Mulai hari ini Arina sudah keluar dari toko bunga milik Arkan, dirinya memilih berhenti karena memang seharusnya memang begini. Sejak hari itu Arina tidak pernah menghubungi Arkan, dia tidak ingin mengganggu hubungan Arkan bersama Chelsea.
Di rumah sakit Chelsea dan kedua orang tua Arkan, sudah diperbolehkan untuk masuk ke dalam ruangan. Terlihat Arkan masih belum sadarkan diri setelah kepalanya terbentur begitu keras. Tangannya telah tertanam infus.
“Tan, Tante sama Om makan dulu ya, biar Arkan aku yang jagain.”
Mama dan Papanya Arkan mengangguk setuju, kini mereka keluar dari ruangan Arkan. Chelsea mengambil posisi duduk persis di samping Arkan, menggenggam erat tangan Arkan.
“Ar, Aku khawatir kamu kenapa-napa. Kamu cepet sembuh ya, kasian mama papa kamu sedih terus.” Ucap Chelsea lalu mendekatkan bibirnya kemudian mencium kening Arkan cukup lama.
“Aku sayang kamu, Ar.”
Terlihat jari-jari Arkan mulai bergerak, Chelsea yang melihatnya pun sangat senang, segera dia panggilkan dokter untuk mengecek kondisi Arkan.
“Arkan sudah sadar, dia butuh istirahat yang cukup dulu, jangan banyak bergerak kepalanya habis kebentur keras.” Ucap dokter Adrian kepada Chelsea.
“Arkan baik-baik aja kan, dok?”
Dokter itu mengangguk lalu meninggalkan ruangan. Chelsea mengerti, dia langsung mendekat ke arah Arkan lalu memeluknya.
“Chel, meluknya jangan kenceng-kenceng aku gabisa napas.” Ujar Arkan dengan suara yang serak,
“Eh iya maaf, Ar. Habisnya aku seneng banget kamu udah sadar.”
“Mama sama papa mana, Chel?”
“Mereka lagi makan dulu, kasian dari tadi belum makan."
“Chel, tolong ambilin hp aku, Aku mau kabarin Arina.”
Chelsea mengiyakan setuju, nanti saja jelasin semua soal Arina pikirnya, biar orang tua Arkan juga ikut menjelaskan kepada Arkan. Arkan menelfon Arina, berdering cukup lama. Kemudian terdengar suara Arina.
“Na, kamu dimana?”
“Aku mau kita selesai, Ar. Kamu jangan hubungi aku lagi. Aku gamau ganggu hubungan kamu sama Chelsea.” Pungkas Arina.
Suara telepon Arina terputus, Arkan langsung memandang Chelsea dengan tatapan penuh pertanyaan.
“Chel, ada apa ini? Tolong jelasin.” Pinta Arkan,
“Harusnya aku tanya gini sama kamu, Ar. Kenapa kamu belum jelasin semua tentang kita sama Arina.”
“Aku gamau bahas ini dulu, kamu harus sembuh dulu, nanti kita bahas masalah ini.” Minta Chelsea.
Arkan mengangguk lemah, dia juga harus sembuh dulu, hal ini adalah hal yang ditakukan Arkan jika sampai terjadi dan sekarang sudah terjadi. Arkan mengakui jika dirinya egois, dia tidak ingin kehilangan Arina dan kehilangan Chelsea. Meskipun hatinya hanya untuk Arina namun Chelsea juga punya ruang sendiri di hatinya.
Genap seminggu Arkan di rumah sakit dan hari ini dia diperbolehkan untuk pulang, napas lega dia lepaskan, pasalnya selama seminggu adalah hari-hari yang sangat membosankan. Orang tua Arkan, Chelsea dan Arkan sudah sampai di rumah milik keluarga Dimitri.
Mereka berempat duduk di sofa, orang tua Arkan dan Chelsea sudah paham apa yang harus mereka katakan kepada Arkan.
“Arkan sekarang sudah sembuh sekarang mama papa tolong jelasin masalah kemarin.”
“Hubungan kamu dengan Arina sudah selesai.” Ucap mama Arkan mulai menjelaskan,
“Tapi kenapa, Ma?”
“Kamu lupa, Ar? Kalian beda. Bukan cuman masalah status sosial tapi juga masalah kepercayaan. Mama papa udah bilang ini sama kamu. Kamu boleh hianatin mama papa tapi kamu ga boleh khianatin Tuhan, Ar.” Tegas Mamanya.
Arkan tertunduk diam, Arkan tidak bisa berkata apapun lagi. Arkan terdiam cukup lama. Chelsea mencoba mendekat mencoba menenangkan Arkan. Arkan memandangi wajah kedua orang tuanya dia pun langsung memeluk mereka.
“Maafin Arkan, Ma, Pa. Arkan salah. Ga bakal Arkan khianatin mama papa apalagi Tuhan.”
“Maafin Arkan.” Ucapnya sambil terisak,
Kedua orang tuanya pun membalas pelukan itu dengan penuh kasih sayang.
“Mama sama Papa cuman punya kamu, Ar.”
Arkan melepaskan pelukannya lalu mendekat menghampiri Chelsea yang sedari tadi ikut menangis terharu melihatnya.
“Udah jangan ikutan nangisnya, sini peluk.”
Chelsea segera berdiri lalu memeluk Arkan.
“Pa, yok kita ke kamar aja dari pada disini jadi nyamuk.” Sindir mamanya,
“Ayok Ma, Papa gak kuat ni jadi nyamuk dari tadi.” Ucap papa Arkan.
Arkan dan Chelsea pun tertawa mendengarnya, kini di ruang tamu tinggal Arkan dan Chelsea saja. Mereka pun kembali duduk.
“Aku mau peluk kamu yang lama ya, pas kamu sakit susah buat peluknya.” Ucap Chelsea dengan nada yang menggemaskan.
“Peluk aja, aku kan punya kamu sekarang.” Jawab Arkan,
“Kenapa dulu kamu putusin aku, Chel?”
Pertanyaan Arkan sedikit mengingat masa lalu mereka, yang mana mereka pernah berpacaran dan putus di tengah jalan.
“Aku gak bisa LDR, Ar. Aku kan udah jelasin semuanya sama kamu. Aku nanti balik lagi tapi kamunya malah menjauh.” Jawab Chelsea.
“Tapi tetep aja dulu kamu tega tinggalin aku gitu aja, Chel.” Ucap Arkan dengan wajah memelas.
“Aku kesana juga buat selesain pendidikan aku, Ar. Bukan cari pacar.” Jelasnya lagi.
Arkan mengangguk lalu terkekeh sebentar, dia mengeratkan pelukannya. Arkan mengelus rambut lebut milik Chelsea membiarkan wangi rambutnya terus tercium.
****
Di depan kaca kamarnya, Salim menyisir rambutnya, memakai kemeja andalan ditambah dengan topi warna putih kini sudah menempel dikepalanya. Bersiap pergi ke toko bunga untuk membeli setangkai mawar merah sekaligus menemui Arina.
Kini mobil jazz putih itu sudah melaju menuju toko bunga, dengan kecepatan sedang diiringi musik favoritya. Lagu milik Pamungkas berjudul One Only kini terputar menemani perjalanannya.
Mobilnya sudah terparkir di depan toko, Salim melangkah ke dalam toko bunga, matanya sedari tadi mencari keberadaan Arina namun nihil, Arina tidak ada.
“Mir, Arina kenapa ga berangkat, sakit?”
“Arina udah gak kerja disini lagi.”
“Kenapa? Ada masalah?”
Mirna dan teman-teman Arina lainnya mengangguk bersama namun tidak memberi tahu Salim apa masalahnya. Segera Salim keluar dari toko bunga lalu tujuannya kini ke rumah Arina.
“Bisa-bisanya gue baru tahu kamu udah keluar, Na. Semoga kamu baik-baik aja.” Ucapya bermonolog.
Salim langsung tahu kemana dia harus pergi, Salim sedang menuju ke rumah Arina, pikiran Salim terus-terusan dipenuhi oleh Arina, dia khawatir terjadi sesuatu.
Mobilnya sudah berada di depan rumah Arina, sesegera mungkin Salim turun dan menuju ke dalam rumah Arina.
“Arina, kamu ada di dalam?”
Salim terus mengetuk pintu rumah Arina cukup lama tidak ada balasan. Sampai pintu itu terbuka dan terlihat Panama di depan pintu.
“Arina dimana, Nam?”
“Masuk aja kak, kak Arina di dalam, dia cuman lagi gak enak badan.”
Salim segera masuk ke dalam rumah, melihat Arina yang sedang terbaring lemah di kamarnya.
“Sakit apa, Na?” Tanya Salim khawatir,
“Gapapa, Lim. Cuman masuk angin aja.”
“Aku beli obat dulu ya buat kamu, sama makanan.”
“Gak usah, Lim.”
Salim tidak memedulikan omongan Arina, dia segera keluar membeli obat dan beberapa makanan. Akhirnya Salim kembali dengan kedua tangannya penuh membawa barang bawaan.
“Kamu makan dulu, Na. Habis itu obatnya langsung di minum. Sini, Nam. Kita makan sama-sama.”
Setelah makan siang, mereka bertiga duduk di ruang tamu sebuah rumah sederhana milik Arina.
“Kamu udah ga kerja di tempat Arkan, Na?”
Arina mengangguk
“Aku udah gamau ada urusan sama Arkan, Lim.”
Salim mencerna ucapan Arina barusan, dia sekarang paham bahwa Arina dan Arkan sudah putus dan terjadi hal yang membuat mereka jadi seperti ini. Entah harus senang atau sedih dengan ini, yang jelas Salim tidak ingin melihat Arina sedih seperti ini.
“Terus rencana kamu selanjutnya gimana? Kamu masih butuh freelance?”
“Aku harus tetap kerja, Lim.”
“Aku bantu kamu sampai dapat kerja ya, Na.”
“Makasih banyak, Lim.”
Hari sudah mulai petang dan Salim pun segera pamit dan pulang. Di tempat lain, Arkan terus-terusan gelisah atas keputusannya waktu itu. Harusnya keputusan kemarin untuk memilih Chelsea adalah keputusan yang tepat namun kenapa hatinya sekarang merasa khawatir dengan Arina. Arkan sadar dia sudah menyakiti Arina, Arkan baru sadar bahwa Arina sekarang masih dalam keadaan yang terpuruk ditambah dengan masalah dirinya, Arkan merasa bersalah dengan Arina.
“Na, Maafin aku, harusnya aku tetap milih kamu.”
“Na, aku sekarang sadar, aku harus memperjuangkan kamu.”
Hati Arkan gampang sekali berubahnya, dia seperti tidak punya pendirian akan keputusannya. Hari ini dia bisa memilih Chelsea besoknya dia bisa memilih Arina. Manusia memang se egois itu.
****
Mobil civic milik Arkan kini sudah membelah jalanan Jakarta, dia sudah tahu bahwa Arina sudah tidak bekerja di toko bunganya. Di bangku belakang, Arkan sudah mempersiapkan bunga matahari untuk Arina. Arkan mengetuk pintu rumah Arina, sengaja dia tidak bersuara agar Arina membukakan pintu untuknya. Benar saja kini suara pintu terbuka dan terlihat Arina berada tepat di depannya. Arkan langsung masuk dan memeluk Arina. Namun Arina sebisa mungkin melepaskan pelukan itu.
“Ngapain kamu kesini, Ar? Aku udah gamau ikut campur hubungan kamu sama Chelsea.” Tegas Arina,
“Na, maafin aku, Aku sadar aku udah buat keputusan yang salah. Harusnya aku tetap milih perjuangin kamu, Na.”
“Kamu udah buat keputusan yang benar, Ar. Masalahnya itu di aku, orang tua kamu bener, kalau kita harusnya gak sama-sama."
“Tapi aku udah siap pindah buat kamu, Na”
“Akunya yang gak siap, Ar. Aku gamau rebut kamu dari orang tua kamu apalagi Tuhan kamu, Ar. Udah keputusan kamu kemarin benar.”
“Tapi, Na. Aku sayang sama kamu.”
“Kamu egois ya, Ar. Kamu hari ini bilang sayang sama aku, tapi kamu juga gabisa kehilangan Chelsea. Aku jadi kasian sama Chelsea, kalau dia tahu kamu masih bujuk aku buat bersama gini. Udah ya Ar, sekarang kita udah gak ada apa-apa lagi. Satu lagi, kamu bawa bunga matahari itu, aku ga bisa terima.” Tegas Arina sekali lagi.
Arina segera menutup pintu rumahnya, di balik pintu Arkan terdiam, apa yang diucapkan Arina memang benar bahwa dirinya begitu egois. Arina menahan sesak, dia menangis. Perpisahan ini menyakitkan baginya. Arkan memang membuatnya kecewa namun Arkan juga pernah membuatnya merasa kalau hidupnya ga melulu sedih terus.
“I'm happy for you, Ar.” Pungkasnya.