Salim membuka jendela kamarnya, menatap sebentar bunga matahari yang terlihat indah di halaman rumahnya. Bunga matahari itu tumbuh dengan baik, bunganya mekar dengan sempurna, serta warna kuning bersih yang semakin indah kala sinar matahari menyinarinya.
“Arina, bunga yang kita tanam bersama itu, sekarang sudah tumbuh baik bahkan sudah bertambah banyak,” ucap Salim bermonolog,
Salim menghirup udara pagi dengan teratur merasakan oksigen bersih masuk ke dalam paru-parunya.
“Kamu benar, Na, akan ada hari di mana saat aku bangun pagi, aku merasa baik-baik saja, meskipun di hari itu kamu sudah pergi,”
Salim merasa air matanya jatuh menetes begitu saja setelah mengatakan kalimat itu, ucapan Arina yang terus terulang di kepalanya sampai hari ini.
Melihat lagi ke belakang satu tahun lalu, pantai di mana mereka memutuskan untuk bersama setelah perpisahan waktu itu, kini tepat di tempat ini pula mereka memutuskan untuk kembali berpisah, tidak ini bukan keputusan bersama namun permintaan Arina.
“Salim, terima kasih untuk semua hal baik yang kamu berikan di hidup aku,” ucap Arina kala itu,
“Bicaramu seperti orang mau pergi saja, Na," balas Salim lalu kembali memandang senja yang sebentar lagi terlihat,
“Memang, Lim, aku mau pergi,”
Seketika Salim menghentikan aktivitasnya melihat terbenamnya matahari, kini pandangannya beralih menatap perempuan di sampingnya itu dengan seksama,
“Kamu bicara apa sih, Na,” ucap Salim masih menyangkal,
“Aku mau pergi, Lim. Aku serius,” ujar Arina sekali lagi,
Secepat mungkin Salim menggeleng menyakinkan dirinya bahwa itu hanya sebuah candaan dari Arina,
“Aku gak bercanda, Lim. Aku serius,” ucapnya lagi dengan penekanan,
“Tapi kenapa, Na? Aku ingin tahu alasannya,”
“Kasihan ayah, Lim, sudah cukup ayah terluka kemarin, aku takut menyakiti ayah dengan keputusan menikah denganmu, aku tidak bisa membayangkan bagaimana sakitnya hati ayah bahwa anaknya menikah dengan anak tiri dari ibuku, tepatnya orang yang begitu ayah sayang,"
Salim terdiam, dari jutaan kalimat yang Arina sampaikan hanya hal ini yang tidak bisa dia sangkal ataupun dia jawab, harusnya Salim sadar bahwa sedari awal berada di posisi Arina itu menyakitkan.
“Jika kebersamaan kita menyakitkan untuk ayah, aku bisa apa, Na? Aku mencintaimu, namun aku juga gak mau hal berharga bagimu terluka,” jawab Salim dengan nada melemah, dia tidak sadar air matanya sudah turun,
“Jujur dua-duanya menyakitkan buat aku, Lim. Aku gak mau kita selesai tapi aku juga gak sanggup lihat ayah terluka,”
“Kamu orang baik, Lim. Aku ingin kamu lebih bahagia setelah kepergianku,” tambahnya,
“Aku harus mulai dari mana, Na? Jika bahagiaku sendiri sudah pergi,” jawab Salim terisak,
Arina tidak bisa membendung air matanya, melihat Salim menangis di depannya untuk kesekian kali begitu menyayat hatinya, Arina juga tidak ingin semua ini terjadi.
“Akan ada hari dimana saat kamu bangun di suatu pagi, semuanya akan terasa baik-baik saja, Lim. Percayalah hari itu akan datang, hari dimana kamu akan lebih menerima semuanya, hari dimana kebahagian-kebahagiaan akan menghampirimu kembali,” ucap Arina,
Salim memeluk Arina setelah itu, tangis mereka benar-benar pecah, ini adalah perpisahan yang sangat menyakitkan bagi keduanya.
"Na, setelah kehilangan mama, kehilanganmu juga sangat menyakitkan buat aku," jawab Salim dengan suara bergetar,
"Setelah ini, kamu harus bahagia, Na, kamu harus baik-baik di tempat baru, kamu harus selalu ingat bahwa aku akan selalu mencintaimu," imbuh Salim lalu mengeratkan pelukannya,
Mendengar ungkapan itu, hati Arina semakin sakit, dia harus melepaskan seseorang yang sangat mencintainya, dia akan kehilangan Salim untuk selama-lamanya.
"Lim, kamu juga harus bahagia setelah ini, dan kamu harus tahu satu hal bahwa kita pernah bahagia, ingat itu saja, Lim, terima kasih sudah mencintaiku sehebat itu, Salim Prasetya." pungkas Arina,
Salim tersenyum mengingat ingatan itu kembali,
“Kamu benar, Na, dan sekarang hari itu sudah datang.” ucap Salim mengulangi ucapannya lagi, lalu menutup kembali jendela kamarnya.