Hari ini Salim berencana untuk mengenalkan Arina dengan ayahnya, Salim sengaja mengenalkan Arina dengan ayahnya dulu, bukan Salim tidak dekat dengan ibu tirinya, hanya saja Salim ingin mengenalkan Arina dengan ibu tirinya nanti setelah ayahnya benar-benar memberikan lampu hijau untuk hubungan mereka, meskipun Salim yakin ayahnya pasti mendukungnya bersama Arina. Salim mengetikkan pesan singkat kepada papanya untuk bisa menemuinya di happiness coffee shop tempat dirinya bersama Arina. Hakim menerima pesan anaknya itu dengan senyuman.
“Anakku sudah dewasa.” ucap papanya,
Di happiness coffee shop, Arina dan Salim sudah sampai lebih dulu, sedari tadi Arina mengomel kepada Salim kenapa secepat dan mendadak mengenalkannya dengan ayah Salim.
“Salim, aku takut, kenapa harus dadakan. Tahu gitu semalam aku persiapan buat latihan interview.” Ucap Arina yang masih mengomel,
“Kamu tuh lucu, Na. Ini bukan mau wawancara kerja, tapi mau ketemu papa. Udah kamu bersikap biasa aja, papa pasti suka sama kamu. Mana mungkin papa nolak dapat calon menantu yang cantiknya gak wajar gini.”
“Ihhh kamu masih bisa gombal,”
“Gak gombal, Na. Kamu tenang ya,”
Salim memegang erat tangan Arina, menyakinkannya agar tetap tenang. Yang ditunggu pun akhirnya tiba, terlihat sosok pria paruh baya yang memakai setelan jas kantoran, dengan perawakan tinggi serta penampilannya yang terlihat masih gagah untuk seusianya sekarang, wajahnya pun tampak masih segar.
Hakim duduk di sebelah Salim dan Arina, mereka pun bersalaman, terlihat wajah Arina yang tampak gugup, pertama kalinya dia dikenalkan dengan ayahnya Salim. wajah Salim ternyata mirip sekali dengan ayahnya, bagai pinang dibelah dua namun terdapat dua versi, versi tua dan muda.
“Oh ini yang namanya Arina Naladhipa?”
“Namanya bagus, sama seperti orangnya. Pantas saja anak om jatuh cinta sama kamu.” Ucap Hakim memulai percakapan,
Arina hanya tersenyum malu-malu mendengar pujian dari ayahnya Salim.
“Iya, tepat banget ya, Pa. Papa kasih izin kan kalau Salim mau serius sama Arina?” Ujar Salim langsung pada intinya,
“Salim, Kamu udah dewasa, perihal pasangan itu hak kamu mau pilih siapa saja, Papa disini tugasnya cuman dukung kamu. Papa setuju sama apapun keputusan kamu, papa dukung itu.” Jawab Hakim yang membuat Arina dan Salim tersenyum,
“Makasih ya, Om. Udah mau menerima aku, udah izinin aku buat sama Salim.”
“Iya, Nak. Makasih juga ya, udah buat anak om ini bahagia,”
“Iya, om. Arina juga bahagia.”
“Pa, Salim mau bilang makasih, selalu dukung apapun keputusan Salim, Salim seneng.”
“Papa juga ikut seneng, Lim. Oh iya, Lim. Kapan-kapan Arina diajak ke rumah buat makan malam, sekalian kamu kenalin sama mama,”
“Iya, Pa. Nanti Salim ajak Arina ke rumah,”
Salim yang sangat senang mendengarnya langsung memeluk erat papanya, tidak peduli orang sekitar melihatnya, yang terpenting saat ini dirinya sangat bahagia.
“Makasih ya, Pa.”
“Makasih ya, Om Hakim.”
Hakim mengangguk, dirinya juga senang Salim sudah tumbuh menjadi pria yang baik. Arina tersenyum, dia disambut begitu hangat oleh ayah Salim, Arina merasakan sosok ayahnya ada di diri Hakim, Lagi-lagi Arina tidak berhenti bersyukur sama Tuhan sudah dipertemukan dengan orang-orang baik seperti Salim dan Om Hakim. Dari topik pembicaraan mereka yang serius ini kini mereka memilih untuk memesan beberapa makanan dan minuman terlebih dahulu agar dapat menjadi teman obrolan mereka.
“Mbak, saya pesan coklat panas satu, trus spagetti carbonara,” Salim mulai membacakan pesanannya,
“Saya red velvet ice satu mba, makanannya steak aja mbak,” giliran Arina,
“Buat ayah pesan jus mangga aja sama nasi goreng mbak.”
Belum sempat ayahnya mengucapkan pesanannya, Salim sudah terlebih dahulu memesannya, karena dia memang tahu menu favorit ayahnya itu. Arina tersenyum melihat kedekatan mereka berdua, Salim memang anak yang baik, dia mengingat hal-hal sederhana yang disukai oleh orang-orang tersayangnya. Tak lama setelah itu, Salim tersenyum melihat interaksi antara Arina dan ayahnya yang sudah mulai akrab.
“Om, Arina mau tanya,”
“Iya, nak. Tanya aja nanti om pasti jawab.”
“Salim suka banget ya om sama minuman rasa coklat?”
Hakim tertawa kecil mendengar pertanyaan random dari Arina, ekspresi Arina yang sangat serius dengan wajah manisnya itu membuat Salim semakin gemas saja.
“Aku kira kamu mau tanya kapan kita nikahnya, Na.” Salim ikut-ikutan menimbrung obrolan mereka,
“Ih kamu, orang aku tanyanya sama om Hakim bukan kamu,”
“Udah jangan ribut, yaudah om jawab ya. Salim itu emang suka banget sama minuman yang rasa coklat, pernah dulu waktu SD om belikan rasa lain, dia gamau dan sampai sekarang Salim gak pernah coba rasa lain, katanya kalau udah suka sama satu hal ya udah itu terus. Emang anaknya sesetia itu meskipun sama minuman.”
“Oh gitu ya, Om. Aku kira yang di bilang Salim kemarin itu cuman cerita karangannya aja.”
“Lim, giliran ayah mau tanya.”
“Apa yah?”
“Emang kamu gak bosan?”
“Kalau Salim bosan, Salim tinggal ubah cara menikmatinya yah, tanpa mengubah atau bahkan menggantinya, sama halnya dengan hubungan kan yah, fase bosan itu pasti ada tinggal bagaimana kita mengatasi bosan itu agar tetap kembali menyenangkan.”
Hakim tersenyum mendengar ucapan anaknya itu, dia senang anaknya tumbuh menjadi pria dewasa yang baik.
“Kamu tumbuh jadi pria baik, nak. Ayah bangga. Di surga mama pasti bangga. Melihat putra satu-satunya tumbuh dengan sangat baik.”
“Mama gak nyesel kan yah, punya anak kayak Salim,”
“Mama sama papa bangga nak.”
Entah berapa kali dalam hati Arina mengucapkan bahwa Salim memang benar-benar laki-laki baik, Arina melihat Salim seperti melihat sosok ayahnya dimana kepribadiannya hampir sama.
Semoga selamanya ya, Tuhan. Arina mengucapkan itu dalam hatinya,
Dia sangat bersyukur Tuhan mengirimkan Salim di hidupnya. Pesanan pun datang, kini mereka bertiga menikmatinya dengan senang, Arina sudah terlihat akrab dengan Hakim pun sebaliknya, mereka sama-sama nyaman dan nyambung. Setelah mereka selesai makan, pak Hakim pamit untuk pergi terlebih dahulu karena harus menyelesaikan pekerjaannya lagi, Salim membukakan pintu mobil untuk Arina, diperjalanan pulang Arina terus menggenggam tangan Salim, Salim yang menyadarinya menjadi sedikit heran sekaligus senang karena ini pertama kalinya Arina menggenggam tangan Salim terlebih dahulu tanpa Salim minta.
“Pertama kali ini kamu pegang tangan aku dulu, biasanya juga aku yang duluan,” ledek Salim,
“Kenapa? Gak boleh? Yaudah kalo gak boleh.” Arina melepaskan tangannya, lalu sesegera mungkin Salim menarik kembali tangan itu dan dia genggam lagi dengan eratnya.
“Udah gini aja ya, aku senang.”
“Lim, kenapa kamu baik banget si jadi orang.”
“Mau aku jahat?”
“Ya jangan,”
“Kata mama kalau kita baik sama orang nanti Allah kasih orang baik juga buat kita, Na. Dari dulu mama sering bilang gitu. Kamu tahu gak, kalau mama orangnya baik banget dan sabar, mama gak pernah marah waktu dulu aku coret lukisannya, mama malah bilang gini Salim yang hati-hati ya, jangan ceroboh.”
“Harusnya dari dulu ya, Lim. Biar bisa kenal sama mama kamu,"
“Mama juga udah kenal kamu, Na. Kan udah aku kenalin waktu di pemakaman,”
“Aku kadang iri sama kamu, mama aku gak kayak mama kamu yang sayang banget sama kamu bahkan sampai akhir hidupnya, sedangkan mama aku malah ninggalin aku sekeluarga sampai udah punya keluarga baru lagi,”
“Kamu gak mau cari tahu mama kamu sama keluarga barunya, Na?”
“Buat apa, Lim. Aku ikut bahagia kalau mama bahagia meskipun bukan sama aku, Panama dan Ayah.”
Salim ikut merasakan kesedihan Arina tentang mamanya, tangan Salim merangkul pundak Arina lalu membiarkannya bersandar di bahunya, mengelus pelan rambut halus milik wanita yang dicintainya itu.