Hari-hari cepat berganti. Rutinitasku adalah belajar membatik bersama Mbah Sepi. Niatan menjadi pembatik timbul setelah sadar bahwa aku keturunan pembatik serta mengetahui motif-motif batik dari Majapahit yang belum diketahui masyarakat umum. Karena aku belum mahir membatik langsung di atas kain, aku menggambar sulur-sulur Majapahit itu di buku sketsa terlebih dahulu.
Ingatanku tentang kehidupan di Majapahit masih agak buram. Jika Kakung tidak bilang aku bertukar sukma, aku takkan percaya bahwa aku pernah singgah di Majapahit dan menjadi istri dari lelaki sakti bernama Arya Buntara, serta aku akan menganggap ini semua mimpi belaka. Namun, ini semua adalah nyata, mengetahui sebuah gelang berukir naga melingkar di pergelangan tanganku. Perasaanku campur aduk antara kesedihan dengan kemarahan tiap menatap gelang ini. Aku pun merasa ada suatu benda lain yang hilang dari peganganku, tetapi aku tak ingat apa itu. Sekuat tenaga menguliknya dari memori, kepalaku malah pening sampai harus minum obat pereda sakit kepala.
Aku kehilangan Pranaja. Kabarnya hanya kutahu lewat radio saat aku baru kembali ke ragaku. Dia mengalami nasib yang sama denganku, yakni menjelajah waktu. Hanya saja, ia pergi membawa raganya. Aku tidak ingat bagaimana terakhir kami bersama dan bagaimana sekarang kami saling kehilangan kabar.
"Jana, kemari."
Aku segera menuruti panggilan Kakung di ruang makan yang penuh lukisan antik bermacam tema. "Ada apa, Kung?"
"Ibumu tadi menelepon, katanya besok kamu dijemput Dika di terminal," ucapnya.
Mas Dika adalah kakak sepupuku, anak dari pakdeku. Aku bertimpuh di depan Kakung, ikut makan getuk seraya mengamati bayangan besar kami dari sinar lampu minyak.
"Padahal aku telanjur nyaman tinggal di sini," kataku.
"Kamu ditawari kerja di butik Bude, mau?"
"Tapi aku masih ingin belajar membatik, Kung."
Mendapat tatapan bertanya Kakung, aku pun melanjutkan, "Syukur aku mendapat tawaran itu, tapi aku masih ingin di sini membuat motif batik dari Majapahit yang belum diketahui orang-orang."
Kakung mengangguk, tampak mempertimbangkan baiknya aku di sini atau pulang. Tak lama kemudian, Mbah Sepi muncul dari dapur membawa semangkuk mie ayam. "Tumben si Ngaisah membelikanmu jajan. Dia kan pelitnya minta ampun." Aku menerima mangkuk berisi mie ayam yang uapnya masih mengepul, menguarkan aroma yang membuat cacing di perutku bersorak.
"Memangnya Mbok Ngaisah tadi ke mana?" tanyaku.
"Ke pasar dong. Beli mesin cuci. Kan baru saja dapat uang PKH," sahut Mbah Sepi dengan nada tidak senang. Aku tak terkejut dengan nenek-nenek julid macam dirinya itu.
🌼
Kakung tak punya hak menahanku lebih lama di rumahnya meski aku bersikeras membuat batik Majapahit terlebih dahulu. Ayah dan ibuku itu tipe orang yang egois maka tak ada gunanya Kakung berdebat dengan mereka. Jalan keluarnya, aku memberikan sketsa motif sulur-sulur dan geometri Majapahit pada Mbah Sepi supaya ia dapat mengaplikasikannya di kain menggunakan canting dan malamnya.
Bus hampir penuh, hanya ada dua kursi yang kosong sebelum aku dan Mas Dika mendudukinya. Bus mulai melaju, aku memandang ke luar jendela sambil berdada-ria dengan kakek-nenekku yang mengantar sampai terminal hingga mereka tidak tampak lagi dari penglihatan.
Pemuda yang duduk di depanku bersin dengan suara yang begitu familier. Kutunggu ia kembali bersuara, tetapi hanya deru mesin bus dan kendaraan lain yang kudengar. Aku dilema antara memanggilnya atau membiarkan rasa penasaran dan kejanggalanku terkubur. Karena aku perlu memuaskan rasa kemelitan, kutingkatkan kepercayaan diri dengan menepuk bahunya.
Aku sempat ragu dan malu salah orang, karena sebagian wajahnya tertutup masker hitam ketika ia berbalik menghadapku. Namun, aku masih ingat pemilik mata sipit itu. "Boleh saya tahu siapa nama Anda?"
Pemuda itu sempat menaikkan alis, kemudian menjawab dengan datar, "Pranaja."
Aku berusaha menormalkan mataku yang berkaca-kaca meskipun sedikit sebal mendapatinya yang sok cool. Dunia sesempit ini hingga kami dipertemukan kembali dalam waktu yang singkat. Namun, aku masih ragu apakah ia Pranaja Reswara atau Pranaja yang lain. "Pranaja Reswara?"
Pemuda itu memicingkan matanya curiga sembari mengangguk pelan.
"Anda kenal dengan Renjana Maheswari?" tanyaku.
Pranaja membelalakkan matanya kemudian berseru heboh, "Kau Renjana?" hingga menarik perhatian beberapa penumpang termasuk Mas Dika.
Aku mengangguk, dan ia mengguncang tubuhku berlebihan. "Kau sejelek ini?!"
Senyumku sirna, kulayangkan jeweran di telinganya. Aksi kami terhenti oleh Mas Dika yang berdeham sembari menatapku tajam. Lelaki bongsor itu seolah-olah telepati denganku, Jangan buat malu! Aku cengengesan sendiri sebelum pandangan Mas Dika dan Pranaja berserobok.
"Kalian kenalan dong!" celetukku.
"Pranaja, jodohnya Jana." Pranaja memperkenalkan dirinya dengan kalimat yang membuat tatapan menusuk Mas Dika beralih kepada pemuda berambut sebahu itu. Uluran tangan Pranaja tidak disambut oleh Mas Dika yang mengalihkan pandangan kepada ponselnya, membuatku dan Pranaja mati kutu sebelum pengikutku sejak zaman Majapahit itu kembali duduk tenang menghadap depan di kursinya.
"Kenalanmu senorak itu?" celetuk Mas Dika pelan. Aku membalasnya dengan tatapan tak terima.
"Biarpun norak, dia tidak sok jaim seperti kamu!" balasku penuh penekanan kemudian membuka aplikasi kontak. Aku menyodorkan ponsel kepada Pranaja supaya ia mengetik nomornya.
Aku masih enggan menatap Mas Dika, lebih memilih menatap perkotaan dari balik jendela. Toko-toko besar berjajar disusul rumah-rumah bertingkat yang menjulang di pinggir jalan penuh polusi.
Uluran tangan Mas Dika yang memegang bulatan Kinder Joy meruntuhkan bentengku. Aku merebutnya tanpa mengucapkan terima kasih karena gengsi. Kubuka bagian satunya, mendapatkan mainan kompas berwujud kura-kura sebelum aku membuka belahan satunya lagi yang berisi cokelat.
Aku diserang rasa bersalah ketika turun di halte dan mengetahui Pranaja juga turun tanpa memandang jenaka ke arahku lagi. Aku duduk di jok motor belakang dengan pikiran yang tak kunjung berhenti tertuju pada Pranaja dan kesan buruk yang diberikan Mas Dika. Kakak sepupuku itu terus mengajakku berbincang dan menyuruhku berpegangan padanya, tetapi aku pura-pura tak mendengar.
Sambutan hangat dari Ayah dan Ibu sanggup membuatku melupakan interaksi tak mengenakkan di bus tadi. Mereka berdua memelukku haru dan ibuku berulang kali meminta maaf atas ambisinya selama ini yang memaksaku untuk menjadi sempurna. Aku pun meminta maaf padanya karena telah menjadi anak durhaka.
Kamarku telah direnovasi. Temboknya kini berwarna biru dan dua buah rak kayu berisi novel-novel tebal membuatku langsung jatuh hati pada ruangan itu. Hanya saja, aku tidak suka gaya kamar yang modern dan minimalis karena aku lebih suka dan terbiasa dengan ruangan klasik.
Aku berbaring di kasur yang mampu membuatku tenggelam, amat berbeda dengan kasur kapuk yang ada di rumah Kakung. Aku menghubungi Pranaja dengan pesan singkat yang terus berkelanjutan hingga beralih ke sambungan telepon. Katanya, besok kalau Mas Dika tidak menginap di rumahku lagi, ia akan menjemputku dan kami akan pergi ke suatu tempat.
"Jana, sudah tidur?" seruan Ibu mengalihkan atensiku. Aku pun mengakhiri pembicaraanku dengan Pranaja.
Tanpa menyahut, kulangkahkan kaki menuju lantai bawah hingga tiba di meja makan yang telah tersaji opor ayam dan tumis kangkung.
"Jana, kamu benar Renjana, kan?" tanya Ayah.
"Aku benaran anak kalian kok."
"Om, Tante, siap-siap punya menantu," celetuk Mas Dika mengawur.
"Oh ya? Siapa?" jawab Ibu antusias, sedangkan Ayah menatapku datar.
"Tadi ketemu di bus. Penampilannya kayak berandal gak keramas dua minggu. Namanya Pr–" Aku menghentikan ocehan Mas Dika dengan menyiram wajahnya dengan air mineral dari gelasku. Ia mengumpat pelan sambil melayangkan tatapan musuh kepadaku.
Paginya, aku dibangunkan oleh suara jail Ayah dan Ibu yang penasaran dengan sosok pemuda jangkung yang datang sepagi ini meminta izin pada mereka untuk membawaku jalan-jalan.
"Itu Pranaja, kawan lamaku." Jawabanku tidak sanggup membungkam olok-olok mereka. Mendadak, ibu dan ayahku yang tegas berubah menjadi tengil.
Aku menengok jam dinding, masih pukul setengah enam. Aku menggerutui Pranaja yang tak bilang mau datang sepagi ini sembari berjalan menuju kamar mandi. Kuguyur lekas-lekas tubuh dengan air dingin yang menusuk kulit, kemudian mematutkan diri ala kadarnya di depan cermin sebelum berlalu menaiki mobil Pranaja dan meninggalkan senyuman menggoda dari orang tuaku.
"Mas Dika itu siapanya kamu?" tanya Pranaja.
"Sepupuku. Maaf bila kemarin sikapnya menyebalkan," jawabku.
"Tidak apa. Dia pulang kapan?"
"Entahlah, mungkin tadi malam sewaktu aku tidur."
Pranaja menghentikan mobilnya di tempat parkir Gapura Bajang Ratu.
"Tempat ini mungkin gak asyik buatmu. Aku cuma kangen dengan Majapahit. Ah, aku jadi merasa kuno."
"Kalau kamu kuno, bagaimana denganku yang tinggal di Majapahit lebih lama dari kamu?"
Pemuda berkemeja kotak-kotak hitam itu menyeretku ke hadapan gapura yang menjulang dengan megah tanpa kuatir kemegahannya digerus usia ratusan tahun. Ada Dewa Kala yang menjaga bangunan itu supaya tak lekang oleh waktu. Namun, ada suatu hal yang membuatku miris, yakni vandalisme dari pihak tak bertanggung jawab terhadap bata gapura, mencoretnya hingga bagian tembok atas tanpa merasa berdosa meski telah dipasang papan yang bertuliskan larangan naik ke gapura.
“Orang yang melakukan vandalisme pasti tak tahu betapa sulitnya membuat candi.” Aku geleng-geleng kepala tak habis pikir.
“Mereka juga tidak mengerti caranya menghormati leluhur. Omong-omong, aku penasaran gimana orang zaman dulu membuat candi sebesar ini tanpa besi dan semen?” Pranaja mendongak untuk mengamati pahatan Batara Kala yang diapit naga.
“Entahlah, mungkin ditempel dengan sedikit air dan diasah sampai lengket*.”
“Aku baru tahu di gapura ini ada reliefnya.”
Pandanganku mengikuti arah pandangnya.
“Itu relief Sri Tanjung.”
“Yang menjadi cikal bakal Banyuwangi itu ya?”
Aku mengangguk.
“Waktu di Majapahit, aku belum sempat melihat bagaimana wujud gapura ini. Aku hanya melewati gapura depan Waringin Lawang saat aku ikut menari di keraton.” Aku menggandeng tangan Pranaja untuk beralih menuju Pendopo Agung Trowulan dan mengamati relief penobatan Dyah Wijaya, juga Sumpah Amukti Palapa. Kami lanjut melangkah ke dalam, menuju Surya Majapahit dan umpak atau pasak bumi yang dulunya digunakan untuk tempat mengikat gajah tunggangan Gajah Mada.
"Na, aku mau bilang sesuatu."
Sekonyong-konyong jantungku berdegup kencang. Otakku dengan cepat berimajinasi tentang apa yang akan diutarakan oleh Pranaja. Kepalaku semakin berdenyut, apalagi kudapati jakun Pranaja naik turun seperti sedang gugup.
Pipiku memanas bukan karena malu, melainkan geram dengan ucapan Pranaja yang berhasil menjatuhkanku yang sedang melayang dalam angan-angan. "Ada ulat di kepalamu."
_______
*Pembuatan candi ialah dengan cara perekatan bata merah (diasah sampai lengket). Kalau buat relief, biasanya akan ada seniman yang melukis di batu candi dengan arang, kemudian diberi upah. Seniman pemahat datang untuk melanjutkan garapan itu. Selanjutnya, pahatan dihaluskan dengan tumbuhan kasar karena belum ada ampelas waktu itu.