Perayaan tujuh hari kelahiran sang rajakumari telah tiba. Penat yang menyerbu kami bertiga akibat menghafal gerakan tari setiap hari akan membuahkan hasil. Sebelum tampil, kepala kami diciprati air dari petirtaan oleh Nyi Aru agar wiraga dan wirasa kami lebih maksimal ketika menggerakkan tubuh.
Gamelan berbunyi dengan serasi, menciptakan wirama yang mengiringi tiap ukel dan lenggok penari, membuat siapa saja yang amat menghayatinya bisa terhipnosis. Sesekali ekor mataku menangkap Dyah Nertaja yang paling mencolok di antara kami. Selain wajahnya yang amat jelita, gerak gemulai dan atribut pakaiannya menampakkan betapa berkelasnya adik dari Maharaja Hayam Wuruk itu.
Selesai menari, kami berganti pakaian sambil membicarakan acara besar tadi—ralat, aku yang sibuk berceloteh tentang ketakjubanku. Selama menari, sesekali aku mencuri pandang kepada Prabu Sri Rajasanagara dan permaisurinya, Paduka Sori. Akhirnya aku bisa melihat mereka secara langsung. Mereka berdua sangat serasi, ketampanan Hayam Wuruk memang tiada tara, dan kecantikan Sri Sudewi pun tak dapat diragukan.
"Jangan bilang kau suka dengan Prabu," celetuk Sunarti ketika aku selesai dengan ocehanku.
"Siapa sih yang tidak suka dengan dia?!" seruku tak bisa mengendalikan kegaduhan yang kuciptakan.
"Sudah kubilang, goda Prabu saja kalau begitu. Siapa tahu kau dijadikan selir kedua," ucap Dadari sambil menaik turunkan alisnya.
Aku tersenyum seraya mekhayalkan hal tersebut, tetapi segera berdecak mengingat kehidupan di keraton pasti tidak bebas. Lagi pula, mana sudi maharaja agung sepertinya mau melirik sudra sepertiku ini sementara perempuan-perempuan cantik yang hidup di lingkungan keraton saja tak banyak mendapat perhatian dari sang prabu.
"Siapa nama kalian?" Sebuah suara asing terdengar dari belakangku.
"Hamba Sunarti, Gusti," jawab Sunarti seraya berlutut dan mengatupkan telapak tangan. Begitu pun Dadari, "Hamba Dadari, Gusti." Kurasa ini terlalu berlebihan. Menghindari kesan pertama yang buruk, aku pun mengikuti apa yang mereka lakukan meskipun enggan.
"Hamba Nayaviva Citrakara, Gusti." Sang adik maharaja memegang kedua bahuku, menyuruhku berdiri. Aku melirik Dadari dan Sunarti meminta pertolongan untuk dijauhkan dengan putri jelita ini, tapi mereka berdua senantiasa pada posisi tertunduk.
"Nama yang indah. Di mana kau tinggal?"
"Wanua Kapundungan, Gusti."
"Tatap mataku!" titahnya. Aku pun mendongak menatap mata gelapnya. Ia tersenyum, aku semakin segan dibuatnya.
"Kudengar kalian tadi membicarakan Kakanda," tuturnya sambil memandang kami satu persatu. Aku menelan saliva gugup.
"Pangapunten, Gusti, kami tidak bermaksud," sahutku setelah memikirkan beribu kata yang pantas menjadi jawaban.
Ia tersenyum dengan anggun, lalu berkata, "Aku rasa kau cocok bersanding dengan Kakanda, Nayaviva. Kukira tadi kau berasal dari kerajaan seberang karena parasmu tak kalah dari para putri. Apakah kau sudah mempunyai dambaan hati?"
Seketika aku teringat dengan Arya. Apa status kami? Apakah aku suka dengannya? Mungkin saat ini aku akan memanfaatkan Arya demi cepat mengakhiri perbincangan ini.
"Sudah, Gusti. Lagi pula tidak mungkin Baginda Raja melirik hamba."
Nertaja mengangguk memafhumi kemudian menarik kami pelan, mengajak kami makan bersama keluarga keraton. Dewata, cobaan apa lagi ini?
🌼
"Siapa mereka? Kenapa Dinda membawa mereka ke sini?" tanya Hayam Wuruk dengan suara bariton yang membuatku terpesona sampai ingin berjingkrak. Namun kami bertiga hanya bisa menunduk sungkan, ingin pulang sesegera mungkin.
"Mereka temanku Kanda, namanya Nayaviva, Dadari dan Sunarti. Izinkan mereka makan malam dengan kita, Kanda."
"Baiklah kalau itu maumu. Tapi Dinda, berteman dengan orang-orang yang berbeda kasta dengan kita sangat tidak pantas," ucap Hayam Wuruk menohok hatiku yang sensitif. Ternyata sama saja, orang yang punya kuasa bebas berkata setajam pisau pun pada rakyat yang takkan bisa berkutik. Kekagumanku langsung sirna berganti kedongkolan yang bercokol di dalam kalbu. Ternyata semua penguasa memiliki sifat arogan.