Rumah dengan gaya Jepang itu masih utuh bukan hanya bangunannya namun juga penghuninya, semenjak hal itu, Hakim dan Rika masih bersama, mereka sepakat untuk memperbaiki bagian-bagian yang bolong bahkan rusak di dalam hubungan mereka kemarin. Adanya kesempatan untuk berbenah, untuk merenungi kesalahan masing-masing itu yang Hakim dan Rika pilih.
Salim menghargai keputusan mereka tanpa menghakimi satu sama lain, mencoba menerima semua kembali seperti sedia kala meskipun tidak sama persis.
Salim membawakan secangkir teh hangat dan cemilan kue kering kepada ayahnya yang sedang bersantai membaca buku di perpustakan kecil milik keluarga mereka, dia duduk di depan ayahnya lalu meletakkan apa yang dia bawa.
“Diminum yah,” ucap Salim,
Hakim mengangguk lalu dia mengambil teh anaknya bawakan untuknya.
“Yah, Salim mau tanya, kalau misal Arina pergi lagi gimana, Yah?” tanyanya,
Hakim menghentikan aktivitas membacanya, dia menaruh buku itu kembali pada raknya.
“Lim, kita gak bisa maksain suatu hal yang ada diluar kendali kita. Kalaupun nanti Arina pergi, berarti itu keputusannya dan kamu harus menghargai itu. Tidak mudah memang diposisi Arina saat ini dan kamu gak bisa maksa dia buat tetap terus tinggal. Dan sekarang saat Arina memutuskan untuk kembali bersama, jaga dia baik-baik, buat dia selalu senang,” jawab Hakim dengan sikap bijaknya seorang ayah,
“Selamanya itu gak ada, Lim. Di dunia ini semua hanya sementara. Semua akan berubah dan hilang kalau massanya tiba,” lanjutnya,
“Berarti cinta juga bakal hilang, Yah?”
“Iya, apapun itu, semua bakal hilang, Lim,”
“Tapi dari hal yang hilang dihidup kita itu, buat kita sadar bahwa semua yang telah pergi berarti bagi kita. Kamu tahu kenapa mama pergi dulu?”
Salim menggeleng lemah atas pertanyaan yang diberikan oleh ayahnya itu,
“Karena mama berharga dan berarti di hidup kita, Lim. Mama pergi karena waktunya bersama kita sudah habis,” ucap Hakim,
Salim mulai tersadar, apa yang ayahnya bilang semua benar dan mampu menyadarkannya bahwa segala sesuatu itu pasti akan pergi, begitu juga dengan rasa cinta. Dia bersyukur mempunyai sosok ayah yang benar-benar berperan dengan sangat baik untuk dirinya.
Pergi tidak selamanya buruk, kepergian seseorang justru menyadarkan kita bahwa seseorang itu benar-benar berarti di hidup kita. Awalnya memang menyedihkan, menyesakkan, namun setelah itu kita akan tersadar bahwa dari adanya kepergian, menandakan bahwa massa kita dengan seseorang itu sudah berakhir.
Tidak perlu disesali jika hal itu terjadi, nikmati saja waktu dengannya, buatlah momen-momen indah yang suatu hari nanti akan dikenang, biarkan kenangan itu abadi selamanya.
Secangkir teh itu menemani mereka menghabiskan waktu dihari minggu yang cukup teduh, sinar matahari yang bersembunyi di balik awan-awan menjadikan Jakarta hari ini tidak terlalu panas seperti biasanya.
****
Mobil jazz putih melaju dengan kecepatan sedang di jalanan Jakarta, seperti biasa Jakarta yang tidak pernah sepi. Mungkin jika diibaratkan, jalanan Jakarta seperti manusia insomnia, susah tidur. Bedanya kalau manusia insomnia bisa tertidur hanya mengalami kesulitan untuk bisa terlelap, namun jalanan Jakarta yang tidak bisa terlelap barang sebentar.
Lampu-lampu jalan menambah penerangan diselingi pohon dan tiang-tiang listrik namun perbandingannya jelas banyak tiang listrik. Salim terus memacu mobilnya untuk segera menjemput Arina di tempat kerja, dengan lokasi yang cukup jauh dari rumahnya, Salim berangkat lebih awal agar Arina tidak menunggu.
Ini pertemuan kedua setelah mereka bertemu di pantai kala itu, mereka sudah kembali seperti biasanya pasca dari kejadian yang membuat hubungan mereka sempat terhenti. Salim juga sudah mengetahui tempat tinggal Arina yang baru, dia juga bisa kembali untuk membawakannya bunga matahari untuk sekedar mengganti bunga layu ke dalam vas kaca milik Arina di rumah.
Semua berjalan seperti semula, bedanya kini mereka sama-sama tidak terlalu berharap, terlebih Arina, dia sudah bersiap-siap jika suatu hari nanti hal-hal yang tidak menyenangkan itu kembali menggunjang hubungannya, Arina sudah siap dengan risiko terburuknya, yaitu berpisah kembali.
Mobil Salim sudah terparkir di halaman rumah Arina, tampak Arina dan Panama sudah menunggunya di luar. Mereka hari ini akan menjenguk ayah Arina, membawakan makanan favorit serta bunga tulip untuk mengganti vas bunga di ruang rawat ayahnya.
Mereka bertiga masuk ke ruangan Hans, Arina dan Pana langsung memeluk ayahnya, mereka memang sedang merindukan ayahnya itu, Salim tersenyum melihatnya, dia pun mencium tangan Hans, Arina mengganti bunga yang sudah cukup layu dengan tulip segar yang dia bawa. Pana dan Salim menyuapi Hans yang sedari tadi makan dengan lahap, Arina tersenyum melihat interaksi mereka berdua, rasanya semua orang yang membuatnya bahagia berkumpul di hadapannya membuatnya semakin senang.
Ingin sekali waktu berhenti sejenak, Arina mengeluarkan kamera analog pemberian Salim lalu memotret mereka bertiga.
Benar yang Salim bilang bahwa foto adalah hal sederhana namun istimewa, di dalamnya tersimpan kenangan yang berharga. Momen-momen yang hanya terjadi sekali dan tidak terulang lagi.
Bisakah waktu berhenti sebentar, Tuhan? Aku ingin lebih lama melihat mereka tersenyum seperti ini. batin Arina,
Salim melihat kearah Arina yang sedang melihat mereka dengan seksama, Salim menggandeng Arina untuk ikut berkumpul bersama, Salim menggenggam erat tangan Arina.
“Ayah senang hari ini, tadi makan lahap sekali,” bisik Salim,
Arina tersenyum lalu memeluk Salim, kaget adalah hal pertama yang Salim rasakan, tumben sekali Arina berani memeluknya terlebih dahulu ditambah di depan Pana dan juga Ayahnya.
“Aku juga senang, Na.” salim membalas pelukan hangat itu.