Sawah amat sepi, siang bolong begini petani lebih memilih berteduh di rumah daripada banting tulang di antara lumpur hangat tempat para keong berkembang. Sekonyong-konyong Arya mencekal kedua lenganku, menyeretku menuju sungai kecil yang ada di bawah petak sawah, kemudian memutar tubuhku membelakanginya. Gelenyar memabukkan mengalir ke sekujur tubuhku mendapati sentuhan dari permukaan tangannya yang kasar.
Pemuda itu melepas gelung rambut gelombangku hingga tergerai sepinggang. Tubuhku menggigil, bersamaan dengan hati yang serasa mekar.
"Kalau begini kecantikanmu kian menjadi, Viva," pujinya setelah membalikkan badanku untuk menghadapnya kembali.
"Tapi aku tidak nyaman kalau digerai begini," balasku.
"Tidakkah kau tahu bagaimana para lelaki memandang leher dan bahumu?" tanyanya ketus.
Kami diselimuti keheningan. Memandang kakiku yang tercelup di air yang mengalir tenang, aku mendapati paras ayu seorang Nayaviva yang natural. Aku mengulum senyum di bibir yang berisi, mengamati betapa mbangir-nya hidung di antara pipi tirus. Dalam hening aku memuji diri sendiri, tetapi sadar bahwa jiwaku hanya meminjam raga orang lain. Angin sedari tadi berembus kencang menerbangkan rambutku hingga berantakan, meredakan panasnya tengah hari yang serasa membakar kulit.
"Viva, aku mencintaimu. Maukah kau menjadi istriku?" Aku merasa tersengat listrik dengan penuturannya yang terlalu mengejutkan itu.
Aku hanya bisa membatu kala ia menatapku dengan serius. Rambut sebahunya diterpa angin, membuat kadar ketampanannya kian menggerogoti kesadaranku. Genggaman pada telapak tangan menyadarkanku bahwa ia menunggu tanggapan.
"Ah? Ma-maksudmu apa?" tanyaku memastikan jika pendengaranku salah.
"Aku sungguh memiliki rasa padamu yang membuatku terus memikirkanmu di setiap waktu. Aku ingin menjadikanmu istriku satu-satunya."
Aku menunduk. Untuk saat ini aku tidak bisa berpikir jernih. Kenapa terlalu cepat? Di dalam benakku, aku bimbang dengan perasaanku sendiri. Arya langsung meminangku di saat baru enam purnama kenal. Mungkin aku memiliki rasa yang sama, tapi keadaan yang tidak mendukung. Aku tak ingin mengorbankan tubuh Viva hanya demi egoku sendiri.
"Ini terlalu cepat." Aku tergagap, hanya bisa mengatakan ini.
"Bukankah kita lebih baik membentuk sebuah ikatan daripada seperti ini? Aku hanya takut kau dimiliki pria lain," sahut Arya. Raut mukanya terlihat gelisah.
"Tapi aku masih terlalu dini untuk menikah. Aku tidak bisa mengurus rumah tangga," sangkalku.
Arya menghela napas kemudian menggigit bibir bawahnya.
Bukannya aku sok jual mahal. Sebenarnya aku pun ingin menjalin ikatan dengan Arya sebelum hal yang tidak diinginkan terjadi, bagaimanapun Arya adalah lelaki normal. Aku juga tidak ingin Arya jatuh hati pada perempuan lain. Namun, sungguh aku belum mengerti apa-apa tentang pernikahan, apalagi ini masa yang jauh berbeda dari zamanku sebenarnya. Aku bodoh di sini.
"Biyungku ingin aku menjadikanmu istri, Viva. Ia membutuhkan teman di rumah. Ketika aku membicarakan dirimu, sorot bahagia tampak di matanya," ucap Arya pelan, membuatku termenung.
"Sebagian orang mengira Biyung sinting, padahal ia hanya kesepian. Aku ingin membuatnya bahagia dengan hidup bersamamu Viva, selama ini Biyung menderita secara batin," lanjutnya dengan suara pelan hampir tak terdengar.
Aku menunduk, merasa bersalah sekaligus iba. Di samping itu, aku takut. Takut kalau ibunya Arya bersikap jahat kepadaku.
Aku mengangguk seraya berkata, "Baiklah, aku bersedia."
Setelah mengucapkan itu, berbagai perasaan timbul di benakku. Senang, khawatir, takut menjadi satu. Sementara Arya segera mendekap erat tubuhku. Aku membalas pelukannya dan perasaan tidak mengenakkan dalam diriku perlahan mereda.
"Semoga emakmu merestui," ujarnya sebelum ia mencium lama keningku.