(Makan Malam)
Tak lama berselang, anggota kerajaan lain tiba di meja makan. Mereka pun sempat terheran-heran dengan kami yang kurang ajar mengikuti acara makan malam mereka, salahkan Nertaja yang membawa kami ke lingkungan asing ini. Untungnya aku tidak sendiri, ada Dadari dan Sunarti yang bernasib sama sepertiku.
Di antara mereka, Tribhuwana Wijayatunggadewi yang paling banyak menginterogasi kami bertiga. Wanita anggun itu sesekali melontarkan gurauan, tapi aku tetap saja tidak bisa tergelak karena segan luar biasa.
Nertaja banyak berbicara bahwa menjadi putri kerajaan tak begitu menyenangkan. Tidak diperkenankan berteman dengan sembarang orang, tidak boleh keluar istana secara bebas, ke mana-mana harus dengan para dayang, juga tidak boleh menyukai lawan jenis sembarangan.
Pasti ia butuh kebebasan. Bukan seperti burung yang dikandang di dalam sangkar emas.
Suasana di dalam Keraton sangat tidak nyaman bagiku, membuat sekujur tubuhku tegang bagai patung. Makanan yang disajikan tentu tidak berhak kumakan karena aku bukan keluarga raja. Di meja, teronggok makanan yang tidak menggugah seleraku berupa daging-daging berukuran besar yang tampak lembek dan berlemak. Aku belum pernah makan hidangan berkelas seperti itu, makanya tak berniat sama sekali untuk menyantapnya.
Hak untuk memakan jenis-jenis makanan itu umum dijumpai di prasasti-prasasti yang memuat pemberian hak-hak istimewa, yang dikeluarkan sejak masa Sindok sampai masa Majapahit. Aku mengingatnya di salah satu buku yang memuat peradaban Majapahit saat ada tugas sejarah dahulu.
Selama makan, aku hanya menunduk sesekali mendongak melihat tokoh-tokoh yang auranya menguar. Aku tidak tahu pasti siapa saja mereka, yang kutahu hanyalah Hayam Wuruk, Nertaja, Sudewi, dan Tribhuwana Wijayatunggadewi.
Yang pasti, ada banyak orang dengan pakaian keemasan di sini, mungkin ada dari mereka yang tidak tercatat dalam buku sejarah.
🌼
"Kau tahu? Aku setengah mati menahan untuk tidak menangis kemarin!" seru Dadari. Kini, kami tengah berada di pelataran rumah Dadari yang bersebelahan dengan rumahku.
Sambil menikmati lembayung senja di balik rerimbun bambu, kami mengobrol perihal yang kami alami selama di Keraton.
"Kau pikir aku tidak?" sahutku. Aku menerawang pengalaman yang sungguh berharga. "Aku penasaran dengan nama makanan yang diperuntukkan untuk bangsawan-bangsawan kemarin."
"Setahuku, daging-daging itu merupakan daging kambing muda, penyu badawang, babi liar pulih (babi yang dikebiri), babi liar mattinggantungan (dibunuh dengan digantung), iwat taluwah (ikan), dan anjing yang dikebiri.
"Dan yang duduk di kiri Prabu itu adalah selirnya?" lanjutku bertanya.
"Aku tidak tahu pasti, mungkin saja memang selirnya. Kenapa kau tidak menanyainya pada Gusti Nertaja saja kemarin sehabis makan?"
"Aku tak terpikir sama sekali untuk bertanya. Dadaku selalu berdebar dan otakku tak dapat memikirkan apa-apa." Aku tergelak menyatakan itu.
"Viva!" panggil seseorang yang berlari ke arah kami. Aku segera menoleh dan mendapati tubuh bermandi keringat Arya.
Dia menghampiriku sembari merengut lucu. Dengan kain wedihan yang biasa dipakai para pria terlilit di badan kekarnya serta udeng yang melingkari kepala, ketampanannya makin menjadi-jadi.
Arya selalu berbuat baik padaku dan Emak. Sering kali ia membantu kami menumbuk padi, kadang-kadang juga ia memberikan kami padi miliknya, berhubung Arya lebih berada daripada kami.
"Siapa dia?" tanya Dadari, memandang Arya dengan binar di matanya, atau hanya perasaanku saja?
"Arya, sahabatku," sahutku karena Arya sendiri tidak menggubris Dadari.
"Semenjak kau punya teman baru, kau jadi lupa denganku ya!" rajuknya sambil bersedekap dada.
Aku mendongak sembari menahan senyum, tidak bisa kumungkiri bahwa aku rindu masa-masa di mana kami berdua saling bertukar cerita di pinggir sawah.
"Kukira kau yang sudah melupakanku semenjak aku berada di Keraton," sahutku.
Arya menarik lenganku, membawaku pulang. Aku menurut. Lagi pula hari sudah semakin gelap. Sebenarnya tadi aku tidak berani pulang, membayangkan dedemit yang membuntutiku membuat nyaliku untuk pulang seketika ciut, walau hanya serumpun bambu yang menjadi jarak antara rumahku dan sahabat baruku itu.
"Pelan-pelan! Kau tidak lihat bagaimana susahnya pakaianku?"
Arya berhenti. Memicingkan mata, dia menyahut, "Semakin lama kalimatmu semakin aneh."
"Lupakan! Aku hanya memintamu memelankan langkah. Ayolah cepat! Hari sudah gelap."
"Bagaimana kau ini? Tadi minta pelan, sekarang minta cepat. Bilang saja kau takut!" ucapnya lalu mengangkatku seperti mengangkat karung beras.
"Kau sadar? Temanmu tadi itu memandangku dengan pandangan memuja, sepertinya dia jatuh cinta padaku," ucap Arya saat kami sudah sampai di halaman rumah.