Hari minggu yang cerah, bertepatan dengan ulang tahun ayah Arina, dari pagi Salim, Panama dan Arina sudah terlihat sibuk mempersiapkan berbagai keperluan untuk merayakan ulang tahun ayahnya, Salim membawa banyak balon dan alat pendukung lainnya.
Panama masih sibuk meniup balon-balon itu, disisi lain Arina yang sudah membeli bunga namun dia pilih untuk membuat buket bunga itu sendiri agar lebih spesial, sedangkan Salim dia mencoba menyibukkan dirinya dengan membuatkan Arina dan Panama es teh di dapur, Salim sudah meminta untuk membantu Arina merangkai bunga namun Arina menolak dan bilang Salim hanya akan merusak bunganya. Dan Salim pun menyadari kalau memang dia nanti bagian memotret saja karena itu sudah menjadi keahliannya.
Setelah semua perlengkapan selesai mulai dari balon, buket bunga, dan kue ulang tahun, kini ketiganya sudah dalam perjalanan, wajah bahagia mereka terpancar terlebih Arina dan Panama yang sangat antusias untuk bertemu ayahnya itu. Salim merasakan energi bahagia yang terpancar dari keduanya.
“Udah gak sabar ya ketemu ayah?” Tanya Salim yang masih fokus menyetir,
“Iya dong kak, Pana mau cerita banyak sama ayah di hari ulang tahunnya.” Panama menjawab dengan antusiasnya sembari mengecek balon-balan dan perlengkapan lainnya sudah benar-benar sempurna.
“Kalo kamu, Na?”
Arina mengangguk dan tersenyum, terlihat hari ini dia tidak banyak bicara namun Salim bisa merasakan perasaan senang yang dia rasakan saat ini. Mobil sudah terparkir, kini mereka sudah siap dengan barang bawaan, tangan mereka penuh dengan semua barang bawaan, tidak lupa kamera sudah terkalung di leher Salim. Mereka menuju ruangan dimana ayahnya dirawat, sebelumnya Arina sudah berpesan kepada perawat disana bahwa dia akan merayakan ulang tahun ayahnya bersama. Mereka perlahan membuka pintu dan terlihat Ayah Arina sedang duduk di kursi roda bersama seorang perawat yang menjaganya. Nyanyian selamat ulang tahun mereka nyanyikan untuk ayah mereka, Salim pun sudah memotret beberapa momen indah ini, terlihat senyum bahagia mereka di ulang tahun ini.
Arina dan Panama memeluk ayahnya itu, pelukan hangat, pelukan kerinduan, rindu akan kehadiran sosok ayah yang selalu menjadi kekuatan mereka. Arina menaruh buket bunga itu di meja kecil di samping tempat tidur ayahnya, serta mengganti bunga yang ada di vas itu dengan bunga yang dia bawa kesini. Panama dan Arina kini meniup bersama-sama lilin setelah sesi berdoa, dan sedari tadi Salim tidak berhenti untuk mengabadikan momen spesial ini.
“Selamat ulang tahun ayah, Panama harap ayah cepat sembuh dan secepatnya bisa kumpul bareng aku sama kak Arina.” Ucap Panama yang kini masih memeluk ayahnya,
“Selamat ulang tahun ayah paling hebat sedunia, Arina bersyukur lahir sebagai anak ayah, ayah cepat pulih ya, biar bisa nemenin Arina sama Pana menjalani kehidupan ini.”
Arina mengatakannya sambil menahan air mata yang sudah membendung itu, meskipun tidak ada respon dari ayahnya, namun melihat ayahnya saja sudah cukup bagi Arina. Salim mendekat ke arah mereka, dia meraih tangan ayah Arina lalu salim dan mencium tangan Pak Hans seperti dia mencium tangan orang tuanya.
“Selamat bertambah umur, om. Mereka hebat ya om, pasti karena anak om ya, mereka juga baik pasti karena anaknya om juga, dan mereka kuat ya om pasti juga karena mereka anak om. Cepat pulih dan cepat pulang ke rumah om, biar mereka tambah senang.”
Ucapan Salim membuat mereka terharu, Panama langsung memeluk ayahnya serta Salim disitu, Arina pun mengikuti memberi pelukan setelahnya. Mereka berempat berpelukan, saling menguatkan dan saling bersyukur memiliki satu sama lain. Salim mengambil kameranya lalu mereka berswafoto berempat, tidak hanya sekali jepretan namun banyak sekali foto-foto yang diambil. Arina sampai menyuruh Salim untuk berhenti mengambil fotonya, namun Salim tetap menolak dan tetap mengambil banyak candid dari mereka. Kunjungan mereka pun selesai, setelah berpamitan, kini mereka bertiga sedang dijalan pulang. Salim memberikan kamera analog miliknya itu kepada Arina agar bisa Arina lihat.
“Lim, ini kamera baru ya?” Arina bertanya karena dia baru menyadari bahwa kamera milik Salim ini baru dia lihat.
“Iya, Na. Waktu tiga hari lalu kamu bilang mau ngeranyain ulang tahun ayah, aku kepikiran buat beli kamera analog ini, biar khusus foto momen-momen indah kamu.”
Entah berapa kali Salim membuatnya merassa orang paling beruntung sedunia, dia benar-benar tahu cara membuat dirinya bahagia.
“Lim, kamu kenapa benar-benar tahu caranya buat aku mau nangis senang sih?”
“Ya karena kamu berharga buat aku, Na.” Jawab Salim menoleh sebentar kearah Arina lalu pandangannya fokus lagi ke jalan.
“Aku pengen selalu ada di momen-momen bahagia kamu, aku pengen mengabadikan kamu lewat kamera ini, aku gak mau lewatin setiap momen kamu senyum, aku mau abadikan momen itu. Kalau pun aku buat jadi album, seratus album foto pun gapapa kalau isinya kamu dan semestamu, Na.” Salim melanjutkan ucapannya,
Di kursi belakang Panama sudah terisak haru mendengar sekaligus melihat bahwa kakaknya begitu disayangi oleh Salim, Panama sangat iri dengan Salim, dia merasa tersaingi dalam menyayangi kakaknya itu, Panama benar-benar belajar banyak dari Salim terutama dalam memperlakukan perempuan. Arina juga kini malah terisak dan mengalihkan pandangannya ke kaca samping dan memilih melihat jalanan ibu kota, wajahnya kini sudah memerah dengan hidung yang ikutan memerah karena tangisnya itu. Salim tertawa kecil melihat pemandangan kakak beradik ini sedang menangis bersama-sama.
“Udah dong kalian jangan nangis.” Salim mengelus rambut Arina lalu menepuk pelan pundak Panama agar berhenti menangis.
“Hari ini Panama mau makan sushi, gamau tahu, gara-gara kak Salim buat Pana nangis, Pana jadi lapar.” Jawab Panama dengan lucunya namun masih terdengar isakan darinya.
“Mari kita makan sushi yang banyak.” Salim menjawabnya kemudian tertawa kecil melihat tingkah Panama yang menggemaskan.
Kini mereka bertiga sudah berada di sebuah restoran jepang favorit Salim dan Arina, di hadapan mereka sudah terhidang banyak sekali sushi, mulai dari norimaki, nigiri sushi dengan toping ikan tuna yang merupakan menu favorit Arina, nigiri sushi namun dengan fillet ikan salmon yang merupakan makanan favorit Salim, Salim alergi dengan tuna jadi dia memilih salmon sebagai gantinya. Dan masih banyak lagi.
Disela-sela mereka menghabiskan makanannya, Arina mengambil kamera analog milik Salim kemudian memotret Salim dan Panama yang sedang memakan lahap sushi mereka.
“Makannya dihabisin dulu Arina.” Pinta Salim Namun Arina menghiraukan ucapan Salim dan lanjut memotret lagi,
“Katamu kan kamera ini khusus buat mengabadikan momen-momen indah aku kan, Lim.” Jawab Arina,
“Sama kamu juga merupakan momen indah buat aku, Lim.” Lanjut Arina dengan senyum manis lalu mengarahkan kamera ke Salim dan memotretnya kembali.
Salim tersenyum dan kini berpose dengan menunjukkan jempol saat Arina kembali memotretnya.
“Dunia ini tidak terlalu baik, Lim. Sulit untuk menemukan seseorang yang benar-benar berharap bahwa aku baik-baik saja. Bahkan aku tidak menemukan sosok seperti itu di diri mama aku. Tapi justru orang itu kamu, Lim. Orang asing yang bahkan lebih peduli dari siapa pun. Aku ingin kamu tetap disini bersamaku, dan gak mau kamu pergi kemana-mana.” Ujar Arina yang kini beralih fokus menatap Salim dengan tatapan teduh.
Salim hampir meneteskan air mata, dia senang sekaligus sedih mendengar ucapan Arina barusan. Terdengar ada luka yang menyakitkan hatinya namun kehadirannya memberi obat untuk menyembuhkan luka itu. Mereka berdua sampai lupa bahwa sedari tadi Panama melihat kebucinan mereka. Sampai-sampai dia tersedak sushi yang sedari tadi dia makan, mungkin karena sampai terharu melihat mereka bahagia seperti ini.
“Kalo makan pelan-pelan, Pana.” Ucap Arina lalu menyodorkan air putih untuk Panama,
“Aku keselek, kakak masih nyalahin aku karena makan gak pelan-pelan? Aku keselek karena liat kalian bucin gini. Tolong hargai jomblo seperti saya ini.” Jawab Panama dengan wajah yang memelas. Arina dan Salim yang melihatnya hanya tertawa, lalu kembali melanjutkan menyantap sushi mereka yang sudah dingin itu.
“Makanya cari pacar, Nam. Biar nanti bisa double date.” Ujar Salim memberi saran dengan tatapan ke arah Arina seakan memancing singa betina itu,
“Gak ada pacaran, kamu harus fokus sekolah dulu.” Arina langsung membantah saran dari Salim,
“Tuh kan kak, kak Arina tuh gak kasih izin, padahal Pana kan anak baik, gak bakal macam-macam.” Pana memberi pembelaan,
“Iya kakak percaya kamu anak baik, kakak cuman gak mau nanti kalau kamu udah punya pacar, kamu gak sayang lagi sama kakak.” Ucap Arina dengan tetap mempertahankan argumennya.
“Kak, aku gak pandai ngomong tapi kakak harus tahu kalau aku sayang sama kaka, kalau pun reinkarnasi dan aku bisa memilih untuk jadi Bill Gates atau Ronaldo aku akan tetap milih buat jadi adiknya kakak.” Jawab Panama dengan tatapan serius dan terlihat tulus kepada Arina.
Lagi-lagi Arina dibuat terharu hari ini dengan dua laki-laki yang dia sayangi, pertama dia dibuat terharu oleh Salim dan sekarang dia dibuat terharu oleh adik satu-satunya itu. Mungkin Panama sudah tertular oleh Salim yang bisa membuat hati Arina benar-benar menghangat, kata-kata yang menenangkan baginya, namun bukan sekedar kata tetapi disertai tindakan nyata.
Tanpa aba-aba Arina langsung memeluk adiknya itu, dia tidak memedulikan orang-orang sekitar yang melihat dirinya. Arina benar-benar senang hari ini. Dia memeluk adik satu-satunya itu dengan penuh kasih sayang, Panama membalas pelukan tulus itu dari kakaknya, dia sangat bersyukur bisa terlahir sebagai adiknya. Salim tersenyum melihat pemandangan adik kakak yang benar-benar menyentuh hati, mereka saling menguatkan satu sama lain dan menyayangi satu sama lain.
“Terima kasih tidak pernah meninggalkan dalam situasi apapun, Terima kasih selalu ada disisi kakak, selalu support kakak, selalu menyayangi kakak, dan terima kasih kamu terlahir jadi adik kakak, kakak sayang banget sama kamu.” Ucap Arina mengeratkan pelukannya, Salim benar-benar banyak belajar dari kakak beradik ini, belajar untuk tetap saling ada untuk satu sama lain, dan tidak pernah meninggalkan.