Kenapa harus 25?
Angka dua puluh lima menjadi teka-teki setelah perdebatan panjang keluarga kami. Semalaman aku memikirkan masalah sepele itu, padahal tidak perlu aku persoalkan. Barangkali kebetulan saja Bang Muis mengutarakan pendapatnya. Kebetulan juga dua abangku dan Ibu menyetujuinya. Kebetulan juga mereka semua mempertahankan pendapatnya sehingga aku tidak berkutik.
Umurku 25 tahun. Mahar 25 mayam bagi laki-laki yang ingin melamarku, orang pilihan itu jatuh ke pundak Rudi. Laki-laki biasa itu sudah menjelma menjadi pangeran penunggang kuda putih, bersorban putih, baju putih, celana putih, sepatu putih dan sedikit jenggot tipis yang warnanya hampir memutih. Rudi satu-satu laki-laki yang bisa membuat jantungku berdebar, gemetar, tidak enak makan, tidak dapat tidur nyenyak, tidak dapat konsentrasi dalam menulis jurnal yang diminta lagi oleh Erni, tidak fokus mengajar dan membimbing tugas akhir mahasiswa, membuat sifatku berubah kekanak-kanakan. Rasa yang selama ini tidak pernah kudapatkan dari Haikal.
Oh, laki-laki ganteng depan rumah lagi. Kuakui, Haikal mampu memikat hati perempuan manapun pada pandangan pertama. Hatiku bahkan terasa khawatir bersama Haikal. Takut pada keluarga. Takut dibicarakan orang lain, dalam hal ini Mak Sari dan Dara yang selalu mencemooh hubungan persahatan kami. Takut ditangkap orang kampung lalu dinikahkan tanpa mahar. Pernikahanku pasti sangat cacat jika kami kedapatan berduaan saja di tempat gelap, lalu dibawa ke rumah orang yang dituakan, dipanggil orang tua, dinikahkan segera, karena sudah mencoreng agama dan adat-istiadat. Kami tetap dianggap bersalah walaupun tidak melakukan apapun, termasuk bersentuhan secara fisik. Kami tidak dibenarkan memilih mahar bahkan sampai menentukan mahar sekalipun. Sesuatu yang sakral dan seumur hidup sekali bagiku tidak seindah yang dimimpikan semua perempuan. Aku takut pada sifat protektif Haikal yang selalu membuntutiku. Aku takut pada murka keluarga yang tidak pernah menerima Haikal masuk ke dalam bagian keluarga kami. Aku takut sekali dijauhkan oleh teman-temanku karena menikah dengan Haikal. Da aku takut, pada sesuatu yang selalu kusanggah kebenarannya, aku takut kami hidup sengsara, aku belum bisa membayangkan hasil keringat Haikal hanya cukup untuk makan tiga kali saja. Aku takut sekali. Aku naif. Aku tidak nyaman bersama Haikal!
Dua puluh lima tahun menjadi usia yang penuh pertimbangan bagiku. Perempuan seusiaku di Kampung Pesisir rata-rata sudah menikah dan mempunyai keturunan. Tinggal aku yang melayang-layang antara menikah atau mengejar karir sampai ke tingkat tertinggi.
“Tidak semua laki-laki berani datang ke rumahmu, Nong,” Asma duduk di teras rumah sambil meneguk teh hangat di sore mendung ini. Ibu bersama Bang Mul dan keluarganya berkunjung ke rumah Pak Cek Amir, urusan orang tua yang tidak perlu ketahui. Aku mengerti tujuan mereka ke rumah Pak Cek Amir, sebagai perempuan yang tidak lagi memiliki orang tua dan keluarga dekat lain, Ibu memiliki kedekatan batin yang begitu kuat dengan Pak Cek Amir. Pak Cek Amir pun orang yang sangat dikagumi di Kota Pesisir Barat sehingga bisa memberikan masukan-masukan berarti untuk keluarga kami. Aku tidak tahu alasan Ibu tidak mengundang Pak Cek Amir saat pertemuan keluarga kami.
“Laki-laki di kampung kita melihat kamu sebagai gadis yang bukan jodoh mereka,” lanjut Asma. Kedua anak Asma bermain di bawah pohon jambu. Si sulung sesekali naik ayunan. Si bungsu berlari-lari mengelilingi abangnya.
“Maksud kamu?”
“Kalian dari keluarga terpandang, kaya, dan kamu satu-satunya gadis dengan pendidikan sangat tinggi. Laki-laki manapun akan berpikir dua kali sebelum melamar kamu. Pilihan orang tuamu saya rasa tepat, laki-laki itu berhak memiliki kamu dengan mahar 25 mayam!”
“Menurutmu pantaskah?”
“Pantas saja! Kamu memiliki semua yang tidak dimiliki orang lain. Akan lain cerita jika kamu mematok mahar setingkat dengan kami, derajat kamu pun akan sama dengan kami, tidak jauh bedanya!”
“Soal derajat itu urusan keimanan saja, Asma!”
“Kita tidak sedang berbicara soal agama, itu urusan masing-masing. Mau tinggi derajat, ibadah yang benar dan tekun. Mau tidak berderajat, tinggalkan perintah agama. Siapa yang tahu perempuan berjilbab mana yang tak mengerjakan ibadah lima waktu dalam sehari, atau puasa, atau zakat? Tidak ada kan? Kecuali haji, orang akan mengetahuinya karena pergi jauh ke Mekkah dengan biaya besar,” Asma meniup teh di cangkir bening bercorak bunga-bunga kecil.
“Derajat sebuah pernikahan terletak di mana seseorang itu menetap. Kamu tinggal di Aceh, kamu menikah dengan orang Aceh. Aturan di Aceh jelas sekali bagi perempuan, menerima pinangan dengan mahar sekian banyak yang telah ditetapkan bersama dalam keluarga. Bagi laki-laki, wajib memenuhi mahar yang telah disebutkan tersebut jika masih tetap ingin meminang gadis orang!” Asma melanjutkan dengan menggebu-gebu.
“Yang tidak kusukai dari masyarakat kita, selalu membawa-bawa adat-istiadat, padahal itu hanya status sosial yang dibesar-besarkan!” ujarku sambil membulatkan mata.
“Dari adat-istiadatlah kita mengetahui suatu kebudayaan,” aku sangat terpukau dengan ucapan Asma. “Kamu tidak akan melihat pengantin duduk di pelaminan dengan pakaian Teuku Umar dan Cut Nyak Dien jika meninggalkan adat. Kamu tidak akan mendapatkan kenduri antar lintô[1] atau tueng dara barô[2] jika melupakan adat. Kamu tidak akan mempercantik diri dengan inai menjelang akad nikah jika adat tidak mengajarinya. Kamu hanya akan melangsungkan ijab kabul tanpa membangun silaturahmi dengan masyarakat yang telah membesarkanmu!”
Aku kehabisan kata-kata menyanggah penjelasan Asma.
“Tidak ada gunanya pendidikan tinggi jika kita masih egois, tidak ada manfaatnya kamu sekolah ke luar negeri jika menyakiti hati orang tua. Adat di kampung kita jelas tidak dilarang dalam agama, biar ada yang berpendapat mubah maupun makruh, tetapi kita tidak pernah menyembah berhala!”
“Soal adat-istiadat aku tidak masalah, Asma,”
“Lalu? Kamu tidak mau mahar 25 mayam?”
“Iya, karena itu kebiasaan kita bukan adat-istiadat,”
“Apa bedanya kebiasaan dengan adat-istiadat?”
Aku terpana. Aku kebingungan mencari jawaban yang tepat supaya Asma tidak lagi memojokku dengan perkataannya.
“Kebiasaan itu sesuatu yang sering kita lakukan, sedangkat adat cara yang dilakukan sejak dulu,”
“Sama saja kan?”
“Bedalah. Kebiasaan itu tidak ada dasar yang dijadikan tuntutan. Sedangkan adat merupakan aturan baku yang jelas ujung pangkalnya sebelum dilaksanakan,”
Kali ini kulihat Asma yang bertambah bingung.
“Begini, kenapa aku katakan 25 mayam kebiasaan karena setiap orang berbeda-beda, setiap generasi berbeda-beda. Kamu menikah beberapa tahun lalu berapa mayam? Orang tua kamu menikah dulu berapa mayam? Orang lain menikah berapa mayam? Ada yang sama, ada pula yang berbeda sesuai kemampuan calon suami kita, sesuai derajat keluarga mempelai perempuan seperti katamu. Bahkan, ada gadis cantik dengan mahar lebih 25 mayam. Ada pula gadis biasa-biasa saja lebih dari 25 mayam. Semua tergantung situasi dan kondisi dalam keluarga dan masyarakat masing-masing.”
Asma mengerutkan kening.
“Sedangkan adat, dari dulu sampai sekarang tetap saja sama. Kamu menikah mengenakan pakaian serupa Cut Nyak Dien, aku juga akan melakukan hal yang sama jika duduk di pelaminan nanti. Kamu dipeusijuk oleh orang yang dituakan dalam kampung kita, sanak-famili dan orang tuamu, aku juga akan menerima perlakuan yang sama!”
Asma terdiam sambil memperhatikan kedua anaknya.
“Mana mungkin orang dulu menikah dengan mahar 25 mayam emas, bisa kamu bayangkan harga emas dahulu berapa besarnya!” tegasku kemudian. Asma tampaknya membenarkan ucapanku.
Aku dapat bernafas lega setelah melepas penat pikiranku bersama Asma. Asma bisa menerima pemikiranku, keluargaku tidak akan menerima penjelasan apa-apa dariku. Aku masih tetap seorang anak kecil yang tidak tahu apa-apa. Aku tetap seorang bungsu yang harus dijaga. Aku tetap balita yang mesti disuapi makan dan minum apabila perut kosong. Aku seperti tetap menangis saat kebutuhan dan keinginan tidak terpenuhi. Kepada keluarga aku bisa kembalikan semua senang dan susah.
“Haikal tidak akan mampu melamarmu, Nong,” kata Asma tiba-tiba.
“Kenapa kamu katakan demikian?”
“Ah, jangan bersikap lugu,”
“Aku tidak mengerti maksudmu!”
“Kalian sama-sama suka bukan?”
“Tidak. Kami berteman, itu saja!”
“Kenapa pula kamu emosi?”
Aku bungkam.
“Haikal belum berani melamarmu, dia sadar diri berada di antara langit mana jika disandingkan denganmu. Maksud perkataanku barusan sasaran utamanya Haikal. Kamu saja yang tidak paham,”
“Perkataan yang mana?”
“Soal laki-laki kampung kita yang tidak berani melamarmu!”
“Haikal tidak akan melamarku, kami berteman!”
“Aku tahu. Pertemanan kalian sudah saling perhatian dan menyelidiki satu sama lain. Haikal mengejar-ngejar waktu untuk dapat bersamamu. Kamu bersuka ria bersamanya di pesan-pesan singkat yang kamu kirim padanya. Semua jelas, kalian saling memahami!”
Aku hanya membutuhkan teman bicara, Asma!
“Kamu sudah memilih, dan keluargamu sudah memutuskan. Mau bagaimana lagi? Biarpun Haikal terjun bebas dari langit dengan sekarung kapas tidak akan mampu menebus 25 mayam emas untuk meminangmu,”
“Kamu bicara apa sih?”
“Fakta. Kalian saling butuh tapi kalian seakan tidak butuh! Aku dapat membaca perlakuan Haikal terhadapmu, aku pun melihat perhatian kamu kepada Haikal,”
“Kapan aku perhatian padanya?”
“Kamu mengajak di bakar ikan, kamu mencari tahu di mana toko dia, kamu bertanya-tanya kabar dia pada orang lain, kamu mengerling padanya tiap pagi dari teras rumah!”
“Aku tidak melakukan itu,”
“Orang lain tahu kamu melakukan itu!”
“Siapa?”
“Aku, Irus, Risma dan Misan. Kami tahu isi hati kalian!”
“Tapi aku harus bagaimana? Aku nyaman bersama Rudi, Asma!”
“Aku juga tahu,”
Aku berharap, Ibu dan Bang Mul segera kembali. Asma pulang dan aku tidak terbatuk-batuk menahan luapan emosi. Asma masih mengejar jawabanku. Aku semakin berbelit. Asma capai pada kesimpulan. Aku masih tidak memahami isi hatiku sebenarnya.
“Rudi akan datang, Asma, dia akan segera melamarku!”
Dengan begitu, masalah hati bisa segera kuatasi!
***
[1]Antar lintô merupakan prosesi peresmian pernikahan yang dilakukan di rumah mempelai perempuan. Lintô mempunyai arti mempelai laki-laki. Lintô diantar oleh rombongan yang terdiri dari beragam unsur dengan jumlah beragam, sedikitnya 10 orang (jika dibatasi kedatangannya oleh pihak mempelai perempuan). Saat acara antar lintô, pihak keluarga perempuan menyediakan hidangan-hidangan lezat dan prosesi adat lainnya termasuk peusijuk. Mempelai perempuan menunggu kedatangan lintô dipelaminan yang dibuat sesuai kaidah kebudayaan Aceh.
[2]Tueng Dara Barô dapat diartikan menjemput mempelai perempuan. Acara ini dilaksanakan di rumah lintô, bisa berselang satu hari dari acara rumah lintô bisa lebih seminggu bahkan sebulan. Perbedaannya, lintô terlebih dahulu menjemut dara barô kemudian baru bersama-sama ke rumah lintô bersama rombongan, biasanya tueng dara barô ini rombongannya lebih banyak perempuan.