“Kamu yakin menginap di rumah Anita selama suami dinas di luar kota?” tanya Ibu untuk kedua kalinya saat melihat Kanaya sedang memperbarui beberapa pakaiannya ke dalam koper.
“Iya, Bu. Kalau suaminya sudah pulang dinas dari luar kota aku bakalan pulang. Lagian Egi dinasnya bareng Reyhan juga, kok,” jawabnya.
“Bilang aja kalau kamu mau menghindar dari Kakak karena malas mendengar ocehan ku setiap hari,” celetuk Karin yang baru saja selesai membuat susu untuk anaknya, Kenzo.
“Nah, itu Kakak udah tahu. Kakak memang yang terbaik! ”
Mendengar itu mata Karin mendelik, bibinya mulai dimanyunkan. Lalu dengan senang hati mendekap adiknya dari belakang dan menjejalkan tutup botol dot susu anaknya ke mulut Kanaya.
“Aduh! Kakak ini iseng banget deh! Ibu lihat kelakuan Kak Karin!” Kanaya berusaha meronta minta tolong kepada Ibunya. Kedua kakak beradik ini memang selalu saja menginginkan.
Ibu geleng kepala melihat tingkah kedua anak perempuannya yang sedari dulu tidak pernah akur. “Sudah! Kalian ini selalu saja. Karin? Cepatlah! Kenzo sudah kehausan nungguin susunya.”
“Ya, Bu.” Karin mempercepat langkah menuju kegelapan karena Kenzo sudah merengek minta susu.
“Terus malam-malam begini kamu mau naik apa ke sana?” tanya Ibu sedikit khawatir.
“Ehm… palingan aku naik taxi online aja, Bu.”
“Apa tidak sebaiknya kamu menunggu Bang Retno pulang? Biar dia bisa anterin kamu, Ibu khawatir kalau kamu sendirian ke sana,” Kata Ibu memberi saran dan menatap wajah Kanaya dengan raut wajah khawatir.
“Kalau nunggu Bang Retno kelamaan. Bang Retno jam segini aja belum pulang, mau sampai sana jam berapa?” keluhnya.
“Iya juga, Ibu perhatikan beberapa hari terakhir ini Retno sering pulang malam. Kasihan Karin kelelahan mengurus Kenzo yang lagi aktif-aktifnya, sedangkan tenaga Ibu udah nggak kayak dulu lagi.”
Kanaya tersenyum menatap raut wajah Sang Ibu yang mulai menua, lalu perlahan ia duduk di sampingnya. Menggenggam pernak pernik tangannya yang kini dihiasi kerutan dan serat-serat urat yang terlihat jelas. Tangan yang merawat ketiga putra putri dengan penuh kasih sayang. Wanita yang sering disebut “malaikat tanpa sayap” itu masih terlihat awet muda walau kerutan-kerutan jelas terlihat di beberapa tempat di wajahnya.
“Kanaya selalu berdoa agar Allah senantiasa memberi Ibu kesehatan agar bisa melihatku menikah nanti,” ujar kanaya.
“Menikah dengan Reyhan?” tanya Ibu dengan nada pelan sedikit meledek.
Seketika raut wajah Kanaya berubah, gadis itu tersipu malu. Dia langsung menunduk dan memandangi ponsel yang sedari tadi ia genggam. Bu Dewi sudah lama mengetahui niat Reyhan yang ingin melamar putri bungsunya itu dan dia setuju dengan hubungan mereka, karena Ayah mereka saling bersahabat sejak di Akademi Militer.
Bu Dewi mengangkat pelan dagu putrinya yang lima tahun lalu hampir kehilangan nyawanya itu. Wanita itu menatap dalam mata Kanaya, ada sesuatu yang Bu Dewi lihat dari kedua bola mata itu.
“Kamu mencintai Reyhan, Nak?”
Deg!
Kanaya sedikit terkejut mendengar Sang Ibu menanyakan hal itu. Sejauh ini dia merasa nyaman menjalin hubungan dengan pria bermata elang itu. Sebab, mereka sudah berteman lama sejak kecil. Akan tetapi, ia merasakan sesuatu yang mengganjal di hatinya. Bahkan ia sendiri saja tidak tahu. Apakah dia menerima lamaran Reyhan karena mereka bersahabat atau ada hal lain? Walaupun sebenarnya dia juga tahu bahwa Reyhan sangat mencintainya.
Kanaya kemudian bangkit dari duduknya dan melanjutkan memperbarui peralatan make up dan skin care-nya , hanya untuk menghindar dari tatapan Ibunya.
“Reyhan pria yang baik, Bu. Dia selalu ada saat aku membutuhkan. Yah, walau dia selalu sibuk bekerja, tapi dia selalu mengabariku. Dia begitu mencintaiku.”
“Ibu tahu Reyhan begitu menawan, Ibu bisa melihatnya dari matanya. Tapi, Ibu tidak melihatnya di matamu, sayang. Ibu merasa kamu hanya sedang berkompromi. Ada sesuatu di hati, kamu masih mengharapkan Mas Yudha mu kembali, kan?”
Hati Kanaya bagai batu karang yang pecah karena hantaman ombak. Ia langsung menatap wajah tua Sang Ibu dengan sedikit berkaca-kaca. Saya tidak menyangka bahwa Sang Ibu bisa membaca pikirannya. Memang, sampai detik ini perasaannya pada Reyhan tidak menentu.
“Percuma saja, Bu. Dia tidak akan pernah kembali. Tidak akan pernah. Ya sudah, Bu, semua sudah beres. Aku berangkat dulu, keburu malam.” Kanaya langsung mencium kedua pipi Ibunya.
***
Malam ini langit terlihat cerah, tampak beberapa bintang menghiasi langit kota Jakarta yang dipenuhi polusi. Kanaya sedang berjalan sambil mendorong kopernya menuju gerbang utama komplek perumahannya.
Banyak pasang mata yang memandang aneh dirinya. Tentu saja, dimalam hari yang hampir larut seperti ini seorang wanita berjalan sendirian dan sedang mendorong sebuah koper. Mereka pasti akan berpikir yang tidak-tidak. Tapi Kanaya tidak menghiraukan itu, dia termasuk wanita yang berencana dan tidak takut apapun. Dia tetap berjalan menuju penjual martabak langganannya sebagai buah tangan sebelum dia memesan taxi online.
Saat Kanaya sedang kerepotan dengan kopernya, sebuah panggilan masuk di ponselnya. sapa Anita menelepon.
“Kamu jadi ke rumahku, kan? Kok belum sampai juga?”
“Iya jadi kok, ini aku lagi mesen martabak telor dulu buat kita nonton drakor nanti.”
“Woah, oke kamu pinter banget! Saya tunggu!” Telepon berakhir.
Sudah menjadi kebiasaan bagi Kanaya apabila hendak menginap di rumah Anita. Gadis itu selalu membeli martabak telor untuk santap sambil menonton drama Korea favorit mereka untuk mengusir rasa jenuh.
“Bang? Martabak spesialnya dua ya?” ngomong-ngomong.
“Siap, Neng Naya!” Kanaya melempar senyum kepada penjual martabak telor itu yang hafal dengan dirinya lalu duduk di kursi plastik yang mati.
“Bang? Martabak istimewanya satu ya?”
Kanaya yang sedang asik berselancar di media sosialnya dikejutkan dengan suara yang sangat familiar di telinganya. Lantas ia langsung menoleh ke arah suara itu berasal.
“Mas Yudha?” tanya Kanaya terkejut.
“Hai, Kanaya.” Yudha sama sekali tidak menyangka bisa bertemu dengan gadis itu di tempat ini. sekilas ia memperhatikan barang-barang yang berada di samping gadis itu. “Malam-malam begini untuk apa membawa koper, kamu mau kemana, Dek? Kamu ada masalah di rumah?”
Kanaya mengangkat senyum kecil, “Oh, nggak kok. Aku mau menginap di rumah teman, kebetulan suaminya sedang dinas di luar kota. Aku perhatikan Mas suka martabak ya?”
“Iya, biasa untuk dimakan bersama kawan di asrama. Apa kamu sudah pesan taxi online?”
“Belum. Ada apa, Mas?”
“Kalau gitu kamu tunggu disini dulu, jangan kemana-mana! Aku akan antar kamu, aku pulang dulu sebentar, oke?”
Tanpa menunggu persetujuannya Yudha langsung menyerah menuju asrama. Gadis itu dibuat bingung melihat tingkah Yudha. Apa yang dia bilang beneran? batin Kanaya bertanya-tanya. Entah mengapa Kanaya begitu percaya pada pria itu sehingga ia rela menunggu datang, padahal pesannya sudah selesai dari tadi. Setelah lama menunggu, akhirnya Yudha datang dengan membawa mobil sedan berplat dinas. Dia berdoa turun dan langsung menghampiri gadis itu.
“Mas Yudha ini niat banget, sih. Padahal aku nggak minta buat anterin, aku juga bisa pesan taksi online. Kalau begini aku jadi ngerepotin Mas Yudha, nih.”
Yudha tersenyum, memperlihatkan dua cekungan di pipinya yang membuat dirinya terlihat semakin tampan. Senyuman yang kanaya rindukan selama ini. Ya Allah, senyuman itu…
“Bang? Nanti martabaknya biar kawan saya yang ambil. Yuk!”
Yudha langsung mengangkat koper itu dan memasukkannya ke dalam bagasi mobil. Lalu bukakan pintu untuk gadis itu. Kanaya merasa terenyuh dengan perlakuannya.
***
Selama dalam perjalanan, mereka tenggelam dalam diam. Kanaya sibuk memandangi suasana malam ibu kota Jakarta dari balik jendela mobil. Dirinya merasa sedikit gelisah dan gelisah. Karena setelah sekian lama terpisah kini mereka kembali hanya berdua di dalam mobil ini. Namun, dengan kondisi yang berbeda, Yudha kehilangan ingatannya. Membuat gadis itu merasakan dejavu . Seperti saat pertama kali mereka berdua di dalam mobil dahulu.
Yudha beberapa kali mencuri pandang ke arahnya. Dia ingin menanyakan sesuatu tapi enggan rasanya.
“Ehm, rumah teman kamu dimana? Sedari tadi kita jalan tanpa tahu arah begini,” kata Yudha.
Kanaya memasang jidatnya, ia baru sadar sedari tadi dia tidak memberi tahu Yudha alamat rumah Anita.
“Eh maaf! Ya ampun aku jadi lupa. Maaf ya?”
“Nggak apa-apa. Ngomong-ngomong kenapa kamu tidak minta diantar Reyhan? Reyhan kekasihmu, kan?”
“Reyhan lagi dinas di Makassar bersama suami Anita. Lagian aku juga udah biasa sendiri, kok.”
“Nggak boleh begitu, bagaimanapun kamu itu perempuan. Apa lagi malam-malam begini, rawan begal. Aku nggak mau kamu kenapa-kenapa.”
Mata Kanaya membesar dan berkaca-kaca, dia terkejut dengan ucapan Yudha barusan. Tidak menyangka dia peduli dengan dirinya sendiri. Kata-kata yang Yudha ucapkan mengingatkan kembali dengan Yudha yang dulu begitu membebaninya. Kanaya menyeka sudut matanya dan langsung mengatakan alamat rumah Anita, setelah itu mereka kembali tenggelam dalam diam.
"Dek?" tanya Yudha tiba tiba.
“Iya, ada apa, Mas?”
“Sebetulnya ada yang ingin Mas tanyakan, tapi Mas ragu.”
Kanaya mengangkat satu alisnya. Yudha menarik napas dan melemparkan pelan.
“Apakah kita sebelumnya pernah memiliki hubungan dekat?” Kanaya terbelalak mendengar pertanyaan Yudha. Mengetahui gadis itu kebingungan, Yudha langsung meralat kembali pertanyaannya itu.
“Ah, maksudku apa kita pernah dekat sebelumnya? Karena aku merasa kita pernah kenal cukup lama.”
Ya, kita pernah memiliki hubungan dekat. Bahkan lebih dekat dari yang kamu kira. Bagiku kamu bagaikan aliran darah yang mendinginkan jantung ini sehingga aku mampu bertahan dan menahan semua perasaan ini. Andai saja kamu mengingatnya. Kanaya menangis dalam hati.
“Eum, ya. Mas Yudha dan Bang Retno dulu adalah bawahan almarhum Ayahku. Kalian berdua merupakan prajurit terbaik waktu itu. Kalian berdua sudah bersahabat cukup lama,” jawab Kanaya. Dia berusaha keras menahan air mata yang hendak turun dari kelopak matanya.
“Pantas saja aku merasa sangat dekat denganmu. Dan aku baru tahu kalau ayahmu sudah….”
“Tidak apa-apa, Mas. Ingatanmu belum sepenuhnya pulih. Pelan-pelan saja untuk mengingatnya, jangan dipaksakan.”
Mereka berdua saling bertukar senyum.
Apa benar yang dikatakan gadis ini? Aku merasakan hal yang berbeda ketika berdekatan dengannya seperti ini. Sepertinya aku pernah mengalami situasi ini, batin Yudha.
Tak lama kemudian mereka akhirnya sampai di kediaman Anita di sebuah kompleks asrama militer di kawasan Cijantung. Wanita beranak satu yang mendengar deru suara mobil langsung bergegas membukakan pintu untuk menyambut sahabatnya itu.
Anita tersenyum saat melihat Kanaya yang baru saja turun dari mobil itu. Alangkah terkejutnya ia ketika mengetahui siapa pria yang sedang membantu Kanaya menurunkan koper.
“Ternyata rumah temanmu jauh juga. Bagaimana kalau kamu berangkat kerja nanti?”
“Aku bisa naik ojek online kok. Atau minjam motornya Anita.” Yudha mengangguk.
“Kalau begitu Mas pamit pulang dulu, sudah malam soalnya.”
Kanaya mengangguk dan memandangi punggung Yudha yang hendak membukakan pintu, sebelum Kanaya memanggilnya.
"Mas Yudha?"
“Iya, Dek. Ada apa?”
“Terima kasih banyak sudah mengantarku.”
“Sama-sama.” Yudha melempar senyum ke arahnya.
Akhirnya mobil Yudha berlalu meninggalkan Kanaya yang masih berdiri mematung. Tiba-tiba Anita sudah berada di sampingnya dan memasang bahu sahabatnya itu.
“Kok kalian bisa bareng gitu?” tanya Anita bingung.
“Ceritanya panjang. Yuk! Aku udah bawa martabak nih!”
Mata Anita langsung berbinar dan menarik lengan Kanaya untuk segera masuk ke dalam rumah.
***