuh cinta padaku.
"Cie Bob, kalau seneng tuh langsung ngomong," ujar Sean.
"Berisik," ujarku sinis pada Sean.
Memang aku sempat menyukai Sean beberapa waktu lalu. Namun semenjak aku tahu bahwa dia juga suka ikut merundungku, perasaan itu tiba-tiba saja lenyap dan bahkan aku sering bersikap sinis padanya.
Aku sempat sedikit sedih, apalagi aku terlalu percaya diri mengira Sean suka padaku. Lantaran perasaan dibully lebih menyakitkan, perasaan patah hati tidak benar-benar terjadi padaku.
Dari hari ke hari, aku mulai ikut curiga dengan sikapBobby kepadaku. Aku tidak ingin bermaksud berlebihan, namun perlakuannya padaku seperti orang yang ingin terus berhubungan.
Selain di sekolah, Bobby juga hampir tiap hari mengechatku. Dia rutin mengucapkan selamat pagi dan selamat tidur.
Jika aku sedang mood biasanya akan ku balas chatnya. Jika sedang tidak mood, ku buka chatnya saja tidak.
Hanya topik soal tugas Bahasa Inggris dan cupang yang kini aku rawat yang membuatku tertarik chatting-an dengannya.
Bukan Bobby namanya kalau menyerah begitu saja. Ia tetap saja mengirimiku chat tanpa rasa malu. Hingga kemudian tingkah aneh Bobby itu lantas kuceritakan pada Mika dan Meta.
"Hahaha, Bobby tuh suka sama kamu," ujar Mika.
"Lah apa iya? Padahal kan cewek cantik di sekolah banyak," ujarku heran.
"Ya mungkin aja dia anggap kamu cantik Rin, kamu juga enggak jelek kok," tambah Meta.
Meski heran, aku sejujurnya juga makin risih dengan tingkah Bobby padaku. Selain karena aku memang menganggapnya teman, mungkin juga dia bukanlah sosok yang menjadi tipeku selama ini.
Bobby adalah sosok yang cukup tinggi, dengan dada yang bidang, berkulit coklat gelap, serta memiliki senyum yang manis.
Aku tak menyebutnya dia jelek bahkan dia termasuk cowok yang tampan dengan kulit sawo matangnya, akan tetapi tipeku selama ini adalah sosok-sosok kebule-bulean, seperti Sean.
Hal ini tidak terlepas dari pengaruh aku suka menonton film dan menikmati lagu band-band barat sejak aku kecil. Sehingga sering melihat aktor-aktor tampan kaukasia.
Sementara itu, kejadian di mana aku makin terganggu dan kesal pada Bobby adalah saat drama sederhana tugas Bu Clarisa dilaksanakan.
Jam pelajaran bahasa Inggris dilakukan setelah jam istirahat. Semua anak-anak dalam kelompokku sudah siap, kecuali Bobby.
Sampai Bu Clarisa datang ke kelas, cowok yang suka belum ku ketahui lama suka mengunyah kacang goreng itu tak kunjung terlihat batang hidungnya.
Ku berniat menelponnya, namun rasanya tak mungkin mengingat kami tidak diperbolehkan bermain ponsel di sekolah. Di samping itu, kemungkinan besar hp Bobby juga ditinggal dalam kelas.
Di tengah kebingunganku, terdengar bisik-bisik bahwa Bobby dan Sean yang juga belum muncul di kelas terlibat perkelahian. “Aku tadi dengar dari anak kelas sebelah, Sean dan Bobby sempat berantem sama anak kelas IPS,” kata Sabrina pada Regina.
“Kini mereka sudah dibawa ke ruang BK,” lanjut Sabrina.
“Mereka berantem kenapa,” tanya Regina.
“Oh belum tahu kalo soal itu,” kata Sabrina yang diam-diam aku tunggu jawabannya.
Akibatnya, aku cukup panik. Apalagi sebentar lagi, kelompok kami harus segera mempertunjukkan naskah drama yang minggu kemarin kami sudah buat.
Kami sudah cukup berlatih keras untuk tugas ini hingga sudah hafal apa yang kami ucapkan dan peragakan. Terlebih Bobby memerankan tokoh yang penting sebagai Singa Aslan.
"Ayo kelompok Erin segera maju," seru Bu Clarisa.
"Oh maaf Bu, Bobby masih ada di ruang BK," jawabku.
Beruntung, Bu Clarisa memaklumi dan memilih kelompok lain untuk maju duluan sembari menunggu Bobby.
Sekitar 15 menit kemudian, munculah Bobby dengan Sean bersama guru BK kami, Bu Retno. Kami cukup terkejut-kecuali-aku, melihat mereka babak belur dan seragamnya berantakan.
Ku lihat pelipis Bobby terluka, mukanya kotor, dan dua kancing baju bagian atas terlepas. Sedangkan, Sean mengalami luka lebam di pipi.
Bukannya khawatir dengan Bobby yang mungkin saja terluka karena perkelahian, aku justru masih sibuk memikirkan nasib kelompok Bahasa Inggrisku.
Bu Retno kemudian masuk dan berbicara dengan Bu Clarisa. Sedangkan, Bobby dan Sean disuruh berdiri di kelas sejenak.
Bu Retno menceritakan pada kami bahwa Bobby dan Sean terlibat perkelahian dengan tiga anak kelas IPS. Perkelahian itu diawali dengan bagaimana mereka nekat jajan di luar sekolah.
Sedangkan diketahui bahwa kami dilarang keluar dari sekolah selama jam-jam sekolah. Kemungkinan, mereka memanjat tembok sekolah untuk bisa keluar.
Saat mereka jajan di angkringan tak jauh dari sekolah, terjadi kesalahpahaman antara mereka hingga berakhir dengan perkelahian.
Lalu, penjual angkringan langsung berlari menuju sekolah untuk melaporkan kejadian tersebut. Meski demikian, mereka sudah didamaikan di ruang BK.
Selain berkelahi, Bu Retno juga menyayangkan tindakan mereka keluar saat jam-jam sekolah.
"Kalau jajan sampe sana kenapa? Di sini kan banyak," tanya Bu Retno.
"Kami menemani teman-teman dari IPS beli rokok Bu," ujar Bobby.
"Kalian emang enggak?," tanya Bu Retno lagi.
"Tidak Bu, sungguh," jawab Bobby dan Sean bersamaan.
"Kenapa sih nemenin beli rokok segala, jawab jujur ada alasan lain tidak," seru Bu Retno galak.
"Kan tadi sudah dijawab pas di ruang BK," jawab Bobby.
Mendengar jawaban Bobby, Bu Retno makin galak. Aku sendiri tak menyangka Bobby berani menjawab Bu Retno demikian.
Walaupun Bu Retno memang terkenal sebagai sosok yang cerewet dan suka mengulang-ulang cerita. Jelas Bobby bersikap tidak sopan.
Hingga akhirnya, Bobby dan Sean disuruh untuk meminta maaf dan diperbolehkan kembali ke bangku masing-masing. Namun, mereka juga diberi hukuman untuk membersihkan taman sekolah selama tiga hari.
“Kami Bobby dan Sean meminta maaf atas keributan yang terjadi dan membuat pelajaran sempat terganggu,” ujar Bobby.
Aku cukup bersyukur mereka tidak terluka parah. Akan tetapi, aku masih kesal dengan Bobby khususnya.
Gara-gara Bobby, rencana kami untuk totalitas dalam tugas drama justru berantakan. Mood dan mood teman-temanku lain rasanya agak kacau gara-gara ini.
Hanya Bobby yang justru masih cerita tanpa merasa berdosa. Aku yang kesal tak ingin berkata banyak dan memintanya untuk merapikan baju.
Kuserahkan cemiti sebagai pengganti kancingnya yang terlepas karena perkelahian tadi.
"Ini aku bawa cemiti biar ga kebuka gitu," ujarku menyerahkan cemiti pada Bobby.
Benar saja, drama kami kurang maksimal. Apalagi dengan keadaan Bobby yang berantakan seperti itu.
Sedangkan, Bobby adalah tokoh penting dalam drama kecil-kecilan ini. Beberapa kali ia lupa dengan dialognya hingga penampilan kami sangat jauh dari kata bagus.
Setelah semua kelompok memperagakan dramanya, Bu Clarisa lantas mengumumkan siapa kelompok terbaik dalam tugas ini.
Kelompok Mika dan Sarah menjadi penampil terbaik. Penaampilan mereka memperagakan dialog dari buku Jane Eyre sungguh dramatik dan membuat siapa saja yang menontonnya ikut merasakan penderitaan sang tokoh utama.
Sementara itu, Bu Clarisa menyebut, naskah drama yang kelompok kami buat sebenarnya sudah sangat bagus. Kami cukup bagus melafalkan setiap kata dalam dialog.
Namun, gara-gara ada satu anak bermasalah membuat penampilan kami buruk. Padahal tugas ini adalah kerja kelompok sehingga semuanya harus berperan bagus.
Selain itu, kurangnya penghayatan dan rasa semangat dalam kelompok kami membuat penampilan kami jauh dari kata maksimal.
Aku yang cukup ambisius dengan tugas ini merasa benar-benar kecewa pada Bobby. Aku menyalahkan segalanya pada laki-laki tengil ini.
Apalagi, semalam aku sempat tidur terlambat demi mempersiapkan drama tersebut. Semuanya hancur hanya karena kelakuan yang kuanggap sebagai kebodohan.