(Cerita Masa Lalu)
Mataku tak bisa terpejam barang sejenak meski waktu telah mencapai sepertiga malam. Aku masih terbayang-bayang cerita yang diutarakan Biyung Mitha tentang bapaku yang begitu mengabdi pada Majapahit sampai rela mati membelanya. Tak ada satu pun kenang-kenangan darinya karena benda yang bersangkutan sudah dibakar bersama jasadnya. Pastilah Emak tak mau terpuruk dengan segala kenangan yang ditinggalkan suaminya.
"Kara sebenarnya tidak gugur karena Perang Bubat, melainkan dibunuh oleh bawahannya sendiri yang dengki dengan pencapaiannya," kata Biyung.
Kala itu siang hari, kami berdua berbincang di teras rumah sambil menganyam daun pandan hingga berbentuk tikar.
"Ketika masih belia, aku adalah tarimba di keraton. Kara adalah cinta pertamaku, begitu pun sebaliknya. Namun, pada akhirnya kami berjarak karena aku diperkosa Wiluya hingga aku mengandung jabang bayi Arya."
Tak dapat kubayangkan bagaimana perasaan Biyung saat itu.
"Kara amat kecewa ketika aku dipaksa untuk menikah dengan Wiluya. Tak lama kemudian Kara menikahi sahabatku sekaligus Emakmu itu, Lastri. Persahabatanku dengannya kandas, apalagi cinta Kara kepadaku. Aku sungguh tertekan menjadi istri Wiluya. Terlebih lagi ia meninggalkanku dan Arya demi istri mudanya. Dasar bajingan."
Aku tak mendapati bahwa ia bersedih hati. Matanya tetap tajam, menunjukkan bahwa ia perempuan yang tegar.
"Dia meninggalkan kami ketika Arya masih berusia empat belas. Aku semakin menggila saat semua uangku raib dan Arya secara tak sengaja menembak kerbau milik petani. Maka dari itu, sebelum kau datang di kehidupanku, aku sering kali berlaku kasar kepadanya."
Ucapan Biyung masih terekam jelas di dalam memoriku. Aku masih tak percaya kalau Bapa dan ibu mertuaku pernah saling mencintai. Aku masih tercenung dengan sifat bajingan seorang Wiluya. Ia menelantarkan Biyung setelah menghancurkan hubungannya dengan Bapa. Untungnya sifat itu tak menurun kepada putra kandungnya.
🌼
Anjing menyalak satu sama lain, menyulutkan api perkelahian untuk menunjukkan siapa yang lebih jantan. Tidurku terganggu, bahkan jago berkokok sebelum waktunya karena mendengar kegaduhan itu. Aku berusaha melanjutkan tidur dengan mulut mengerucut sebal. Beberapa waktu berselang, gonggongan itu menjauh dan aku bisa terlelap yang pada akhirnya membuatku terlena dengan alam bawah sadar hingga matahari beranjak makin tinggi.
Setelah cuci muka dan menggelung rambut, aku tergopoh-gopoh mencari Biyung di setiap sudut ruang, tetapi nihil. Aku pun keluar rumah dan mendapatinya sedang bersenda gurau dengan tetangga.
"Eh Viva sudah bangun. Suara kami mengganggumu ya?" celetuk Mbok Siem, wanita paruh baya dengan tubuh mungil dan rambut sepanjang lutut bila digerai.
"Ah tidak kok, Mbok," jawabku kemudian menghampiri mereka.
"Anak cantik, kenapa jarang keluar?" Kali ini Yu Arumi yang menyeletuk dengan suara halusnya sembari menumbuk padi. Aku menjawabnya dengan tersenyum kikuk.
"Dia ini pemalu," ucap Biyung kemudian terkekeh. Semua wanita yang menumbuk padi itu ikut terkikik geli sampai-sampai perbincangan mereka melenceng, menggodaku dengan mengutarakan khayalan mereka tentang malam pertamaku yang malu-malu dengan Arya. Semenjak aku bertamu satu rumah ke rumah tetangga lain, mereka tidak lagi nyinyir padaku, malah bersikap seolah-olah sudah kenal lama.
"Sudahlah, nanti pipinya tambah merah. Viva, mari bantu aku mengayak," ucap Yu Nirmala sambil menyerahkan tampah berisi beras gabah untuk diayak.
Senyuman Yu Nirmala sungguh manis dan adem dipandang. Usianya sudah kepala dua, tapi belum kunjung menikah. Bukannya tidak laku, hanya saja belum ada lelaki yang membuatnya tertarik. Kebanyakan lelaki memandang rendah perempuan dengan menuntut untuk selalu mematuhi perkataan mereka. Yu Nirmala bukan penganut ilmu itu. Ia sangat mengistimewakan perempuan. Ia tak setuju pekerjaan yang lazim ditanggung perempuan selain kacaka (penari profesional) dan tarimba (penari tarian khusus) hanyalah budak maupun pekerjaan rumah tangga. Pujangga, anglukis, hingga abanol (pelawak) bisa dilakoni perempuan. Namun, ia tak mampu mengubah stigma perempuan yang berada di bawah lelaki karena ia hanyalah rakyat jelata yang tak luas pergaulannya. Aku curiga, tokoh perempuan yang memajukan kaumnya di masa mendatang ialah keturunan Yu Nirmala, atau bahkan reinkarnasinya atas keinginan yang belum terwujud pada zaman ini.
Ia tak mengacuhkan segala sumpah serapah dari para lelaki yang melamarnya dan mendapat penolakan. Serta ia menulikan telinga tiap ada yang mengatainya perawan tua.
"Yu Viva tidak ada niatan gendong bayi?" Lakshita, adik perempuan Yu Nirmala bertanya.
"Hus! Kamu jangan bertanya seperti itu!" tegur Yu Nirmala. "Yu Viva pasti bakal gendong bayi lucu setelah Kang Arya kembali," lanjutnya dengan tatapan menggoda, membuatku tersipu.
Suara alu yang bertubrukan dengan lesung menghiasi pelataran rumah.
"Aku sempat heran dengan Arya yang suka kabur saat kena marah Yu Mitha," ucap Yu Nirmala. Ia menyibak padi di dalam tampah, mencari yang gabuk atau yang masih ditempeli merang sebelum kemudian dipatuk ayam yang sedari tadi menunggu di bawah kaki.
Aku mengernyit, hendak berkata tetapi Yu Nirmala segera melanjutkan, "Padahal dari dulu ia menurut saja meski telinganya merah akibat mendengar ocehan Yu Mitha. Eh ternyata kaburnya ke kamu ta. Pantas saja dia setiap hari pergi dan mengesampingkan pekerjaannya."
"Ah Mbakyu! Nanti kalau Yu Viva jadi kangen sama Kakang Arya bagaimana?" protes Lakshita. Gadis kecil itu menepuk lengan kakaknya.
"Oh iya, maaf sudah mengungkit-ungkit Kang Arya," Yu Nirmala menggaruk tengkuknya.
"Tidak apa, selama ada Yu Nirmala dan masyarakat yang ramah, aku tidak akan berlarut-larut memikirkannya."