Read More >>"> Ilalang 98 (Bang Putra) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Ilalang 98
MENU
About Us  

Bulan Mei telah berlalu, sepekan sudah aku tinggal bersama Kang Yok. Dia mengajari banyak hal mengenai seni. Bahkan dengan sabarnya ia membimbingku agar bisa membantunya dalam seni kerajinan perak. Meskipun hanya sebagai asistennya , aku sudah senang. Merasa tentram karena tidak menumpang secara gratis.

Semilir angin membawa hawa sejuk, sambil membetulkan poni yang berantakan menuruni bus jalur sepuluh yang membawaku kembali ke Gejayan. Situasi sekarang lebih kondusif. Kembali berjalan normal seperti tidak pernah ada peristiwa besar yang terjadi. Aku bermaksud menemui Mang Kardi, sekedar menanyakan kabar atau mencari informasi.

Melihat gerobak Mang Kardi di tempat biasa sungguh aku merasa lega. ku lihat ada beberapa perbaikan. Tapi gerobak itu tak sepenuhnya baru. Dari jauh aku tahu ia telah melihatku, Mang Kardi dengan peci hitamnya yang sengaja di biarkan miring. Melambaikan tangan ke arahku memberikan kode agar aku menghampiri gerobaknya. Kuberikan senyuman semanis mungkin agar iapun tak mengkhawatirkan keadaanku.

 Bagaimanapun juga Mang Kardi telah banyak mengetahui ceritaku yang tinggal di Jogja tanpa sanak saudara juga uang saku yang begitu terbatas. Segala cara kulakukan untuk mendapatkan sepiring nasi termasuk menawarkan jasa cuci piring kepada tenda-tenda pecel lele yang bertebaran di pinggir jalan.

Mang Kardi langsung memegang bahuku dengan tatapan mata berbinar, tak ada sepatah kata terucap, hanya tatapan penuh makna. Aku mengangguk padanya memberikan senyuman penuh makna. Hari masih pagi, namun bukan salahku jika tiupan angin membuat ujung poniku menusuk-nusuk kelopak mata, tergelitik hampir seperti ingin menangis, Aku menggigit bibir, menahan semua perasaan.

 Mulai menanyakan bagaimana kabar kawan-kawan setelah kejadian tersebut. Untunglah Mang Kardi mengetahui bahwa mereka semua yang terangkut telah di bebaskan karena memang hanya di mintai keterangan. Tidak ada mahasiswa yang terbukti sebagai provokator.

Aku menghela nafas sejenak. Lalu bagaimana dengan media cetak yang menggunakan gambarku untuk memberitakan provokator yang tertangkap. Pertanyaan itu tidak kuungkapkan pada Mang Kardi. Akupun hanya bisa terdiam ketika ia melemparkan candaan bahwa kini wajahku laku di pasaran. Sekali lagi menggigit bibir bagaimanapun juga ketika hal tesebut di singgung seluruh aliran darahku seperti tersengat listrik.

Segelas es teh dengan cepat ia siapkan untukku, pada tegukan pertama aku teringat di mana es teh yang lalu bahkan hanya sempat membasahi bibir saja. Sebuah bungkusan ia serahkan, ternyata isinya adalah kemeja flannel kotak-kotak milikku.

“ Aku memungutnya,” ujarnya.

Baju ini terlipat wangi bersih dan tersetrika. Mang Kardi mengatakan sebelumnya sangat kotor karena terinjak-injak. Ia mengenali kemeja yang sering ku kenakan. Menyelamatkannya setelah ada banyak orang menginjaknya.

“Terimakasih.” Ucapku sungguh-sungguh serius.

Langsung memakainya lantas teringat, merogoh saku kemeja, menyadari tak ada benda yang ku cari aku sempat berharap Mang Kardi menyimpannya.

“KTM-nya kau simpan Mang ?” Tanyaku penuh harap.

“ATM ?” Tanyanya mengulang.

“K-T-M, Kartu Tanda Mahasiswa,” kataku bermaksud menjelaskan.

Ia menggeleng. “ Tak ada apapun di situ,” ujarnya. Selanjutnya ia meneruskan kegiatannya menyiapkan dagangan. Menata semua nasi kucing yang terbungkus rapi.

“Eh iya Lang, kemarin ada yang datang mencarimu, seorang gadis.”

Aku terhenyak, apakah Runi, tapi untuk apa, bukankah hubungan kami benar- benar berakhir.

“ Gadis itu menanyakan apakah aku mengenal mahasiswa yang bernama ‘Ilalang Alambara’, dia berkali-kali ke Bulak Sumur tapi tidak bertemu.”

Mendengar ada yang mencariku, seorang gadis pula, anganku langsung melayang pada gadis itu, terlebih ciri-ciri gadis yang Mang Kardi gambarkan sama persis dengan gadis yang memotretku. Sudah pasti bukan Runi, karena Runi akan langsung bertanya tentang ‘Alang’ alih-alih menyebutku ‘Ilalang Alambara’.

Tapi jika benar, darimana dia tahu namaku?

***

 

Memberanikan diri mendatangi kampus, ingin mengetes apakah beberapa kawan akan mengenaliku sebagai orang dalam berita.

Menuju kansas (kantin sastra) dengan dada membusung, mengalihkan kekhawatiran berlebih yang menggerogoti jiwaku selama sepekan.

Mereka mulai melihatku, memperhatikanku. Beberapa berbisik, yang mengenalku tersenyum dan melambai. Aku mulai menajamkan pandangan, akankah teman-teman yang terangkut jeep adalah salah satu diantara mereka.

Ternyata benar, ada satu yang kukenali dan aktif berorganisasi seperti Bang Putra. Aku berusaha mendekatinya, namun seketika sebuah tangan mencegah langkahku. Menolehkan pandanganku pada pemilik tangan itu dan ternyata orang itu Bang Putra.

Ia menarikku menjauh dari teman-temannya. Sesaat aku seperti manusia yang kebingungan namun kuturuti kemauannya, dan di sinilah kami dekat dengan loker perpus di lantai dua gedung sastra. Aku sendiri tak mengerti mengapa tak bisa bicara dengan santai di kansas.

Hendak kutanyakan tentang keberadaannya seusai demo sepekan lalu, namun ia langsung memotong gerakan bibirku. Menginstruksikan tentang banyak hal, seperti harusnya kau tak  muncul tiba-tiba di kampus dan lain-lain.

 Ini membuatku heran. Mengapa Bang Putra mengatur diriku?

Yang lebih membuatku mual, Bang Putra langsung menanyakan tustel canon milik kawannya, tidak sedikitpun berbasa-basi mengenai kabar kemunculanku pada laman berita. Apakah ia tidak tahu ? bahkan aku terpaksa terusir karena hal itu.

Ku buka tas ransel segera dan mengeluarkan tustel itu,  menyerahkan pada Bang Putra yang seakan girang menerimanya. Hatiku mengatakan ada sesuatu yang salah, tetapi tak tahu apa yang salah.

“Sebaiknya kau ambil cuti satu semester Lang,” lagi-lagi ia seakan memerintah. Sedikit terkejut lantas menggelengkan kepalaku tanda tak setuju.

“Ada desas-desus tentangmu, hal itu tak baik untuk organisasi dan nama kampus.” Bang Putra melanjutkan alasannya.

“Aku tak ikut organisasi apapun,” ujarku menyela.

Mata Bang Putra melembut lalu mengatakan, “Ini demi kamu juga Lang, agar rumor mereda.”

Aku menunduk, memandang ujung sepatuku. Entah apa yang harus kukatakan pada Emak jika harus cuti satu semester. Sebenarnya aku ingin menolak, namun bertepatan dengan itu beberapa mahasiswi asing melewati kami. Mereka memandangku sambil berbisik. Lalu Bang Putra berkata kembali.

“Kamu sabar saja Lang, beberapa bulan lagi tak akan ada yang bergosip tentangmu, mereka pasti tidak akan mengenalimu lagi.” Ujarnya memberi masukan. Bukannya senang mendengar nasihat Bang Putra, aku malah bersungut dan mengatakan bahwa ini semua kesalahpahaman saja Bang.., memangnya siapa yang melibatkanku sehingga menjadi rumor tak sedap begini, namun sayangnya semua kukatakan di dalam hati saja, di hadapan Bang Putra , aku hanya tersenyum dan mengangguk.

Lagi-lagi aku terintimidasi olehnya, mengutuki diriku sendiri saat melihat punggung Bang Putra berlalu meninggalkanku begitu saja.

***

Mengambil beberapa barang di loker jurusan lalu berjalan di antara jembatan koridor yang menghubungkan dua bangunan tua peninggalan Hindia Belanda yang kini menjadi kampus sastra, sementara mataku memandang ke arah bawah tepat taman kodok berada, seakan tak percaya dengan pemandangan yang ku lihat, di sana, di taman kodok, Bang Putra dan Seruni berjalan bersisian serta berangkulan mesra. Aku tahu mereka saling mengenal, tetapi aku baru tahu mereka sedekat itu. Bersembunyi di balik tembok yang bertugas sebagai pilar, mengintip mereka dari kejauhan. Aku tidak cemburu, sama sekali tidak! Namun ada nyeri yang tak bisa aku ungkapkan tentang mereka.

Semula ku ingin mengurus berkas cuti pada ruang Tata Usaha, tapi ku urungkan niat itu ketika teringat KTM yang entah di mana hilangnya. Beberapa Dosen menghampiri dan menyalamiku dengan ramah. Tak ada satu pun dampak negatif yang membuat alasan aku harus cuti dari perkuliahan. Beberapa kawan mengobrol santai denganku, membagikan pengalaman mereka seusai demo kemarin. Mereka justru berkelakar, karena hanya aku yang mendapat perhatian media sehingga masuk televisi. Tertawa kecil dan menyimak cerita mereka, ku rasa Bang Putra terlalu berlebihan tak ada rumor buruk tentangku, apa tujuannya menakutiku, karena Serunikah?

 

Hal yang berlawanan dengan yang Bang Putra utarakan kembali terjadi, tiba-tiba tiga mahasiswi asing yang tadi berbisik memandangku, datang menghampiri, mereka ingin berfoto denganku, mereka hanya mengatakan menyukai parasku. Hal tersebut membuat geger kawan-kawan, beberapa bersuit dan lainnya bersorak kencang. Aku yang tersipu malu hanya bisa menyanggupi permintaan itu dengan sukarela.

***

Tags: romancefiksi

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags