Kesadaranku mencapai ambang batas, kakiku lemas tak dapat menopang tubuh yang kemudian lekas dirangkul Pranaja. Firasatku benar, doaku tak terkabulkan. Tak sanggup aku bertanya pada Kakung yang tengah berada di atas pohon enau. Mataku tak rabun untuk memeriksa sekeliling yang hanya memampang pepohonan dan belukar. Tak ada Jasrin, ia raib entah ke mana. Kucoba menenangkan pikiran dengan meyakini bahwa Jasrin cuma berkeliling sekitar sini, tetapi tak ayal praduga lain lebih menggerogoti.
"Kakung, di mana Jasrin?" seru Pranaja yang mendongak pada Kakung di atas pohon.
"Lah tadi di situ." Kakung menunjuk tempat kami berpijak. "Kenapa Renjana letoi seperti itu?"
"Terlambat, Kakung terlambat menolong Jasrin. Dia sudah hilang," kataku tercekat.
"Tak mungkin. Wong dia barusan di situ."
Kami mencarinya hingga antarala* rebah di malam kelam, yang tak membuahkan apa-apa. Kami pulang dengan perasaan yang dipendam masing-masing, Kakung tampak bersalah sekali dan tak memedulikan nasib niranya yang entah akan jadi gula Jawa atau tidak karena telat diolah.
Berhari-hari tak ada perkembangan, tak ada petunjuk barang sekecil biji kacang pun akan keberadaan dan keadaan Jasrin. Tak usah ditanya perasaanku. Setiap ibu merasakan hal yang sama ketika kehilangan anaknya. Hampir gila. Setiap hari menguras air mata yang kering. Dadaku sakit. Mataku berat untuk melek, tetapi aku mesti memikirkan cucian yang menggunung dan Pranaja yang membutuhkan makanan. Siapa lagi jika bukan aku yang mengerjakan? Aku tak mau kehadiranku di ujung timur Jawa ini membuat Mbah Sepi dan Kakung terbebani. Tapi cuma mereka harapanku untuk mengembalikan Jasrin atas seizin Sang Hyang Widhi.
Sepekan berlalu tanpa senyum terpatri di bibirku. Kakung sudah berupaya semampunya, bahkan meminta bantuan pada teman-temannya yang sekiranya juga memiliki ilmu spiritual tinggi. Jangankan yang tinggi, Kakung pun meminta saran dan bantuan pada kenalan yang baru memiliki ilmu dasar, barangkali mereka lebih tahu apa yang terjadi pada Jasrin. Namun, sepekan ini hasilnya nihil. Hanya pengutaraan yang membuatku kian patah arang.
"Aku tak mampu membawa Jasrin kembali, karena dia sudah terikat dengan orang di sana."
Aku rebah di dada Pranaja dengan kuyu. Lampu bohlam kekuningan di ruang tamu tak sepadan dengan hatiku yang mendung. Mbah Sepi yang biasanya banyak bicara, kini bergeming menatapku nanar.
"Apa kami harus kehilangan Jasrin untuk selamanya? Bagaimana menjelaskan pada pihak sekolah dan teman-temannya?" Pranaja mewakili pertanyaanku yang tak sanggup membuka mulut.
"Caranya kembali, ialah dengan cara yang sama sebagaimana Renjana dahulu. Dia mesti membuat orang yang punya ikatan dengannya merelakan ketiadaannya.
"Siapa orang itu?" Mbah Sepi menimpali, sementara Kakung mengedikkan bahu.
Amarahku hendak meledak, tetapi masih dapat kutahan sebelum menyadari ketiga anggota keluargaku memberi tatapan iba. Aku tak suka mereka tampak pasrah begitu, seakan-akan aku yang paling menderita dan mereka tak dapat membantu. Aku tak suka dianggap perempuan lemah.
"Kalau saja Kakung tak mengajak Jasrin, semua ini dapat dicegah!" Bara yang menggandrung dalam benak meletup.
"Jasrin sendiri yang mau ikut." Kakung tak mau disalahkan.
"Kalau Kakung dan Mbah Sepi tak mengizinkan, dia takkan pergi."
"Kau tahu sendiri Jasrin itu keras kepala. Ini sudah takdir, Renjana. Tak menutup kemungkinan ia bisa kembali," timpal Mbah Sepi.
"Jasrin pasti bisa kembali seperti kita dahulu." Pranaja ikut menenangkan, tetapi amarahku tak kunjung mereda.
Aku dapat melupakan kenahasan itu ketika benar-benar lelah dan mataku sungguh berat. Aku tertidur meski matahari masih merangkak menuju ufuk barat.
🌼
Satu warsa berlalu tanpa isyarat Jasrin akan kembali. Ia bak ditelan bumi. Raib tanpa pamit. Lenyap tanpa keterangan. Aku menjalani hari dengan terpuruk, tak peduli tubuhku tak terurus.
"Makan, Renjana. Tak ada gunanya meratapi nasib. Makan atau tidak, keadaan tetap seperti ini." Pranaja masih memegang sendok berisi nasi dan ikan tongkol di depan mulutku. "Aku sudah kehilangan Jasrin, aku tak mau kehilanganmu juga."
"Maksudmu, kau merelakan Jasrin begitu saja?!"
"Bukan begitu. Hanya saja ... mau bagaimana lagi? Aku tak bisa apa-apa selain pasrah."
"Bilang saja tak mau berusaha." Kemudian aku insaf, telah memancing amarah dari lelaki yang jarang naik darah.
"Jadi kau pikir begitu? Selama ini aku sabar menghadapimu, Jana. Setiap waktu aku berdoa supaya anak kita kembali dengan selamat. Apa harus berkoar bahwa aku juga sama sedihnya sepertimu? Ini takkan terjadi jika dari awal keluargamu tak menganut ilmu perdukunan."
"Astaga kau menyalahkan Kakung? Kaubilang dukun?! Kau cuma tak paham, Kangmas Pran! Ilmu itu turun-temurun dan Kakung tak bisa mengelak. Selama ini dia menggunakannya untuk membantu orang. Apa buktinya Kakung seorang dukun yang sarat akan ilmu hitam?"
"Ya, aku tak paham! Terus saja anggap diriku bodoh! Kakung bisa saja melenyapkan ilmu sesat itu dengan membuang segala jimatnya, termasuk kalung yang kaupakai itu."
"Rupanya tak ingat dulu pernah kutolong saat kau tiba di Majapahit. Tak ingat kau mengemis bantuan padaku dan Arya untuk membuatkanmu rumah? Jika aku tak ada, bisa saja kau tak selamat dari zaman itu, apalagi kau pernah melukai kuda Mahapatih Gajah Mada." Aku tak pernah mau kalah dalam perdebatan meski dengan suamiku sendiri. Keteguhanku tak pandang bulu. Aku tak peduli jika tindakanku dianggap durhaka pada suami. Dan aku tahu, sifat keras kepala ini menurun pada Jasrin. Mendapati Pranaja bergeming, aku semakin gencar memojokkannya biar tahu rasa dan sadar bahwa penilaiannya terhadap Kakung tak ada benarnya. "Jika ini kesalahan Kakung, kenapa dulu kau ikut kesasar di Majapahit? Kita belum mengenal, mana mungkin Kakung sengaja membuatmu terlempar ke sana sementara ia tak tahu kau ini siapa."
"Kau tak pernah berubah, Renjana. Menyebalkan memang, tapi aku senang melihatmu tak lagi diam terpuruk di pojok kamar." Tak kusangka ia malah tersenyum dan mendekapku, padahal aku sudah merangkai kalimat lagi jika ia hendak melanjutkan sawala. "Saat ini kita hanya perlu berdoa dan menyerahkan semuanya pada Sang Kuasa."
Hatiku lebih plong. Kubalas rengkuhannya dan kesejukan menjalar di kepala yang tadinya mengepul, sementara kehangatan merebak pada kalbu yang mulanya penuh kegelisahan. Meski kekanakan, Pranaja tak pernah benar-benar murka padaku untuk waktu yang lama. Itulah yang membuatku mencintainya meski kadang terbayang sosok lain. Arya Buntara.
Semakin tak mudah mengembalikan Jasrin yang lenyap ke lain zaman, sebab Jasrin semakin terikat oleh anak yang dikandungnya dari benih seorang Tuan Belanda.
~Wiyata Saujana~
_______
*Antarala : Angkasa.