"Ale, maaf aku nggak bisa ngobrol. Nanti aku telepon lagi, ya." ujarku berbisik begitu berada di luar kamar Reza. Aku tidak tahu pasti mengapa aku harus berbisik dan menyudahi obrolan dengan Ale yang bahkan belum dimulai. Kurasa sebagian diriku tidak ingin ketiga laki-laki di dalam kamar tahu tentang hal ini, terutama Reza.
Setelah memutus sambungan, aku kembali ke kamar. Saat itu juga Reza melirik ke arahku dan tiba-tiba aku menelan ludah dengan susah payah.
Kali ini mata Reza lurus menatapku dengan sedikit memicing. "Siapa sih yang nelepon sampai harus keluar segala. Gebetan kamu ya?"
Meski darah dalam diriku mengalir deras, aku mencoba tetap memasang wajah tenang. "Ih, posesif amat? Cemburu, ya?"
"Emang!" timpal Beni yang masih bermain playstation. Seketika itu juga Reza memukul Beni dengan bantal, membuatnya kehilangan fokus pada permainan yang menyebabkan Mansyur berhasil mencetak gol.
"Euh! Pikasebeleun maneh, Za!" gerutu Beni.
Melirik arloji, aku memilih berpamitan kepada ketiga temanku. Meski Reza masih menahanku pergi dengan berbagai alasan, aku menolak karena harus membantu Ibu esok hari. Biasanya tiap akhir pekan pesanan Ibu akan lebih banyak entah itu untuk arisan atau syukuran, atau family gathering.
Sampai di dalam rumah, lampu ruang tamu dan ruang tengah sudah mati. Ayah juga sudah masuk ke dalam kamar. Padahal jam menunjukkan masih pukul sembilan malam. Mungkin kedua orang tuaku kelelahan.
Setelah membersihkan wajah dan badan, aku beralih ke kamar dan mengganti baju. Begitu selesai dengan ritual malam hariku, pikiranku kembali kepada Ale. Haruskah aku menghubunginya kembali? Atau mungkin Ale hanya ingin memberitahu kalau ponselnya sudah ketemu.
Bimbang beberapa saat, akhirnya aku mengikuti instingku. Perutku serasa diremas begitu aku mengetik di chat room Whatsapp Ale. Aku bahkan belum menyimpan nomor teleponnya.
Winda: Maaf, tadi masih ada kerjaan. Syukur deh kalau hapenya ga ilang.
Dengan jantung yang berdebar dua kali lipat dan nafasku yang mendadak berat, aku menekan ikon pesawat di layar. Seketika aku melempar ponsel ke kasur dan mencengkram kuat bantalku.
Aku kenapa sih? Kok jadi degdegan begini cuma ngirim pesan doang?
Lalu pikiran-pikiran burukku mulai menyerang. Gimana kalau Ale tidak membalas? Gimana kalau Ale sebenarnya cuma basa-basi aja? Ih, malu banget kalau sampai Ale tidak merespon.
Lima menit, sepuluh menit, tidak ada jawaban dari Ale. Dalam hatiku semakin yakin kalau Ale hanya basa-basi saja memberitahu padaku. Tuh kan!
Lelah menunggu, aku akhirnya terlelap tanpa sadar dengan masih memegang ponsel di tanganku.
****
Begitu mataku terbuka sepenuhnya, ingatan tentang semalam langsung memenuhi kepalaku. Dengan gerakan cepat aku mencari ponsel yang tertimbun di antara tumpukan bantal dan selimut. Begitu menemukan benda itu, tanganku otomatis mengecek notifikasi. Ada dua notifikasi di aplikasi Whatsapp-ku.
Reza: Mau jalan2 ga besok? ngopi kayanya enak.
Aku membalas kepada Reza.
Winda: Ibu banyak pesenan. Kamu ke rumah aja, ngopi di sini.
Pesan selanjutnya dari Ale. Oh, dia membalas pesanku!
Ale: Kamu kerja apa? kaya part-time gitu ya?
Aku tidak mengerti mengapa senyumku mengembang dengan sendirinya. Jari-jariku mengetik beberapa kata lalu dengan cepat menghapusnya lagi. Duh, balas apa ya?
Setelah beberapa lama memikirkan balasan, aku akhirnya mengetik:
Winda: Bantu ibuku. Ibuku punya usaha katering rumahan.
Tidak lagi memperhatikan ponsel, aku bergegas keluar kamar dan menuju kamar mandi. Di dapur kulihat Ibu sudah sibuk dengan bahan makanan.
"Sarapan dulu! Terus abis itu potongin timun buat lalap."
Aku mengangguk. Setelah dari kamar mandi, aku duduk di meja makan dan menyiuk nasi goreng yang sudah dibuatkan Ibu. Asapnya masih mengepul begitu aku mengambil satu siukan. Aroma nasi goreng yang harum memenuhi hidungku.
"Reza udah bangun belum? Telepon gih! Suruh sarapan di sini."
Sambil menyuap sendok berisi nasi goreng, aku menjawab. "Reza jam segini mana mungkin udah bangun. Apalagi semalem abis begadang sama Beni sama Mansyur."
"Coba aja telepon dulu." titah Ibu.
Huh, dasar anak kesayangan. Bisa-bisa namaku di KK sebentar lagi tergeser Reza, nih.
Sambil makan, aku menelepon Reza. Hampir saja sambungan telepon terputus, tiba-tiba Reza menjawab.
"Halo?" suaranya serak. Aku yakin di ujung sana matanya masih terpejam.
"Disuruh sarapan sama Ibu." gumamku sambil mengunyah.
"Oh, oke." sahutnya tidak jelas. "Nanti aku ke sana. Boleh bawa Mansyur sama Beni, nggak?"
Aku melirik porsi nasi goreng di wadah nasi. Kayanya nggak akan cukup sih buat mereka bertiga. Tapi pasti ada nasi lebihan dari menu katering.
Sebelum menjawab, aku bertanya kepada Ibu. "Mansyur sama Beni boleh ke sini juga? Kayaknya mereka nginep di rumah Reza."
"Ya boleh, dong. Nanti Ibu bikin lagi aja nasi gorengnya. Masih banyak nih nasinya." sahut Ibu.
"Boleh."
Hampir dua puluh menit kemudian, ketiga cowok itu masuk ke dalam rumahku. Wajah Reza sudah lebih segar dengan ujung rambut yang basah. Sementara Mansyur dan Beni masih bermuka bantal. Beni bahkan masih setengah terpejam saat masuk.
"Pada tidur jam berapa, sih? Jam segini masih pada ngantuk!"
"Nggak apa-apa atuh, Win. Da nggak sekolah. Nggak akan dimarahin Pak Surya." sahut Beni sambil duduk, lalu menopang dagu. Matanya setengah terbuka.
Aku yang sudah sejak tadi membantu Ibu di meja makan menepis tangan yang menopang dagu Beni hingga cowok itu terbentur ke meja. "Tetep aja, mau libur nggak libur juga harus bangun pagi!" seruku lalu kembali memotong timun untuk lalapan.
Tidak lama, Ibu datang membawa wadah besar berisi nasi goreng yang baru saja dibuat. Seketika mata ketiga cowok di hadapanku terbuka dan duduk dengan posisi tegak.
"Ya Allah wangi amat ini nasi goreng, Bu." Mansyur mendecak. "Perut saya langsung bunyi ini."
"Sok, pada makan. Abisin aja ya jangan disisain." Ibu terkekeh.
Melihat ketiga temanku langsung menyiuk nasi bahkan hingga berebut, aku hanya bisa tertawa sambil menggeleng. Tingkah mereka seperti belum pernah melihat makanan seumur hidupnya. Begitu juga saat makan. Sangat lahap seperti yang kelaparan.
Tiba-tiba ponselku berdenting singkat. Secepat kilat aku mengeceknya. Ternyata Ale membalas.
Ale: Kapan2 aku boleh pesen ya?
Entah mengapa jantungku berdetak dua kali lebih cepat. Dengan waspada, aku memperhatikan ketiga laki-laki yang masih lahap makan di hadapanku. Aku tidak mau mereka menyadari tingkah laku-ku yang sedang salah tingkah.
Aku membalas.
Winda: Boleh. Minimal H-3 ya.
Kali ini Ale membalas langsung.
Ale: Kalau chattingan sama kamu gak harus cuma pas mau pesen aja kan ya?
Duh, kali ini pipiku terasa memanas. Aku memegangi pipiku.
"Chattingan sama siapa, sih?!" Reza melihat ke arahku dengan tatapan curiga.
"Kepo, ih!" cibirku sebisa mungkin menyembunyikan wajahku yang sekarang pasti sudah merah.
Beni menimpali. "Kepo atuh, Win! Semaleman juga Reza penasaran siapa yang nelepon kamu."
Syukurlah Beni bersuara. Kini fokus Reza beralih ke Beni. Ditambah Masnyur juga jadi ikutan menimpali mereka. Aku kembali fokus ke ponselku.
Winda: Boleh dong:)
Kirim.
Sedetik kemudian aku jadi menyesal. Kenapa harus pakai emoji sih? Gimana kalau Ale merasa ilfeel? Duh, kenapa aku jadi overthinking begini, ya?!***