Aku tidak boleh berlama-lama mengurung diri di dalam kamar. Urusan hati bisa kuajak kompromi lagi saat ragaku sibuk dengan berbagai aktivitas. Selama aku pura-pura sakit banyak sekali mahasiswa yang kurugikan. Tugas penting aku lepas tanggung jawabnya karena aku sedang kecewa.
Jika ada banyak orang mengatakan aku cengeng, aku patut memberikan penghargaan kepada mereka. Masalah ini seperti saat pertama sekali aku memakai baju baru, rasanya nyaman sekali. Begitu dilepas aku merasa kasihan dan enggan kucuci karena masih harum wanginya.
Setiap masalah pasti akan terselesaikan dengan sendirinya. Pernikahan adalah perkara serius, yang berhak menyelesaikannya tentu saja orang-orang dewasa. Aku belum termasuk golongan pengambil keputusan sehingga tidak dilibatkan lagi dalam rapat keluarga.
Perlahan-lahan sikap Ibu melunak walaupun belum membicarakan mengenai pernikahan. Ibu sudah kembali memintaku mengantarnya ke mana-mana. Ke pesta orang menikah. Ke pasar. Ke Kota Pesisir Barat. Aku kembali membiasakan diri menghadapi sifat Ibu. Kami sama-sama tidak bisa bertahan lama untuk tidak bicara satu sama lain. Ibu dapat membaca luka yang terpancar dalam diriku. Aku juga dapat melihat kerasnya keputusan yang sulit Ibu ubah dalam waktu dekat.
Bagai orang yang putus cinta, aku tidak pernah lagi mendapatkan kabar dar Rudi. Seminggu rasanya berlalu seperti setahun. Wajah Rudi masih terpatri dengan jelas dalam ingatanku. Sulit untukku menolak kehadiran Rudi dalam pikiran, khayalan bahkan mimpiku. Pesona laki-laki biasa itu telah mengubah kepribadiannya seakan kembali pada masa kanak-kanak.
Berulang kali aku mencoba menghubungi nomor ponselnya, hanya suara dengung panjang yang terdengar. Rudi mengabaikan panggilan telepon dariku, tidak membalas pesan singkat dariku. Aku harus mengejarnya, aku akan membuatnya berubah pikiran akan hadirku.
Menjelang dini hari di hari kedelapan keputusan Rudi menolak mahar dari keluargaku. Smartphoneku bergetar satu kali. Sebuah pesan masuk.
Hubungan kita baik-baik saja. – Rudi.
***