“Bang, saya bukan barang untuk diperjualbelikan!”
Ibu dan ketiga abangku berhenti berdebat. Malam semakin dingin. Suasana di ruang keluarga malah semakin memanas.
“Kita sama-sama tahu mahar sebagai bukti ikatan pernikahan,” lanjutku. “Kehidupan di masyarakat kita saja yang sudah mengubah pengertian mahar sesungguhnya menjadi tempat meraup keuntungan. Kita mematok mahar dengan jumlah tinggi supaya keluarga kita tidak dicemooh orang lain. Kita lebih mementingkan kepentingan sosial dari pada kepentingan agama!”
“Abang tidak bermaksud demikian,” Bang Muis menjawab dengan suara tidak kalah keras dari suaraku. “Abang memikirkan ini demi kebaikan kamu, bukan kebaikan Ibu dan juga bukan kebaikan kami. Orang semua menilai kamu itu siapa, keturunan siapa, pendidikan tingkat mana, sudah selayaknya kita menentukan mahar melebihi perempuan biasa lainnya!”
“Abang tidak perlu memikirkan saya karena mahar, saya menikah bukan karena mahar. Mahar itu barang yang bisa dijualbelikan setelah kebutuhan kami tidak terpenuhi. Sama saja saya menggadaikan harga diri kepada orang lain, sekalipun dia suami saya!”
“Abang tidak bilang harus dijual!”
“Kenyataannya begitu, saat dilamar maharnya di atas rata-rata, setelah menikah setahun dua tahun, tabungan sudah habis membeli mahar, terpaksa suaminya menjual mahar itu kembali!”
“Itu orang lain, kamu tidak akan melakukan itu karena Rudi orang kaya!”
“Bang Muis sungguh keterluan menilai seseorang. Orang lain dengan saya apa bedanya, mahar itu emas, emas itu mahar, mahar itu barang, suatu saat pasti akan kami jual ketika barang itu tidak diperlukan lagi!”
“Jangan dijual, kamu ini pemikirannya sudah menerawang jauh ke mana-mana,”
“Saya punya kewajiban menentukan mahar, karena saya yang akan menikah!”
“Agama sudah membenarkan mahar dalam meminang seorang gadis,” Bang Mul ikut mengeluarkan pendapatnya.
“Iya, tetapi agama menganjurkan memilih pasangan hidup hanya dari tiga kriteria, keturunan, kekayaan atau ketaqwaan. Jika memilih dari keturunan kaya, maka kita akan ikut-ikutan menjadi orang kaya mendadak dan angkuh. Jika memilih dari keturunan miskin, maka kita akan berusaha keras mencari jalan supaya cepat kaya. Jika memilih dari orang kaya maka kita akan duduk di rumah tanpa bekerja. Jika memilih dari orang miskin maka kita akan meratapi nasib tanpa bersyukur pada kebesaran Tuhan. Dan jika kita memilih karena ketaqwaannya, maka keturunan akan diridhai oleh-Nya dan kekayaan akan senantiasa menyertai sesuai kesanggupan dan kemampuan kita berusaha. Kaya tidak mesti punya mobil mewah, tidak harus punya rumah besar, terpenting adalah hidup bahagia dan sejahtera!” aku sudah tidak sanggup lagi menahan emosi menghadapi Bang Muis dan Bang Mul. Ibu juga ikut serta di pihak mereka dalam menentukan mahar.
“Rudi datang dari keturunan baik-baik, kemampuan ekonomi juga tergolong mapan, ketaqwaan juga tidak kita ragukan. Apalagi yang membuat kita ragu padanya?” Bang Mul balik melempar masalah padaku.
“Saya tidak ragu, saya tidak suka cara abang memutuskan mahar!”
“Kami menginginkan yang terbaik untukmu,”
“Terbaik itu bukan karena mahar, Bang,”
“Dari mahar pula kita akan melihat kesungguhan Rudi melamarmu!” Bang Muis berkata hampir memekik.
“Rudi sudah sungguh-sungguh,”
“Dari mana kamu tahu? Mahar itu sebagai ikatan, sanggup tidak dia berikan saat melamar? Tidak sanggup sama dengan tidak sungguh-sungguh. Sanggup artinya serius, dia akan mencari cara mendapatkan mahar yang kita tentukan!”
Aku tidak tahu menjawab apa. Bang Muis ada benarnya. Bang Muis juga bisa salah. Dalam menghadapi sikap Rudi aku sendiri sering kalang-kabut. Rudi memiliki ketidakpastian akan suatu jawaban. Aku bertanya, kadang tidak dijawab. Aku membutuhkan perhatian, Rudi hanya memberikan seperlunya saja. Rudi datang tiba-tiba tanpa bisa membuat hubungan menjadi romantis seperti kebanyakan orang berkencan.
“Ibu setuju dengan, Muis,” ujar Ibu Kemudian. Aku terperanjat. Ibu mengatakan menerima Rudi apa adanya. Kenapa mempersoalkan masalah mahar? “Ibu pikir benar, tidak ada salahnya kita menentukan mahar tinggi untuk satu-satunya gadis dalam keluarga kita. Muis tidak salah, kita keluarga terpandang di Kampung Pesisir barat. Inong juga perempuan terpandang, selain pernah belajar di luar negeri juga bekerja sebagai dosen. Apa kata orang-orang kalau kita menentukan mahar dengan sangar rendah sekali? Mahar itu harga diri? Hidup dan mati!”
“Ibu, mahar itu tidak sama dengan harga diri,” bantahku.
“Siapa bilang? Kamu mau menikah dengan mahar rendah?” rasanya, urat-urat di leher Ibu ikut mengeras. Kami sama-sama tegang. “Mahar itu wajib dipenuhi laki-laki sebelum meminang seorang gadis, kamu tahu sendiri bagaimana mulut-mulut usil kampung kita. Apa kata mereka begitu mengetahui mahar kamu hanya semayam emas saja?”
“Buat apa kita mendengar omongan mereka? Dari dulu mereka juga sudah mengusik hidup kita!”
“Inong,” suara Bang Mul lembut. “Maksud Ibu, kebiasaan kita sudah mengharuskan seorang perempuan yang memiliki derajat lebih tinggi dari pada perempuan lain dilamar dengan mahar tinggi,”
“Kebiasaan kita? Itu hanya kebiasaan yang dibuat-buat Kampung Pesisir!” aku semakin tidak terkendali. “Menurut abang sendiri, berapa banyak mahar yang cocok untuk melamarku?” tantangku kemudian.
Tidak ada yang menjawab. Bang Mul memang tidak mengatakan mahar harus tinggi, tetapi dari perkataannya Bang Mul pun hampir setuju dengan pendapat Bang Muis dan Ibu. Hanya Bang Mus yang mau tidak mau terlibat dalam diskusi keluarga kami.
“Di atas kami semua,” jawab Bang Mul.
“Di atas berapa?” desakku.
“Muis sudah sebutkan, paling tidak mendekati 20 atau lebih!” ujar Bang Mul ringan saja. Abang tertuaku pikir angka dua puluh itu sedikit jika diemaskan dan diuangkan?
“Saya memilih 25!” Bang Muis menambah lima.
“Ibu setuju dengan Muis,”
“Saya ikut sajalah,” Bang Mus mendukung.
Aku semakin tidak berdaya melawan mereka seorang diri. Pertama, aku sebagai perempuan. Kedua, aku sebagai anak bungsu. Ketiga, aku harus patuh pada semua perkataan orang tua maupun abang-abangku jika tidak mau durhaka. Lebih baik aku menjadi drakula dibandingkan durhaka kepada orang tua, sampai akhirat pun aku tidak akan pernah mendapat ampun dari Pemilik Semesta.
Apalagi yang harus kulawan? Sudah habis pemikiranku tertuang mempertahankan mahar bisa lebih rendah. Ini bukan menyangkut harga diri sebagai perempuan. Ini berhubungan dengan kesanggupan Rudi membayar tebusan mahar tersebut.
“Rudi sangguplah menebus mahar 25 mayam itu!” ujar Bang Mul penuh keyakinan.
Tamatlah sudah. Karena mahar semua bisa menjadi malapetaka bagiku. Agama memang menganjurkan mahar sebelum menikahi seorang gadis. Agama pun membenarkan mahar setinggi-tingginya sesuai kemampuan. Agama juga tidak melarang menikah dengan jumlah mahar di bawah rata-rata sekalipun.
Ini Kampung Pesisir, Inong!
Iya. Ini Kampung Pesisir. Ini Aceh. Perempuan akan dihargai dengan mahar setingginya, sesuai kriteria gadis tersebut. Orang tidak berada sekalipun bisa memesan mahar lebih 30 mayam jika anak gadisnya cantik jelita. Urusan mahar itu dijual setelah menikah tidak ada yang tahu. Orang hanya mengetahui anak gadis rupawan tersebut laku dengan harga fantastis.
Aku sedang berada dalam dilema kemaslahatan kebudayaan di negeriku sendiri. Di mana-mana juga wajib memberikan mahar jika dia seorang muslim dan melamar seorang muslimah. Tetapi bukan seperti melamar gadis Aceh sepertiku. Zaman yang terus berputar membuat mahar semakin tinggi. Mungkin sama harganya dari zaman dulu. Angka 10 dulu bisa sama 20 dengan sekarang jika dikalkulasikan dalam mata uang. Dan Aceh, secara tidak tertulis sudah mewajibkan seorang laki-laki membeli emas sebagai mahar. Islam sendiri tidak menganjurkan demikian, bukan?
“Ayah meminang Ibu dengan mahar 5 mayam,” ujar Ibu kemudian. Kami sama-sama terlarut dalam buaian emosi yang belum reda. Masing-masing mempertahankan pendapat sendiri-sendiri walau dalam diam. “Dulu, 5 mayam itu sangat besar sekali. Ayah sanggup menebusnya!”
Lain Ayah, lain pula Rudi.
“Apa saya bilang,” Bang Muis berucap dengan bangga. “Ayah kita memang laki-laki sejati!”
“Saya bangga menjadi anak Ayah,” kata Bang Mul sayup-sayup. “Ayah tidak pernah mengatakan tidak, Ayah sudah memikirkan matang-matang sebelum meminang Ibu dulu. Lihatlah sekarang! Betapa keluarga kita jadi sangat terpandang. Karena Ayah berani mengambil resiko mengeluarkan emas 5 mayam melamar Ibu!”
Artinya? Aku harus menuruti kemauan keluargaku?
“Emas itu harus ditebus dengan harga mahal, karena dia sangat bernilai!” putus Ibu kemudian.
Emas?
***