Kicauan perkutut menemaniku yang tengah bersantai menikmati hawa sejuk di pelataran. Gemercik air dari talang yang jatuh ke kolam ikan tak membiarkan suasana hanyut dalam hening yang ngelangut.
Sembari memejamkan mata, kuhirup dalam-dalam udara bersih yang membuat rongga hidungku dingin. Ketenangan yang kudambakan telah terwujud berkat takdir yang menempatkan jiwaku ke dalam raga perempuan bernama Nayaviva Citrakara.
Ketenangan itu berubah menjadi kerinduan terhadap Mak Lastri. Bagaimana keadaannya saat tidak bersamaku? Semoga ia baik-baik saja. Sedang apakah ia sekarang?
Wajah Arya sekonyong-konyong muncul di depan wajahku ketika membuka mata, membuatku refleks memukul kepalanya.
"Ah maaf! Aku tidak sengaja," ucapku panik seraya mengelus-elus kepalanya yang tadi kupukuli.
Arya terkekeh dan mencekal tanganku yang berada di kepalanya, mengalihkannya ke dada sebelah kirinya.
"Apakah kau juga merasa seperti ini?" tanyanya. Dapat kurasakan detak jantungnya yang cepat, seritmis dengan detak jantungku.
Wajahku memanas, segera kualihkan pandangan dan menarik tanganku. "Tentu saja! Kita kan sehati."
Gelaknya lepas setelah aku mengucapkan kalimat itu dengan buru-buru. Biyung yang mendekat membuat Arya menegakkan badannya.
"Cepat bekerja, Arya!" perintah Biyung tegas. Arya mengangguk lalu memelukku sebelum ia benar-benar hilang di balik dinding samping rumah.
Aku tak mau bertanya apa pekerjaan tetap dari suamiku itu. Aku malu kalau Biyung tahu bahwa aku tak becus memahami kehidupan Arya. Perlahan juga pasti aku mengerti semua tentangnya.
Biyung menepuk pundakku, membuatku mengerjap cepat. Ia tersenyum tipis kemudian berkata, "Aku mempunyai rahasia, yang mungkin akan membantumu."
Aku menaikkan kedua alis. "Rahasia apa?"
"Mempercantik diri. Dengan begitu, Arya akan semakin mencintaimu."
Aku terbengong sesaat, mencerna kata-kata Biyung barusan.
"Apakah sulit?" Aku mulai tergiur. Namun, aku menyadari bahwa mungkin rahasia mempercantik diri itu yang menyebabkan jiwa Biyung terganggu. Lagi pula, jika betul manjur, kenapa ia ditinggal suaminya?
"Cukup mudah, kau hanya perlu mandi bunga sembari mengucapkan mantra. Kalau kau mau, aku akan memilihkanmu bunganya."
🌼
Selepas pekerjaannya rampung, Arya mengajakku berkelana di dalam hutan. Keranjang serta anak panah melekat di punggungnya, pundaknya dijadikan tempat bertengger busur yang akan membantunya menangkap hewan buruan.
“Aku tak bisa memendam ini lagi. Sebenarnya apa sih pekerjaanmu itu?” celetukku sembari berlari kecil menyusul langkahnya yang lebar dan bebas dengan celana merah kedodoran sampai lutut itu.
“Bagaimana bisa aku malah belum memberitahumu.” Ia menepuk jidatnya kemudian mengulurkan tangannya untuk kugandeng supaya kami tetap sejajar. “Karena aku tak bisa memilih, maka aku melakukan semua pekerjaan ini secara berkala. Namun, yang sering kulakukan ialah sebagai angukir.”
Aku mengangguk-angguk. Pantas saja aku sempat melihat ukiran di kayu yang cukup rumit. Kupandangi tangan piawainya yang tengah menggandeng erat tanganku hingga berkeringat. Kudapati gelang kayu berukir naga yang persis melekat di tangan kami. “Jadi, gelang yang dulu kauberikan itu buatanmu sendiri?” Aku menatapnya terang-terangan bahwa aku terpesona padanya.
“Bukankah elok kita punya gelang ini? Orang yang melihat akan takjub dengan kemesraan kita yang berupa benda, bukannya perlakuan tak senonoh yang sering diperlihatkan sejoli di kerumunan.”
“Pekerjaan apa lagi yang kau bisa?”
“Aku senang berburu dan bertani di sawah orang lain. Waktu usia masih belasan, aku pernah belajar menjadi angendi dan kurasa ilmu itu masih bisa kulakukan sekarang.”
Aku selalu terpukau pada lelaki satu ini. Saat remaja ia sudah bisa membuat kendi dan mulai menapaki dunia pekerjaan yang mendorong manusia untuk lebih dewasa dan merasakan kehidupan yang sebenarnya.
“Aku pernah mendapat tawaran bekerja di lingkungan istana sebagai angukir, tapi aku tidak berminat karena aku bekerja hanya sesuka hati dan tak begitu acuh apabila hanya sejumput orang yang memesan ukiran padaku,” lanjutnya.
“Aku paham. Kau memiliki jiwa bebas yang tak ingin diikat oleh pekerjaan yang menuntut, bukan?”
Ia tersenyum, manis sekali sampai aku merasa ingin ambruk saking terpukaunya.
Ia menghentikan langkah sembari menempelkan telunjuknya di depan bibir. Aku menajamkan pendengaran dan kutangkap gemeresik di balik belukar. Arya menarikku mendekat untuk menyaksikan tubuh loreng yang tengah berjalan santai membelakangi kami. Kulirik Arya yang bermimik serius sampai matanya berkilat. Bayangan harimau putih melintas di benakku padahal yang kulihat barusan ialah harimau jingga yang kuasumsikan merupakan harimau Jawa.
Kupanggil namanya, ia tak acuh. Ia mengendap-endap menyusul harimau yang tengah jadi sasaran buruannya. Aku merasa naluri membunuh dari harimau putih miliknya tengah merasuk dan membuatnya bernafsu untuk menaklukkan harimau Jawa.
Aku ikut mengendap dengan cepat, menahan lengan Arya supaya tidak bergerak lebih jauh. Namun, ia menghempaskan cekalanku sembari melirikku dengan sinis. Aku tak pernah melihat sisinya yang seperti ini, makanya hatiku langsung tersinggung dan mataku berkaca-kaca.
Aku bergegas mundur dengan tatapan nanar dan tersinggung yang kentara. Keluar dari semak belukar, aku berlari pulang tanpa menoleh dan tanpa peduli apa yang bakal dilakukan Arya.
Namun, aku kesasar. Kudapati jurang yang menganga di samping jalan setapak. Di seberang sana, ada sebuah gua dengan banyaknya pohon bambu yang memagari. Aku berhenti ketika pandanganku bertemu dengan seekor kera abu-abu berukuran sedang. Aku tak berani bergerak sementara kera itu juga mematung. Entah berapa lama itu berlangsung hingga keringat sebesar biji jagung menetes-netes dari ujung dagu lancipku.
Tepukan pada bahu membuatku berteriak sekencang-kencangnya karena sungguh terkejut. Aku membelalak pada sosok yang membuatku gondok sampai kesasar begini. Namun, rasa gondok itu sirna ketika terdengar kera yang memanggil kawanannya. Mataku yang tetap membeliak beralih pada si kera yang kini disusul berekor-ekor kera lain.
Aku menarik lengan Arya sekuat tenaga tetapi lelaki menyebalkan itu tidak beringsut sejengkal pun. Gerombolan kera kelabu itu berjalan satu persatu. Aku memohon pada Arya agar kami pergi dari situ secepatnya, karena para kera sudah mencapai bibir jurang. Aku kuatir mereka merangkak kemari kemudian mengeroyok kami.
Arya masih tidak menggubrisku. Terpaksa aku berdiri gentar di belakang tubuh tegapnya, sembari melihat banyaknya kera yang berjalan keluar gua dan turun ke rimbunan pohon bambu.
Kedua kalinya aku melihat kera di hutan secara langsung. Aku tidak mau dikejar para kera lagi seperti tragedi bersama Dadari dan Sunarti silam.
Aku menajamkan penglihatan ketika ada tiga ekor kera kecil berjalan di belakang induknya, lalu disusul seekor kera paling besar dengan muka menyebalkan di barisan terakhir. Kera yang satu itu pastilah jantan yang jadi pemimpin. Ia memandang ke arahku sebelum Arya menarikku menjauh dari sana.
Aku tidak banyak tanya, mempercepat langkah kaki dan menggenggam lengan Arya dengan erat. Sesampainya di rumah, aku terduduk di kursi rotan dengan jantung berdegup kencang hingga terdengar berdentum-dentum bagai kendang yang sedang ditabuh.
"Kau lihat kan kera jantan itu?" balasnya.
Aku mengangguk. Ia melanjutkan, "Kera itu yang menjaga keluarga dan juga tempatnya tinggal. Bila kita tak menjauh, sudah pasti ia mengejar atau bahkan menghajar kita."
"Nah kan ... Salahmu juga! Aku kan sudah bilang kita pergi aja dari situ," cerocosku dengan bersungut-sungut. Arya berlalu menuju dapur, mengambil minum.
"Omong-omong, kita sekarang sudah menjalin ikatan. Bukankah seharusnya tidak ada lagi rahasia?" celetuk Arya dengan raut tak terbaca.
"Apa maksudmu?" Aku hanya pura-pura tidak menangkap maksud ucapannya.
"Aku merasakan perbedaan dirimu, Nimas. Aku tahu kau menyembunyikan sesuatu. Apa yang kaulakukan saat aku mengamati macan tadi?”
“Aku cuma takut macan itu menyerangmu.”
"Asalmu bukan dari Majapahit, benar? Dan kau menghalangiku untuk mendekati macan itu karena kau kuatir binatang itu akan cepat punah karena di tempatmu sudah lenyap." Pertanyaan yang lebih tepat disebut pernyataan tersebut membuatku membulatkan mata sempurna.
Sudah kuduga sedari dulu kalau suamiku ini bisa membaca pikiran orang. Aku makin curiga kesaktiannya cukup tinggi untuk kawula alit macam dirinya.
Pada akhirnya semua akan terungkap. Bangkai yang kusembunyikan tetap akan tercium baunya. Aku menghela napas sebelum berkata, "Ya, aku berasal dari Indonesia. Masa depan dari Majapahit."
Arya tampak menahan napas sebelum memandang sedalam-dalamnya mataku.
"Baiklah, aku ingin tahu bagaimana Indonesia itu?" Aku terbengong. Secepat itukah Arya percaya?
"Indonesia itu negara dengan bentuk negara Kesatuan, bentuk pemerintahannya Republik, jauh di masa depan. Intinya sangat beda jauh dengan Majapahit, walau letak berdirinya sama."
"Sejauh itukah perbedaan Majapahit dengan Indonesia? Aku tidak menyangka Majapahit akan berakhir kelak," Arya menyahut.
"Tolong jangan beritahu siapa pun. Ini hanya rahasia kita berdua. Kalau sampai orang lain tahu, aku takut sejarah akan berubah," bisikku.