BAB 1
HARI PERTAMA
"Satu dari faktor kebahagiaan adalah percaya diri. Percaya diri menyingkirkan perasaan khawatir, ketakutan, yang seringkali muncul secara tiba-tiba". Begitulah kutipan pribadi di dalam kepalaku di suatu pagi di bulan Juli.
Sudah cukup untuk merasa sedih di kelas 10 kemarin. Waktunya mengubah bayangan dan pikiran di awal semester baru ini.
Bukan tanpa alasan aku berpikir begitu, di kelas yang dulu aku sering menjadi bahan bullyan anak laki-laki. Mereka sering mengejek penampilanku yang kutu buku.
Wajah yang mungkin biasa saja, rambut panjang ikal ke bawah, dengan kacamata, disertai gigi tidak rata membuatku sering dipanggil Betty La Fea.
Betty La Fea adalah tokoh utama drama telenovela tahun 2000an yang digambarkan sebagai sosok kutu buku. Mungkin sosok itu lah yang ada di pikiran mereka setiap kali melihatku.
Awal mula disebut nama itu ketika guru Bahasa Indonesia memutar potongan drama Betty La Fea itu di dalam kelas lewat proyektor. Tayangan yang awalnya digunakan sebagai contoh drama-drama luar yang sempat viral di Indonesia itu justru menjadi boomerang bagiku.
“Loh kok mirip Erin tuh,” celetuk salah satu temanku.
“Iya benar-benar,” susul yang lain disertai tawa seisi kelas.
"Huft, Betty La Fea," desahku mengenang kejadian sekitar setahun lalu.
Sambil menguncir rambutku, ku lihat-lihat penampilanku yang tengah memakai seragam putih abu-abu dari ujung kepala hingga ujung kaki.
"Kurasa sudah cukup aku dipanggil Betty La Fea," kataku dalam hati.
Sekarang, mereka harus memangilku dengan namaku sendiri. Tak boleh ada yang mencuri identitas diriku lagi.
Saat aku hendak memasukan sedikit helaian rambut depanku ke dalam kuncir kudaku, terndengar Mamah memanggilku.
“Rin, Erin aduh kamu lama banget dandanya, ayo cepet nanti telat,” teriak Mamah dari balik pintu.
Mamah memang sosok yang cerewet, terlebih lagi di pagi hari seperti ini. Sepertinya dalam bayangannya, pagi hari cuma ada pukul 7 pagi.
Dia terus mengira aku akan telat berangkat sekolah, padahal ini masih pukul 6.15 pagi.
“Ya ampun Mah, ini masih jam berapa sih santai aja Mah,” ujarku.
***
Pagi itu aku benar-benar mencoba untuk bersikap ceria. Aku bahkan tersenyum kepada tiap orang yang aku temui di jalan.
Beberapa orang membalasnya dengan senyuman balik, beberapa melihatku aneh, ada pula yang bahkan tidak sadar aku beri senyuman.
Biasanya aku selalu muram tiap berangkat sekolah. Bahkan, Mamah selalu menyebutku zombie pagi hari.
Seandainya saja dia tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi tentunya tidak karena aku bukan seorang pengadu. Kupendam sendiri segala kesedihan masa sekolahku.
Di kelas 11 ini aku akan bersama dengan teman-teman baru. Aku banyak berharap tidak akan bertemu dengan teman-temanku di kelas lama.
“Awal yang baru untuk segalanya,” batinku sambil mengayuh sepeda kuningku.
Pada tingkat ini, murid-murid sekolahku sudah mulai dikelompokan berdasarkan bidang keinginan mereka, yaitu IPA, IPS, dan Bahasa. Sedangkan aku menyukai pelajaran Bahasa.
Penuh keyakinan ku ambil kelas itu meski banyak siswa tidak menginginkannya. Sederhana saja mengapa aku menyukainya, aku hanya tidak suka berhitung.
Kalau ada orang bilang bekerja sesuai passion akan menjadi seperti sebuah hoby, maka belajar sesuai keinginanku akan membuatku merasa bermain setiap hari.
Setidaknya ini dulu, jika ternyata bidang ini tak semudah perkiraanku, aku rasa urus saja nanti.
Sesampainya di sekolah, aku langsung berjalan menuju kelas II Bahasa A. Kelas itu berada di paling belakang bagian sekolah dekat dengan kantin Mbok Sar.
Selain dekat dengan kantin, aku senang dengan suasananya yang rindang karena di depan kelas terdapat sebatang pohon manga yang cukup besar.
“Wah nanti enak jajan gampang,” batinku hingga tiba-tiba seorang gadis mendekatiku.
“Hey, Erin.. kamu ternyata satu kelas denganku,” ucapnya.
Gadis itu adalah Sarah, teman satu kelasku di kelas 10. Aku cukup kaget mengapa dia sampai berada di kelas Bahasa sepertiku.
Selama ini ia dikenal sebagai gadis yang pandai dalam pelajaran Matematika. Hal apa yang membuatnya tiba-tiba berada di sini.
“Oh, hei Sarah... kamu di sini? Mmm..... ,” balasku keheranan.
Seakan tahu dengan apa yang ada di dalam kepalaku, Sarah lantas tersenyum dan menarik tanganku mendekat.
“Ah, iya aku tidak di kelas IPA karena aku gagal dalam tes kemarin.”
Sekolahku menerapkan tes penjurusan bagi siapa yang ingin ke jurusan tertentu. Murid harus bisa lolos tes dan mengalahkan murid-murid lain sesuai dengan kuota yang ada.
“Oh begitu,” ucapku tak mau bertanya lebih jauh.
Selain Sarah, ada satu teman lain yang dulunya satu kelas denganku, yakni Venny. Aku cukup senang dengan kehadiran Sarah dan Venny di sini.
Yah Sarah dan Venny tentunya bukan orang-orang yang membullyku di kelas lama, jadi its fine.
Walau sebelumnya aku tidak terlalu akrab dengan mereka, namun setidaknya ada murid-murid yang aku kenal di kelas baru ini.
Di dalam kelas, Sarah dan Venny memutuskan untuk duduk di meja yang sama. Sedangkan aku memilih meja lain sembari menunggu murid yang mau duduk bersebelahan denganku.
Selang beberapa menit, seorang murid perempuan berperawakan tinggi dan manis menghampiriku. Wajahnya terlihat ramah.
“Hei, apakah kursi ini kosong? Bolehkah ku duduk di sini, oh hei aku Mika,” ucapnya.
“Hei, silahkan duduk saja. Kursi ini kosong, aku Erin,” balasku menyuruhnya duduk.
“Terima kasih, Erin,” balas Mika.
Entah mengapa hanya dalam hitungan menit aku berjumpa dengan Mika, aku langsung akrab dengannya.
Aku berbincang-bincang banyak dengannya mengenai banyak hal. Dari situ pula kuketahui, Mika kini berada di bidang Bahasa karena tuntutan dari orang tuanya, yang merupakan seorang dekan fakultas Bahasa di suatu universitas negeri di kota kami.
Mika mengatakan, beberapa dari saudara orang tuanya banyak yang bekerja sebagai dosen Bahasa. Orang tuanya menganggap jurusan Bahasa adalah jurusan yang aman bagi Mika.
Selain dapat mengajari Mika, suatu saat Mika juga bisa dikuliahkan ke jurusan Bahasa Asing di universitas swasta luar negeri yang kini dikelola pamannya. Padahal, Mika tak pernah menginginkan itu.
“Yah aku cukup kecewa,” kata Mika dengan raut muka sedih.
Meski sangat terlihat sekali kekecewaannya, Mika tetap mencoba tegar dan terus melemparkan senyumnya padaku.
"Awalnya aku memang kecewa, tapi mungkin takdir sih biar aku tidak hanya pandai itung-itungan kan?," kata Mika menghibur diri.
"Apalagi kalau ingin lanjut kuliah ke luar negeri, juga harus pandai bahasa Inggris iya kan ya?," tambah Mika.
Kurasa omongan Mika memang benar. Semua ilmu itu baik, tak ada ilmu yang sia-sia.
Selain mengobrol dengan Mika, saat itu aku terus berdoa agar teman-teman yang sering membullyku dulu di kelas lamaku tidak berada di kelas ini.
Setelah sekitar 35 anak berkumpul, aku bersyukur aku tidak melihat muka-muka teman-teman lamaku yang sering membullyku di kelas baru ini.