Jalanan Bandung begitu ramai dan padat oleh kendaraan yang berlomba-lomba sampai ke tempat tujuan masing-masing. Asap hitam dari knalpot angkutan kendaraan yang sudah tua berhembus ke arah kami dan mengenai rambutku. Sontak aku dan Reza menutup kaca helm kami dan Reza segera menyalip mobil tua itu begitu ada kesempatan.
Waktu menunjukkan pukul 06.45 dan kami baru setengah perjalanan menuju sekolah. Salahku sih karena aku bangun terlambat. Aku sudah menyuruh Reza untuk berangkat lebih dahulu, tapi dia menolak mentah-mentah.
"Kamu kan murid baru, nggak baik kalau udah terlambat. Seenggaknya kalau ada aku nanti kamu punya dekengan ketemu Pak Surya." alasan Reza padaku.
Kalau dipikir-pikir masuk akal juga. Kalau ada Reza yang sudah berjuta-juta kali bolos dan terlambat, pasti lebih mudah menghadapi Pak Surya yang hari ini menjaga piket. Kenapa aku tahu? Karena rupanya Reza sudah hafal di luar kepala jadwal piket guru, bahkan sampai jam berapa biasanya guru-guru itu mulai berjaga.
Aku baru satu minggu kembali Bandung dan baru tiga hari menjadi anak kelas dua belas SMA Taruna. Saat aku masuk SD, Ayahku pindah bekerja ke Jakarta. Lalu kurang lebih satu bulan lalu, Ayah kena PHK dan akhirnya membuat kami pindah kembali ke Bandung. Karena rumah kami di Bandung sudah dijual dan tabungan kami tidak cukup untuk membeli rumah, adik dari Ibu mengijinkan kami tinggal di rumah Nini sampai ekonomi kami membaik.
Rumah Nini terletak di sebuah perumahan tua di tengah kota. Bangunan di daerah itu masih memiliki struktur bangunan Belanda. Bahkan rumah Nini masih kental dengan nuansa Belanda yang minimalis. Butuh waktu untuk memperbaikinya karena rumah itu dibiarkan kosong setelah Nini meninggal setahun lalu. Hanya Mamangku, Mang Hadi yang biasa datang atau menyuruh tukang untuk mengurusnya. Tapi semua itu sudah selesai dan rumahnya kembali bagus.
Bagian terbaiknya, aku menjadi tetangga Reza. Aku kenal Reza sejak kecil karena dulu saat masih tinggal di Bandung, hampir setiap hari aku pergi ke rumah Nini terlebih saat Aki sakit. Bahkan setiap liburan sekolah, aku selalu menginap di rumah Nini dan Aki. Selama itu pula aku bermain dengan Reza hampir setiap hari.
Saat Reza menepikan motornya di parkiran sekolah, waktu di arlojiku sudah menunjukkan pukul 07.18. Terlambat lebih dari 10 menit. Entah hukuman apa yang akan menimpaku. Jujur saja, aku sebenarnya anak yang rajin dan tidak pernah terlambat kecuali ada kejadian tidak terduga. Contohnya tadi malam saat aku harus tidur larut karena membantu Ibu menyelesaikan pesanan nasi kotak untuk acara syukuran tetangga. Untuk membantu Ayah yang masih merintis usaha wiraswasta, Ibu menerima pesanan nasi kotak. Aku bersyukur meski baru beberapa hari menerima pesanan, pelanggan Ibu sudah cukup banyak.
Sekolahku memiliki dua lapis gerbang. Gerbang pertama menuju ke halaman dan tempat parkir, gerbang ini selalu dibuka dan dijaga satpam. Gerbang kedua adalah gerbang masuk ke dalam gedung sekolah. Seperti dugaanku, Pak Surya sudah berdiri di depan gerbang kedua yang sudah ditutup. Ada sekitar sepuluh murid dari berbagai angkatan yang juga terlambat. Alis Pak Surya otomatis memicing begitu melihat Reza yang berjalan di sampingku.
"Lagi-lagi kamu!" tuding Pak Surya pada Reza. Tapi temanku itu menanggapinya santai dan cengengesan sambil berjalan untuk cium tangan.
Menurut cerita teman-teman sekelas, Reza ini termasuk anak pembuat onar. Dari membolos hingga tawuran pernah dilakukannya. Jadi perkara terlambat seperti ini sudah menjadi hal biasa bagi Reza. Bahkan dia bilang baru tiga hari ini saja dia tidak terlambat karena mengikuti jam berangkat sekolahku. Kalau kata Beni, Reza seharusnya dapat penghargaan karena sudah tidak terlambat tiga hari.
"Salim dulu atuh, Pak biar enjoy," ujar Reza penuh humor. Beberapa murid terlihat menahan senyum, tapi Pak Surya semakin melotot.
"Kamu kalau mau terlambat jangan ajak-ajak teman begitu. Kasian temanmu terbawa jelek sama kamu," Pak Surya lalu melihat ke arahku. "Siapa nama kamu? Kamu anak baru kan?"
Dengan gugup aku mengangguk, "Winda, Pak." jawabku. Lalu aku berniat melanjutkan untuk menjelaskan pada Pak Surya. "Sebenarnya, Reza itu nggak terlambat Pak—"
Tiba-tiba saja Reza menarik tasku pelan dan menyela, "Tadi ban saya pecah, Pak. Ya mau gimana lagi namanya juga musibah, Pak. Saya punya bon dari bengkelnya kalau bapak nggak percaya," ujarnya merogoh saku celananya.
"Udah, udah. Kamu banyak alasan," potong Pak Surya. "Semuanya ketemu Bu Tuti di ruang BK. Lapor kalau kalian terlambat,"
Aku berjalan gontai ke ruang BK. Reza berjalan di belakangku, terlihat sangat santai seakan hal ini terjadi setiap hari. Bayanganku kini adalah entah aku dianggap tidak hadir hari ini atau aku akan diberi poin. Poin pertamaku selama sekolah...
Tapi dugaanku tidak menjadi nyata. Disaat murid lain diberi sanksi poin sesuai berapa kali keterlambatannya, aku dan Reza bebas dari hukuman. Reza benar-benar memiliki bon dari bengkel. Aku heran darimana dia mendapatkannya.
"Tuh bu saya nggak bohong," ujarnya sambil menyerahkan bon tersebut ke Bu Tuti.
Bu Tuti terlihat tidak percaya, tapi mau dikata apa, buktinya valid. Waktu Bu Tuti bertanya padaku pun aku mendukung cerita Reza. Akhirnya aku dan Reza bebas melenggang ke kelas. Reza berjalan sambil cengengesan sedangkan aku bingung darimana dia bisa mendapatkan bon yang ku yakin pasti palsu.
***
"Selain bon, alesan apa lagi yang kalian punya?" tanyaku saat jam istirahat. Aku sedang di kantin bersama teman-teman Reza—Beni, Dika dan Mansyur. Suasana kantin ramai, tapi seperti biasa, semua murid seakan mengerti kalau kursi di pojokan kantin ini adalah tempat empat sekawan ini.
Sambil mengunyah cilok yang dibeli Reza, Beni yang super cerewet dan penuh humor menjawab, "Surat dokter, surat tilang, topi SD, sampai nota belanja,"
"Nota belanja?"
"Itu mah si Beni aja. Jadi kalau terlambat dia punya alasan disuruh ibunya belanja dulu di warung grosir Pak Samad."
Aku menahan tawa membayangkan bagaimana seorang Beni yang sama bandelnya dengan Reza dan dua orang di sekitarku ini belanja kebutuhan warung Ibunya. Tapi ternyata warung grosir Pak Samad itu bukan fiktif. Memang Beni sudah langganan ke sana dan hampir setiap kesempatan ia meminta nota kosong untuk diisinya.
"Kalau topi SD?"
"Alasannya kita nganterin dulu adik, anak tetangga, anak Pak RT, Pak Lurah, ah siapa weh yang punya anak SD." jawab Beni. Logat Sundanya sangat kental.
Kali ini aku tertawa keras sampai terbatuk karena tersedak baso tahu yang sedang kusantap. Baru kali ini aku menemukan kelompok siswa tukang onar yang unik seperti mereka.
Reza buru-buru memberikan minum padaku. "Telen dulu, atuh."
Aku minum sangat cepat dan merasakan tenggorokanku sakit. "Kalian parah ih!" ujarku setelah selesai minum.
"Yeh, kamu yang keselek kita yang disalahin," protes Beni.
Semua tidak menanggapi. Dika lalu melontarkan pertanyaan lagi, "Gimana, Win, betah di Bandung?"
Aku mengangguk, "Memang banyak berubah sih dari terakhir aku tinggal di sini. Tapi masih dingin."
"Beda nya sama Jakarta? Kalau neraka punya free sample, tah Jakarta free sample-na." celoteh Beni.
Semua melempari Beni dengan apa pun benda terdekat. "Garing ah!"
Dari empat orang ini, Beni memang yang sangat komunikatif dan banyak omong. Dia juga suka melawak meski sebagian besar dari lawakannya berakhir garing. Dika dan Reza lain lagi. Mereka berdua memiliki imej keren dan cowok idaman. Selain wajah mereka memang di atas standar cowok di sekolah, reputasinya yang suka buat onar malah membuat para cewek tergila-gila. Lalu Mansyur, meski sama seperti ketiga temannya yang suka buat onar, Mansyur lebih banyak diam dan hanya menikmati obrolan temannya sambil sesekali menimpali. Mansyur ini yang paling pintar diantara keempatnya. Kalau waktunya ulangan harian atau PR, Mansyur lah yang diandalkan.
"Satu pertanyaan," ujarku. "Guru-guru nggak ada yang curiga gitu kalian suka bohong?"
"Sudah pasti curiga atuh!" ujar Beni. "Tapi da guru juga kayaknya bosen sama kita. Buku poin kita udah penuh,"
Alisku naik, "Terus kenapa kalian nggak kena SP? Atau malah dikeluarin harusnya?"
Reza tertawa. "Kalau kita diskors atau dikeluarin, siapa yang ngisi tim futsal?"
"Tah bener! Biar bet boy begini juga kita atlet kebanggaan sekolah." timpal Beni.
"Bad boy, meureun!" sela Mansyur.
"Emang aku bilang apa?"
Dika melempar pilus pada Beni. "Dasar belegug! Malu atuh sama Winda ngomong bad boy juga masih salah."
"Teu apal kamu? Itu teh bahasa Inggris aksen Cicadas. Sebelas dua belas lah sama aksen British."
Ketika kedua orang itu sedang ribut mencela Beni, Reza berkata, "Hari ini kamu pulang sendiri nggak apa-apa? Aku sama yang lain ada latihan. Kita dipanggil buat turnamen Jawa-Bali."
"Iya, no problem," jawabku. "Kapan turnamennya?"
"Dua bulan lagi," jawab Reza. "Harusnya kita nggak ikutan karena mau TC Porda."
"Terus?"
"Turnamen di Solo itu bawa nama sekolah. Hadiahnya juga lumayan. 10 juta buat yang menang." jawab Dika.
Aku terperangah. "Wiih, kalau kalian menang jangan lupa aku yang mendoakan kalian paling kenceng,"
"Salah," sela Beni. "Pasti Mamah aku dulu yang doain."
Dika menimpali, "Bapaknya Mansyur yang paling kenceng. Bapaknya ustad, sok mau apa siah?!"
"Oh iya, lupa." ujar Beni lalu menghampiri Mansyur dan mencium tangannya. "Salam buat Pak Ustad Dadang."
Kami masih terus bercakap-cakap dan sesekali melempari Beni dengan apa pun yang ada di meja sampai bel kembali berbunyi dan semua murid kembali masuk ke kelas masing-masing.
***
Di kelas, aku duduk satu meja dengan Sandra di jejeran kursi tengah. Keempat cowok gila itu duduk di deretan belakang, jauh dari pandangan guru. Tapi siapapun guru yang masuk ke kelas sudah otomatis melihat ke arah mereka, melihat apakah mereka masih lengkap atau ada yang menghilang.
Pukul dua siang, bel kembali berbunyi, menyelamatkan kami dari pelajaran bahasa Indonesia Bu Ida yang membuat ngantuk.
"Win, kamu jadi ikutan teater ga?" Sandra bertanya padaku sebelum ia beranjak dari kursinya. Tas ransel pink dengan motif burung sudah berada di punggungnya.
Aku lalu ingat saat hari pertama aku sekolah, Sandra menceritakan kalau ia ikut ekstrakulikuler teater. Ketika di Jakarta, aku juga ikut kegiatan yang sama. Hanya saja tidak sempat berkembang karena aku harus pindah ke Bandung.
"Kalau mau liat-liat dulu boleh, nggak?" tanyaku. Aku takut jadwal kegiatan itu menganggu jadwalku membantu Ibu yang hampir setiap hari selalu menerima pesanan, meski hanya 10 boks pesanan makan siang.
"Boleh, dong. Nanti aku bilang ke Kang Umar. Atau kamu mau ke sana hari ini? Ada latihan untuk FLS2N." ajak Sandra.
Boleh juga, pikirku.
Aku pun mengiyakan. Sandra lalu memberitahuku untuk ke ruangan seni jam 3. Aku mengangguk. Setelah Sandra keluar dari kelas, aku menghampiri Reza.
"Mau langsung pulang?" tanya Reza.
Aku menggeleng. "Aku mau liat yang latihan teater dulu. Kamu beres latihan jam berapa?"
"Bisa jadi Magrib," jawab Reza. "Mau sekalian nunggu?"
"Aku tanya dulu Ibu, deh. Takutnya ada yang harus aku kerjain."
Reza menggendong ranselnya lalu mengajakku berjalan keluar. "Makan dulu, yuk?"
Tanpa menunggu jawabanku, Reza berjalan di sampingku dan mengajak makan di warung Mak Asna yang berada di luar sekolah. Tempat itu biasanya jadi tempat berkumpul laki-laki untuk makan atau sekadar mengobrol ditemani segelas kopi. Para cewek yang mau makan di warung itu rata-rata memilih untuk dibungkus karena ada saja murid cowok yang genit dan suka mengejek.
Termasuk aku.
Saat pertama kali aku masuk ke warung Mak Asna, beberapa murid terutama cowok kelas dua belas seketika sahut-menyahut berbicara padaku. Aku sangat risih dan berniat untuk keluar dari sana. Tapi Reza yang selesai memarkirkan motornya datang bersama ketiga temannya membuat mereka terdiam. Sepertinya ada peraturan tak tertulis kalau cewek datang bersama salah satu dari penghuni tetap di sana tidak boleh diganggu.
Hari ini warung itu tidak begitu ramai. Hanya ada tiga cowok yang duduk di satu meja sambil menyantap makan siangnya. Reza menunjuk satu meja kosong dan mempersilahkanku duduk lebih dulu.
"Mau makan apa?" tanyanya.
Aku hendak menolak dengan alasan masih punya roti di tas. Tapi Reza keburu menyela.
"Kalau nggak makan nanti aku nggak mau tebengin kamu lagi. Tadi istirahat kan kamu cuma makan baso tahu aja. Belum sarapan lagi."
Lima menit kemudian Reza membawa dua piring ke meja. Satu miliknya dan satu untukku. Sebenarnya aku memang lapar. Tapi uang sakuku tidak cukup untuk membeli nasi dan harusnya juga aku langsung pulang untuk makan siang di rumah. Kondisi ekonomi keluargaku memang mengharuskan kami untuk berhemat, termasuk pengeluaran sehari-hari.
"Kamu teh bener pacarnya Reza, Win?" salah seorang dari ketiga cowok di meja sebelah bertanya. Sepertinya aku tidak asing dengan wajah mereka. Cowok-cowok itu anak kelas lain yang memang suka mengobrol juga dengan Reza.
Aku tidak menjawab dan memilih menyantap makananku.
"Euh sombong ditanya teh," seorang lagi menimpali.
"Berisik, lah!" Reza angkat suara. "Mau disiram air panas, nih?" ujarnya sambil mengangkat gelas besar berisi teh tawar panas.
"Nggak usah marah begitu atuh, Za. Cuma nanya," kilah salah satu dari mereka. "Ini mah biar jelas aja. Biar tidak ada dusta di antara kita,"
Tanpa aku duga, cowok itu menghampiri kami. Aku melihat tanda nama di dadanya bertuliskan Fauzan Ahmad. Fauzan lalu duduk di kursi di samping Reza.
"Kalau kamu beneran pacaran sama Winda, jadi jalan aku ngedeketin si Sasha kan lancar."
Alisku naik dan melirik Fauzan yang merangkul Reza. Apa hubungannya Reza dengan Sasha? Ada juga Sasha yang sangat gencar mengejar Reza.
Oh ya, Sasha adalah anak kelas lain. Sasha ini cewek populer dan punya geng cewek yang disegani. Semenjak kedatanganku di sekolah, aku tahu kalau Sasha tidak suka padaku. Sepertinya kalau bukan karena aku selalu di dekat Reza, geng Sasha pasti sudah menerorku. Mereka memang tipikal geng cewek populer yang selalu main keroyokan. Baru-baru ini aku mengetahui alasan sebenarnya Sasha benci padaku. Alasannya adalah karena aku bisa dekat dengan empat sekawan troublemaker sekolah ditambah karena Sasha suka dan mengejar-ngejar Reza. Setidaknya begitu kata teman-teman kelasku.
"Sok aja. Dia bukan urusanku," timpal Reza tidak peduli.
Fauzan lalu melihat ke arahku. "Hati-hati ya, Win. Jadi pacarnya Reza itu banyak resikonya, mau dari cewek atau cowok—"
"Udah sana, sana! Ganggu aja!" usir Reza sebelum Fauzan menyelesaikan ceritanya.
Fauzan mencibir, "Heu sensi!" ejeknya. "Oh, Za, jangan lupa nanti malem, ya!"
Aku melirik Reza. Ekspresinya berubah padam dan rahangnya mengeras. Aku tidak mengerti apa yang dibicarakan Fauzan dan alasan Reza menjadi marah. Tapi aku tidak berani bertanya lebih jauh. Sisa waktu makan siang itu berubah sangat canggung. Kalimat Fauzan tentang resiko dekat dengan Reza terngiang di kepalaku. Aku tahu reputasi Reza yang suka bikin onar. Tapi apakah sebahaya itu?
Reza terlihat biasa saja di hadapanku. Ia mengambil permen dari etalase dan memakannya satu, juga memberikan dua sisanya padaku. Selesai makan biasanya ia menyalakan sebatang rokok. Tapi karena aku selalu memprotes, akhirnya kami membuat kesepakatan kalau Reza tidak boleh merokok di hadapanku.
"Za?" tanyaku.
Reza memandang lurus kepadaku.
"Kok kamu nggak pernah protes kalau ada orang yang bilang aku pacar kamu?"
"Kenapa harus protes?" Reza bertanya balik. "Biarin aja. Nggak ada gunanya protes. Orang-orang tetep suka ngegosip."
"Memang nggak ada yang marah? Gebetan atau pacar kamu misalnya?" tanyaku lagi. Aku tidak mengerti kenapa terus membahas hal ini. Tapi jujur aku pun penasaran.
Reza tertawa, "Satu minggu kamu di sini, pernah liat nggak aku jalan chat atau jalan sama cewek?"
Aku menggeleng. "Tapi Sasha itu jelas-jelas suka sama kamu. Cowok populer kan biasanya pacaran sama cewek populer juga,"
Reza menarik pelan rambutku yang tergerai di bahu. Aku meringis.
"Kamu kebanyakan nonton sinetron sama baca novel," ujarnya.
Aku merengut. Reza salah besar kalau mengatakan aku suka nonton sinetron. Aku malah sering maksa Ibu yang kecanduan sinetron untuk ganti saluran. Tapi aku memang senang baca novel. Lagipula, apa salahnya baca novel? Lebih baik daripada nonton sinetron yang nggak jelas.
"Atau kamu nih ya, udah punya gebetan," godanya. "Gila baru juga seminggu di sini,"
"Ih apaan sih!" protesku memukul lengannya. "Siapa juga kayaknya yang suka sama aku."
Reza mencondongkan tubuhnya ke arahku. "Pertanyaan sebenarnya: siapa yang nggak tertarik sama kamu."
Aku tersipu. Sebenarnya aku malu blushing di karena Reza. Dia pasti malah makin mengejekku. Aku membalas, "Berati kamu juga, dong?"
Reza memasang wajah seakan berpikir keras. Kemudian ia berkata, "Engga, ah. Kamu suka kentut kalau lagi tidur," ucapnya keras-keras.
Sontak aku mencubit lengannya keras dan berteriak, "IH NGGAK USAH DIBILANGIN KENAPA, SIH?!"
"Aw! Iya iya, duh, lepasin!"
Untung saja tinggal kami berdua yang berada di warung. Hanya Mak Asna yang tersenyum-senyum melihat kami.
***