Lama-lama aku suntuk juga tinggal di tempat kuno ini. Sebenarnya cukup menyenangkan dapat pengetahuan dan pengalaman baru yang tak semua orang dapatkan. Namun, aku ingin kembali ke kampus dan segala tugasnya, ingin bermain dengan kucingku, dan tentu saja aku merindukan keluargaku.
Aku penasaran, bagaimana dengan diriku yang sebenarnya di masa depan? Satu kekhawatiran yang bercokol dan selalu menghantuiku setiap malam, bahwa aku di masa depan dinyatakan tewas dan telah dimakamkan karena jiwaku tengah mendekam di raga yang lain.
"Besok kau harus ikut ke hutan," ucap Arya memecah keheningan.
"Untuk apa?" tanyaku. Tumben ia mengajakku pergi ke tempat selain sawah.
"Menemaniku berburu. Jangan ajak temanmu itu! Oh ya, ingatanmu belum pulih?"
Aku menggeleng sebagai jawaban.
"Baiklah kalau begitu. Sampai jumpa," pamitnya, membuat dadaku terasa sesak. Aku ingin berada di dekatnya lebih lama lagi.
"Tunggu! Kau yakin pulang sendiri? Melewati hutan belantara sandekala (magrib) begini?"
"Jangan meragukanku! Ini sudah biasa bagiku," balasnya dengan datar, tetapi aku melihat sorot kekhawatiran di netranya.
"Masuk ke rumahku dulu ... sebentar saja," pintaku pelan.
"Terima kasih, lain hari saja."
"Apa kau khawatir terhadap perlakuan biyungmu nantinya?" Tepat dugaanku ketika melihat senyuman kecut yang timbul di bibirnya.
Arya berbalik badan lalu melangkah pergi. Mendadak aku merasa khawatir terhadapnya barangkali ia kena sabetan lagi dari sang biyung. Segeralah aku berkata hal konyol sambil mencekal lengan berototnya, "Bagaimana kalau kau menginap di rumahku?"
Ia menggeleng, seraya menepis halus tanganku dari lengannya, "Itu sangat tidak patut, Viva."
Batara Bayu menabrakku, membuat rambut yang tergerai mengibar, meliuk ke belakang, lantas membuatku kedinginan dengan kemban tanpa lengan. Aku pasrah menatap punggung Arya yang perlahan menghilang di balik rimbunan pohon. Decitan bambu membuatku merinding dan segera masuk ke dalam rumah.
Berbaring di ranjang bambu, aku bertanya-tanya apakah Arya tidak punya pekerjaan yang menyibukkan? Setiap hari ia menemuiku seperti pengangguran saja.
Di tengah lamunan yang membuatku terombang-ambing, indra pendengarku menangkap suara gedebuk. Diriku terperanjat sambil memegang dada yang berdebar. Aku tidak tahu pasti dari mana suara itu berasal, mungkin saja kelapa jatuh. Semoga saja bukan ndas glundung.
🌼
"Apa ini pertama kalinya kau berburu?" tanyaku sambil berusaha menyejajarkan langkah lebarnya.
"Tidak. Dua hari sekali aku berburu," sahutnya dengan nada sombong.
"Lalu saat kita di sawah, bukankah kau tidak mengerjakan apa-apa?"
"Kau menyepelekanku ya? Tentu saja saat malam hari aku berburunya," jawabnya sambil menyentil jidatku.
Aku menggerutu, ia tak acuh. Langkahnya semakin lebar, seperti sengaja meninggalkanku. Namun, kupadamkan api kekesalan, berlari kecil hingga kami sejajar lagi.
"Arya, apakah kau mencintai seseorang?" tanyaku iseng.
"Apa itu cinta?" Ia bertanya balik. Dari matanya, aku yakin dia hanya pura-pura polos.
"Hm ... Saat jantungmu berdetak lebih cepat dan dunia terasa berhenti ketika di dekat orang yang kau cintai. Menurutku," jelasku sok tahu.
"Oh, sepertinya aku cinta pada babi hutan," ucapnya sembari memegang dagu berlagak sedang berpikir.
"Hahaha benarkah? Bagaimana bisa?" Aku bertanya seraya memegangi perut yang mendadak sakit akibat terpingkal-pingkal.
"Sesuai apa yang tadi kau katakan, saat aku dekat dengan babi hutan, detak jantungku terasa dua kali lebih cepat."
"Lebih tepatnya kau takut dengan babi hutan itu."
"Jadi cinta dan takut itu berbeda ya?" Ah lagi-lagi, sebenarnya Arya ini pura-pura polos atau memang bodoh, sih?
Setelah mendengus sebal, kutatap maniknya dengan tajam seolah-olah telepati, kau sungguh menanyakan itu?!
"Baiklah-baiklah. Aku tidak sebodoh itu, kau tahu? Tanpa penjelasanmu pun aku mengetahuinya," ungkapnya narsis.
Kami saling melempar tatapan menusuk, lalu aku tidak bisa menahan tawa, begitu pula Arya.
Puas menertawai kekonyolan kami, Arya kembali fokus memanah ayam hutan maupun tupai. Sedangkan aku hanya memperhatikannya yang makin memesona dengan busur dan anak panah itu.
Melihat Arya dengan gagahnya membawa hasil buruannya mengingatkanku dengan ayahku di masa depan, yang sama seperti Arya. Suka berburu.
Ayah, ibu, aku rindu kalian...
"He, kenapa?" celetuk Arya yang menyadari kusutnya mimik wajahku.
"Tidak apa-apa. Kau hebat berburu! Tapi kasihan dengan tupai itu. Lihat, matanya sedih sekali," balasku mengalihkan topik.
"Maaf, tetapi ini memang hobiku," sahut Arya dengan muka bersalah yang dibuat-buat.
"Ah aku mengerti."
Ia mesem, menyodorkan seekor ayam hutan dan dua tupai hasil buruannya, "Masaklah dengan emakmu!"
"Tidak perlu! Untukmu dan biyungmu saja," tolakku.
"Sekali-kali kau perlu makan daging hasil buruanku." Ia tetap kekeh memberikan padaku. Mau tak mau kuterima juga binatang malang yang menggugah selera jika tersaji dengan bumbu dapur itu.