Mayapada telah menampilkan betapa gemerlapnya ribuan kartika tanpa kehadiran rembulan yang biasanya berseri-seri. Arya melangkahkan kakinya di sepanjang lorong menuju ruang pribadi Bhre Wirabhumi yang tengah menulis surat di atas lontar ketika ia masuk.
"Masuklah, Paman. Aku sedang membalas surat dari Yunda." Ia menggulung suratnya. "Paman, tolong berikan ini pada Gagak Sitra. Katakan padanya, surat itu untuk Yunda Kusumawardhani."
"Sendika dhawuh, Gusti."
Arya celangak-celinguk mencari keberadaan Gagak Sitra selaku pengantar pesan Wirabhumi. Beberapa kali ia bertanya pada punggawa yang berpapasan dengannya. Beberapa kali pula ia mendapat pujian dari punggawa-punggawa itu karena kabar telah beredar bahwa kemungkinan anglukis Arya akan menjadi sosok penentu kemenangan Kedaton Timur, entah kabar dari mana itu. Padahal Arya belum berkata apa-apa terhadap Bhre Wirabhumi perihal masa depan Wilwatikta.
Setelah menjumpai sosok Gagak Sitra yang rupanya masih sangat muda, ia menyerahkan segulung surat serta mandat untuk siapa surat itu diagihkan.
"Akan kuantarkan segera, Paman Arya. Omong-omong, aku sudah berulang-kali mengunjungi Kedaton Barat dan mendapati beberapa lukisan Paman dipajang di dalam istana. Bahkan kenalanku di sana terang-terangan mengagumi kecantikan perempuan yang memegang sepiring buah di lukisan Paman."
"Syukurlah lukisanku mendapat penghargaan. Perempuan yang kau maksud itu suwargi istriku."
Arya jadi terbayang, bagaimana reaksi Renjana saat mendapati lukisan dirinya ikut pergi ke masa depan. Arya sengaja menduplikat lukisan itu dengan ilmu yang dia punya, menjadikan lukisan yang Renjana bawa antara ada dan tiada. Hanya orang-orang berkemampuan khusus yang dapat melihat atau memegang. Dan ia tahu lelaki yang bernama Pranaja itu salah satunya. Sementara lukisan asli, ia sengaja mengirimkannya ke istana sebab tak mau kerinduan terus melanda akibat melihat lukisan itu di rumah.
🌼
Selepas mengirim surat pada Gagak Sitra, Arya mendapati Mahapatih Reksa Bayan turut hadir di dalam ruangan Bhre Wirabhumi. Sang junjungan tak lagi duduk di dampar kencana, tetapi bersila di lantai bersama mahapatih bertubuh gempal di seberangnya, yang sesekali menyeruput minuman dari cawan yang ada di atas meja kecil di hadapan mereka. Cawan untuk anglukis yang bakal menjadi prajurit itu rupanya juga telah cawis.
"Arya Buntara ... tak sabar aku mendengar pendapatmu." Baru saja mendudukkan pantatnya, Arya sudah disembur dengan nada akrab oleh Mahapatih Reksa Bayan yang hanya ia balas dengan senyum berseri menampakkan jajaran gigi rapi.
"Apakah Gusti dan Mahapatih percaya jika suwargi istri hamba dulunya adalah peramal?" Arya mengutarakan dengan tatapan serius tapi masih menyunggingkan senyuman. Ia antusias mendapati Bhre Wirabhumi yang ditunggu-tunggu akhirnya mau mendengarkannya, ditambah telinga Mahapatih Reksa Bayan yang mengetahui bahwa ada rahasia besar yang tengah disimpan anglukis itu kemudian memberikan kepercayaannya.
"Aku selalu percaya apa yang dikatakan Paman," sahut Bhre Wirabhumi. Sang Mahapatih mengangguk di seberang meja.
"Dia bilang, bakal pecah Perang Paregreg antara Kedaton Barat dan Timur. Perlu hamba sampaikan karena dalam ramalan itu, Prabu Wikramawardhana-lah yang menang. Hamba mengungkap itu karena tak mau Gusti Wirabhumi tewas. Bumi Blambangan telah makmur berkat Gusti. Kami semua tahu Gusti yang lebih layak memangku takhta kadatwan agung, tetapi Gusti Wirabhumi terlalu murah hati untuk berperang. Ada kalanya Gusti menahan serangan sebab menghormati anggota Kedaton Barat yang mangkat. Kelonggaran itu bakal dimanfaatkan kubu Prabu Wikramawardhana untuk menggempur Kedaton Timur."
"Aku terkejut, Paman. Jika benar aku yang akan tewas, aku rela mati sebagai kesatria daripada harus terang-terangan mewartakan tunduk di bawah kaki Kakang Wikramawardhana."
"Keteguhan Gusti tak dapat hamba tampik. Namun, alangkah baiknya jika Gusti tak ikut turun lapangan."
Mahapatih Reksa Bayan menimpali, "Benar, Gusti. Serahkan siasat perang pada hamba dan panglima lain."
"Jika Kakang Wikramawardhana duduk anteng di singgasana sementara prajuritnya pusing menyusun strategi, aku sendiri yang akan memimpin pasukanku dan menunjukkan pada rakyat bahwa pemimpin mereka benar-benar seorang kesatria yang tak takut akan kematian."
"Jika begitu, saat ada kabar kemangkatan salah satu anggota keluarga Kedaton Barat, Gusti tak usah memberi gencatan senjata. Kala itu mereka amat terdesak dan hampir kalah oleh Kedaton Timur. Jika Gusti memberi kebebasan terhadap Kedaton Barat, mereka akan punya waktu untuk menyusun taktik baru sampai Gusti terguling."
"Kau hendak mengubah takdir yang telah digariskan?" selidik Mahapatih Reksa Bayan.
"Ya. Jika bisa. Sebab, kelak Majapahit akan runtuh akibat pemangku takhta yang tak cukup bijaksana. Wilwatikta perlu pemimpin kesatria sejati seperti Gusti Wirabhumi."
"Kuterima saranmu, Paman Arya. Akan kupertimbangkan baik-baik bersama Paman Reksa Bayan. Perang sebentar lagi diwartakan, aku akan membuktikan kebenarannya."
Jika banyak kalangan yang memandang Bhre Wirabhumi biang keladi perang saudara tersebut, maka kalangan itu hanya berpandangan secara subjektif, tak mau membuka pikirannya lebih luas dan memosisikan dirinya jika menjadi Bhre Wirabhumi. Arya tahu alasan Bhre Wirabhumi tak mau tunduk sepenuhnya pada kakak iparnya di Kedaton Barat. Sebab Arya merasakan sendiri gejolak mewartakan jati dirinya sebagai keturunan bangsawan. Jika ia tetap berdiam diri di pelosok Bagorejo, namanya takkan diketahui banyak khalayak seperti saat ini sebagai cicip moning Ki Lepen. Begitu pula Bhre Wirabhumi yang menuntut haknya sebagai darah daging Maharaja Hayam Wuruk, merasa lebih berhak mendapat takhta daripada kakak iparnya. Jikalau yang memegang takhta ialah Kusumawardhani, Wirabhumi takkan mempermasalahkannya sama sekali. Namun, kakaknya itu malah menyerahkan kekuasaan pada sang suami yang semakin menuntut Wirabhumi menyatakan tunduk secara gamblang, seolah-olah Bhra Hyang Wisesa Aji Wikrama itu takut takhtanya bakal direbut Aji Rajanatha sang Bhre Wirabhumi. Padahal jika Wirabhumi tak didesak oleh Wikramawardhana, ia akan berdiam di keraton timurnya tanpa berniat melakukan makar. Nyatanya kakak iparnya itu terlanjur membuatnya kesal setengah mati, apalagi sang ayahanda telah diracuni dengan kalimat bahwa Wirabhumi banyak tingkah. Sebab itulah Hayam Wuruk sering sakit-sakitan karena memikirkan perseteruan kedua putranya sebelum ia mangkat, dan akhirnya menyebabkan bulatnya keputusan Bhre Wirabhumi untuk memutus perdamaian dengan sang kakak ipar.
🌼
Gelaran perang yang disiasatkan Mahapatih Reksa Bayan cukup menandingi keunggulan Kedaton Barat yang digadang-gadang. Kekuatan seimbang, rakyat menyerukan kemenangan yang bakal diperoleh kubu Wirabhumi yang kedermawanannya mampu mendapat hati rakyat dalam waktu singkat. Di belakang Mahapatih, Arya menunggangi kudanya dengan separuh rambut digelung khas Kedaton Timur, sedikit tak percaya dirinya bisa terjun ke lapangan perang dengan usia yang tak dapat ditampik dengan rambut yang mulai memutih.
Akan ditunjukkannya kebolehan menjadi kesatria pada para leluhur, menegaskan bahwa ia tak sebejat bapanya. Sekelebat bayangan sang biyung melintas di depan mata sebelum mengerjap. Arya sadar, dirinya terlalu berambisi menyelamatkan Bumi Blambangan dan Bhre Wirabhumi sampai lupa kembali untuk menemui biyungnya di Wanua Bagorejo. Lebih dari dua puluh warsa ia tak pulang, benar kata Biyung bahwa Arya bakal lupa padanya.
Entah bagaimana kabar biyungnya itu, tetapi Arya bertekad jika ia masih bernyawa setelah Perang Paregreg usai, maka ia akan kembali ke kampung halamannya dan menemui Biyung. Jika masih ada. Penyesalan lagi-lagi menyambangi kalbunya, tetapi sanubari telah keras semenjak ditinggal pujaan hati ke lain zaman. Tak dibiarkannya pusat pemikiran terbelah. Akan ia ubah takdir supaya Majapahit tak jatuh ke tangan yang salah.
Langit menghitam, sekiranya sebentar lagi memerah akibat merefleksikan darah yang bakal tercecer di tanah Wilwatikta. Meski mendung, hawa terasa panas mencekam di atas kulit Arya yang merinding. Dikuatkannya pegangan pada kekang kuda dan perisai bundarnya.