"Win, jadi ikutan casting buat pensi sekolah, nggak?" tanya Sandra begitu aku datang ke kelas.
Ekstrakurikuler teater akan mengisi acara pada pensi tahunan sekolah. Mereka membawakan cerita rakyat yang akan ditransformasi menjadi Gending Karesmen berjudul Lutung Kasarung. Tahun ini acara pensi diadakan bertepatan dengan Hari Bahasa Ibu Internasional. Itu sebabnya cerita yang dibawa berkaitan dengan cerita rakyat Sunda, sesuai dengan bahasa Ibu di Bandung.
"Ikutan, nggak ya? Aku belum pede. Apalagi kalau harus ngawih." ujarku ragu. Sandra menyarankanku audisi untuk peran Purbasari--pemeran utama. Tapi setelah aku membaca naskahnya, pertunjukkan Gending Karesmen mengharuskan para pemain untuk ngawih (bernyayi). Aku tidak yakin suaraku bagus untuk itu.
"Ikutan apa?" tanya Reza yang baru datang karena ia mengobrol dulu dengan teman-temannya di depan kelas.
"Audisi buat teater." jawabku.
Tiba-tiba Reza menjadi antusias. "Ya ikutan lah! Kamu 'kan dari dulu juga udah berpengalaman sama teater."
Aku berkilah. "Ini beda, Za. Konsepnya Gending Karesmen. Harus bisa nyanyi lagu-lagu Sunda. Aku mana bisa."
"Tapi suara kamu bagus, lho." ujar Reza.
"Iya bagus, kok. Nggak kayak suaraku yang kayak bebek sariawan." timpal Sandra. "Ikutan, ya? Biar aku bangga gitu kalau temanku jadi bintang utama."
"Kenapa nggak kamu aja yang ikut audisi?" tanyaku pada Sandra.
Sandra menggeleng. "Duh, enggak deh. Aku udah sibuk ngurusin semua persiapannya. Jadi aku di balik layar aja."
Benar juga, sih. Sandra itu termasuk pengurus inti ekstrakurikuler teater. Setiap ada acara seperti ini, dia selalu menjadi seksi sibuk untuk mempersiapkan segala hal. Surat-menyurat, naskah, properti, aransemen musik, dan lain sebagainya.
"Memang audisinya kapan?" tanya Reza.
Aku melirik ke arah Sandra. Temanku kemudian menjawab, "Nanti sepulang sekolah."
Reza mengangguk-angguk. "Ya udah, kabarin aja kalau kamu mau ikutan audisi. Aku hari ini latihan, jadi nanti bisa sekalian pulang bareng. Ibu nggak pesan apa-apa, 'kan?"
Aku menggeleng. "Belanjaan sih udah aman semua." gumamku. "Nanti kupikir-pikir dulu deh."
Setelahnya kami mengobrol sebentar. Tidak lama bel tanda masuk pelajaran pertama berbunyi. Murid-murid lain berdesakan masuk ke dalam kelas menunggu Pak Surya yang selalu datang tepat waktu.
***
"Jadi gimana, nih? Ikutan, nggak?" tanya Sandra lagi saat bel pulang sekolah berbunyi.
Di belakangku, Reza sudah berdiri. "So?" pertanyaannya sama dengan Sandra.
Aku menghela nafas. "Kalian ini kenapa sih kayak wartawan aja mencecar aku begini." gerutuku.
"Karena aku tahu kamu pasti cocok jadi Purbasari." jawab Sandra.
Reza bergumam. "Aku sih cuma mau nanya aja kamu jadi ikutan atau enggak? Nggak maksa, kok. Biarpun aku pasti seneng kalau kamu jadi Purbasari. Kapan lagi temenku jadi bintang utama di acara pensi. Nanti aku bagian penonton bayaran sama Mansyur, Dika, dan Beni."
Pasrah, aku akhirnya mengangguk. Kurasa tidak ada salahnya mengikuti audisi. Toh, belum tentu aku yang terpilih? Masih ada murid-murid lain yang lebih berpengalaman daripada aku.
"Iya, deh. Aku ikutan."
Tiba-tiba Sandra berteriak memelukku. "Nah, gitu dong! Nanti ketemu aku di ruang teater ya? Aku harus ngurusin dulu persiapan di sana."
Aku mengangguk. Sandra lalu merapikan barang-barangnya dan meninggalkanku dengan Reza.
"Kamu latihan sampai jam berapa?" tanyaku.
"Harusnya hari ini nggak lama, sih karena cuma latihan santai aja. Paling sampai jam lima. Nanti pulang bareng aku ya." jawab Reza melihat jam tangannya.
"Oke." sahutku. "Ya udah sana cepet latihan. Biar cepet pulang juga."
Kukira Reza segera keluar dari kelas. Tapi ia menungguku merapikan barang-barang ke dalam tas. Kami akhirnya berjalan bersisian keluar kelas. Hanya saja di lorong pertama, kami harus berpisah. Reza harus menyebrang ke lapangan, sedangkan aku ke arah belakang sekolah menuju ruang teater.
"Kalau ada apa-apa kabarin, ya." ujar Reza sebelum kami berpisah.
Aku mengangguk. Begitu Reza pergi ke lapang, aku mengecek ponsel. Sejak di kelas aku merasa ponselku berdering beberapa kali. Entah kenapa aku tahu kalau itu Ale. Benar saja, dua panggilan tidak terjawab dari Ale.
Aku mengirim pesan.
Winda: Sori, tadi lagi ngobrol
Ale: It's okay. Cuma mau tanya aja mau pulang bareng?
Winda: Hari ini aku mau ikutan audisi teater. Reza jg lg latian jadi pulangnya sekalian bareng
Tidak lama, aku melihat dua centang biru di layar tanpa tanda mengetik dari Ale. Seketika perutku terasa bergejolak dan mulas. Kenapa Ale hanya membaca pesanku?
Kutatap layar ponsel sangat lekat dalam waktu cukup lama. Tiba-tiba tanda mengetik dari Ale kembali. Waktu sekian detik terasa sangat lama. Ale terlihat terus mengetik yang membuat pikiranku menjadi liar tidak karuan.
Ale: oke.
Oke? Cuma oke? Kalau begini sih sudah pasti Ale marah. Sepanjang waktu aku bertukar pesan dengannya, ia tidak pernah membalas singkat. Ale pasti berusaha untuk memperpanjang obrolan meski basa-basi tidak penting atau sekedar melucu. Dia marah kenapa ya? Apa karena Reza? Tapi Ale 'kan tahu kalau Reza itu teman baikku. Aku juga sudah sering mengatakan aku sedang bersama Reza. Selama ini Ale tidak pernah keberatan.
"Win! Ayo! Udah mau mulai!" seru Sandra begitu aku berada tidak jauh dari ruang teater.
Mengulas senyum simpul, aku menghampiri Sandra. Di dalam ruang teater yang sebenarnya adalah aula yang tidak terpakai lagi semenjak ada aula baru dibangun, nafasku menjadi berat. Melihat para siswa lain sudah duduk rapi dan sibuk dengan kegiatannya masing-masing membuatku gugup. Aku melihat beberapa siswa sedang sibuk dengan ponselnya, sibuk menghafal naskah, atau fokus latihan vokal.
"Duduk sini, Win." Sandra mempersilakanku duduk di salah satu kursi.
"San, aku balik aja deh, ya? Kok liat yang lain kayaknya udah pada jago banget ya? Jadi nervous nih." ujarku pada Sandra sambil setengah berbisik.
Sandra terkekeh. "Duh, nggak usah liatin orang lain. Udah duduk dulu di sini, nanti nama kamu dipanggil awal-awal, deh biar nggak kelamaan gugupnya."
Aku mencegah. "Ya jangan, dong! Itu namanya nepotisme."
Sandra berkilah. "Nepotisme tuh kalau kamu tiba-tiba terpilih tanpa audisi. Kalau ini ya enggak lah! Anggap aja privilege temenan sama kru." jelasnya. "Tunggu sini ya. Awas kalau kamu kabur. Aku kempesin ban motornya Reza."
"Psikopat!" ejekku membuat kami berdua tertawa.
Oke, tarik nafas. You got this!
Tidak lama kemudian, Kang Umar sebagai pelatih teater membuka acara dan memberikan arahan kepada pada peserta audisi. Begitu Kang Umar selesai, satu per satu dari kami dipanggil ke ruangan untuk audisi. Telapak tanganku dingin dan berkeringat. Aku selalu benci mengalami situasi ini setiap kali audisi. Tapi entah mengapa perasaan tidak karuan ini akan hilang begitu saja saat aku membaca dan memeragakan dialog demi dialog di atas panggung. Rasanya aku bisa hanyut dalam cerita dan menjadi sosok orang lain meski hanya sejenak.***