Minggu pagi yang sedikit mendung, Rudi mengirim pesan tidak terduga. Maksudku, tidak biasanya Rudi mengajakku bertemu di hari Minggu. Hari ini pun sebagai hari riang gembira bagi pasangan muda-mudi dalam memadu kasih. Aku tidak melihat pertemuan kami nanti sebagai kencan romantis. Aku hanya melihat sebuah pertemuan yang ingin segera dilanjutkan ke kehidupan serius setelah ini. Membayangkan pertemuan ini saja aku jadi panas dingin, biasanya belum pernah mengalam hal serupa. Selama ini, walau pesan singkat yang kukirim dibalas angin-anginan oleh Rudi, tetapi kami pernah terlibat diskusi panjang mengenai suatu persoalan tertentu. Lagi-lagi, aku yang harus memperpanjang sabar dalam menunggu balasan Rudi.
Kurasa, tidak perlu memoles diri dengan baju bagus atau make up tebal. Aku hanya perlu mengenakan pakaian santai hari libur saja. Hitung-hitung kuanggap bertemu dengan sahabat lama yang sudah tidak bertemu sekian tahun. Walaupun tujuan utamaku ingin mengenal Rudi lebih dalam lagi sampai ke akar-akarnya barangkali.
Ajakan bertemu ini sedikitnya bisa menepis keraguan akan keseriusan Rudi menjalani kehidupan sebenarnya bersamaku. Bukan berarti kehidupan yang kujalani sekarang penuh khayalan tingkat tinggi, tetapi kehidupan nyata setelah aku sendiri merupakan sebuah langkah dan keputusan besar. Selama ini aku hidup bersama keluarga, sifatku bisa kubuat seenaknya, marah-marah sesukanya, minta ini itu semaunya, bersama Rudi nanti jika kami menikah tentu ada batasan-batasan yang tidak boleh kulanggar sesuai aturan agama dan adat-istiadat.
Rudi membuat janji bertemu siang nanti, di salah satu rumah makan siap saji terkenal di Kota Pesisir Barat. Aku akan menggunakan kesempatan ini sebaik-baiknya, ibarat sedang mengikuti tes wawancara, aku harus lebih agresif dari biasanya. Pertemuan kedua kami, di Waroeng Kenangan, menempatkanku sebagai perempuan paling kerdil. Ucapanku seperti sudah dikendalikan oleh Rudi sehingga tidak mampu untuk kuutarakan sepatah kata pun sekadar bertanya, membantah maupun menceritakan tentang diriku padanya. Hanya Rudi yang membuatku terlena mengenai kehidupannya yang tidak semeriah kehidupanku di masa remaja.
Dari luar jendela kamarku, gerimis sudah turun perlahan-lahan. Pandangan kuarahkan ke sebelah kiri, sebuah mobil terparkir di depan kedai Mak Sari. Tanpa minggu terlewat bagi Dara. Tiap hari Minggu, Dara akan keluar rumah bersama pacarnya. Kali ini, mobil itu berwarna putih, padahal sebulan lalu kulihat mobil yang menjemput Dara berwarna hitam. Mungkin saja laki-laki pacar Dara orang paling kaya di kota kami, sanggup mengganti mobil sebulan sekali.
Masalah Dara punya banyak mantan pacar bukan untukku sesali karena sampai sekarang aku belum pernah pacaran. Tidak pernah terpikirkan untukku pacaran sebelum bertemu dengan Rudi. Hubungan kami pun tidak tertulis sebagai hubungan pacaran sebagaimana didefinisikan banyak remaja. Hubungan kami sebatas untuk saling mengenal satu sama lain sebelum melanjutkan ke jenjang pernikahan. Jika suatu saat, kami tidak menemukan kecocokan maka Rudi tidak perlu melamarku.
Sejauh ini, Rudi tetap bersikap sewajarnya saja. Sedikit demi sedikit aku dapat memahami kesibukan Rudi. Seperti yang pernah dikatakannya padaku, selain bekerja sebagai pegawai, Rudi juga bersawah. Aku tidak bisa memikirkan bagaimana Rudi mengatur waktu antara pekerjaan di kantor dari pagi sampai sore dengan pekerjaan di sawah. Rudi sudah terbiasa mengatur waktu dengan banyak pekerjaan semasa kuliah. Jika pun tidak sempat bersawah, Rudi masih bisa membayar orang lain bercocok tanam di sawah miliknya, tetapi Rudi mengatakan sawah itu bukan miliknya. Ah, bingung juga.
Bang Mul, setelah mengenalkanku kepada Rudi, bersikap wajar saja dan tidak menampakkan muka masam lagi seperti saat melihatku bersama Haikal. Bang Mul juga tidak menanyakan sampai ke mana hubunganku dengan Rudi. Bang Mul membiarkan aku dan Rudi menjalani kehidupan yang ingin kamu tekuni sehingga benar-benar serius. Bang Mul dapat membaca hubunganku dengan Rudi masih berlangsung sampai sekarang ini.
Dan Haikal? Entah bagaimana rupa laki-laki itu kini. Kami sangat jarang bertemu, Haikal memang sudah menetap lagi di Kampung Pesisir, di depan rumahku. Laki-laki itu sesekali kulihat menghidupkan motornya sehabis subuh. Matahari belum benar-benar menampakkan diri Haikal sudah meninggalkan Kampung Pesisir menuju toko milik taukenya di Kota Pesisir Barat. Haikal akan pulang menjelang magrib atau bahkan malam hari. Haikal sangat menjaga hubungannya dengan pemilik pekerjaan, lebih sering ia pulang malam hari karena toko itu akan tutup sekitar pukul sepuluh malam. Aku tidak menyelidiki kehidupan Haikal, semua tahu, termasuk keluarga sehingga menentang hubungan kami, kami sama-sama mengerti kehidupang masing-masing. Aku tahu Haikal, dan Haikal tahu aktivitasku.
Kedekatan batin antara aku dengan Rudi belum sampai seperempat kedekatan batin antara aku dengan Haikal. Rudi punya tempat tersendiri, aku mengenalnya untuk menjadikannya sebagai suami. Aku mengenal Haikal sejak kami masih kanak-kanak. Tabiat baik buruk Haikal sudah aku pahami dengan tanpa kutulis sekali pun. Tabiat baik buruk Rudi masih kuraba-raba sampai di angka berapa sebelum kuputuskan menerimanya.
Urusan cinta, aku belum semahir Dara. Dara sudah sering berganti pacar sebelum dia menemukan yang sangat cocok sesuai kriterianya dan Mak Sari; ganteng, kaya raya dan tidak cacat fisik. Wajar saja dalam kehidupan kami di Kampung Pesisir saat seorang perempuan dijemput laki-laki ke rumahnya. Walaupun di belakangnya orang-orang akan membicarakan tingkah laku perempuan tersebut. Sudah sering pula aku mendengar orang-orang membicarakan Dara di mana-mana. Apalagi ibu-ibu di wirid Yasin, mereka membisik-bisikkan kelakukan Dara. Suara mereka kecil sekali supaya tidak terdengar ke telinga Mak Sari. Mak Sari akan membela habis-habisan putri kesayangannya. Di mata Mak Sari, Dara tidak pernah salah berganti pacar. Di mata masyarakat umum, Dara sudah divonis sebagai perempuan yang sudah meluruhkan martabatnya demi kepentingan duniawi.
Aku ragu cinta seperti apa yang dimiliki Dara. Dikelilingi dua orang laki-laki saja aku terlibat perang emosi. Rudi begini. Haikal begitu. Haikal begini. Rudi begitu. Aku berada di pusara dengan putaran sekencang-kencangnya. Keluarga memilih Rudi, menolak Haikal sejak dulu. Aku memilih siapa, bingung kujelaskan bagaimana. Rudi dan Haikal sama-sama memiliki daya tarik tersendiri di mata perempuan manapun. Tetapi untuk urusan berumah tangga?
“Pilih pilihan keluargamu, Nong!” teriak Diana di seberang sana. Entah apa yang sedang dikerjakan Diana saat aku menghubunginya. “Walau belum tentu pilihan keluarga itu tepat, kudengar dari ceritamu, Rudi itu masuk kategori laki-laki pilihan!”
Diana benar. Rudi memang tidak secakap Haikal dari segi fisik maupun penampilan. Rudi terkesan lebih dewasa dan bijaksana baik dalam berpakaian maupun bertutur kata. Haikal berada di bawah tingkatan dewasa dan masih mengikuti gaya hidup anak muda masa kini. Dilihat dari pekerjaan, Haikal tidak ada apa-apanya dibandingkan Rudi.
“Haikal dan Rudi punya posisi yang sama. Satu orang berani mengambil sikap satu lagi terkesan gemulai. Rudi dari keluarga kurang berada bukan? Dia berani ambil resiko kuliah di Banda bukan? Haikal kenapa tidak berani?” Diana menggebu-gebu membandingkan dua laki-laki yang sedang kuhadapi tingkah lakunya.
Rudi memilih diam saat aku menerornya dengan banyak pesan singkat, menanyakan alasan belum membalas pesanku. Haikal malah mengirimku pesan panjang saat aku lupa membalas pesannya. Haikal lebih posesif dibandingkan Rudi terhadapku. Haikal seperti sudah memiliki diriku dalam dirinya sehingga tidak bisa lepas dari ingatannya. Rudi sangat pasif dalam meladeni sikapku, tetapi Rudi akan membalas dengan pesan lainnya di lain waktu tanpa menyinggung kembali permasalahan terdahulu. Haikal tidak akan menerima sebelum sebuah masalah selesai kami bicarakan. Rudi seolah-olah lupa aku pernah mengambek sebelumnya.
Aku mengenal Rudi bisa dikatakan dalam hitungan waktu singkat. Aku mengenal Haikal semalam nyawaku bernafas. Aku menemukan ketentraman berbeda saat bersama Haikal dan Rudi. Haikal akan menatapku dengan tajam dan penuh selidik. Rudi hanya menatap teduh lalu memalingkan wajahnya sambil memulai topik pembicaraan lain. Haikal masih sama egoistisnya denganku.
***
Kami sedang menunggu pesanan datang. Aku dan Rudi.
Aku duduk menghadapnya dalam diam dan Rudi pun terdiam. Sesekali Rudi mengetuk meja, memainkan irama teratur. Aku pun membuang jenuh dan gugup dengan memainkan smartphone.
“Bagaimana kabarmu?” Rudi memulai percakapan.
“Baik. Kamu?”
“Tidak kurang suatu apapun,”
Kami kembali diam. Lalu lalang pelayan membuatku tidak aman. Rudi terlihat membawa suasana lebih santai. Pengunjung semakin ramai di waktu makan siang begini. Suara tawa dan diskusi membahana. Tempat makan ini berbentuk terbuka, berada di tepi jalan utama Kota Pesisir Barat. Orang-orang akan mudah menjumpainya, terlebih karena harganya terjangkau tempat ini selalu ramai dikunjungi.
Aku tidak nyaman berada di sekeliling orang ramai begini. Bukan tidak nyaman makan di sini, tidak nyaman karena aku sedang bersama seorang laki-laki. Aku tidak takut pada mahasiswa yang berada di tempat ini, aku seperti takut pada sesuatu yang lain. Sesuatu yang aku tidak tahu.
“Kamu dalam keadaan tidak sehat?”
Aku semakin tidak karuan. Rudi bisa membaca gerak-gerikku.
“Aku baik-baik saja!” nada bicaraku cepat, tidak terkontrol. Aku pun ingin menghadirkan suasana lebih santai di hadapan Rudi. Rudi selalu berbicara dengan nama formal.
“Kalau kamu tidak sehat, kita pulang saja,” lanjut Rudi dengan memperhatikanku dalam-dalam. Aku tambah salah tingkah. Tatapan mata Rudi sulit sekali membunuh rasa gemetar dalam diriku. Siapa bilang Rudi tidak perhatian? Hanya cara saja yang berbeda dari laki-laki lain, termasuk Haikal. Benar. Haikal lagi. Dia yang aku takutkan hadir di tempat ini. Pikiranku semakin tidak terkendali. Rasanya, telapak tangan dan kakiku sudah dingin sekali. Padahal, antara aku dengan Haikal tidak terjalin suatu ikatan apapun sehingga aku ketakutan melihat fisiknya di antara kami.
Apa aku harus pulang?
“Kita makan saja, setelah itu langsung pulang,” kata Rudi sesaat setelah hidangan yang kami pesan sudah diantar oleh pelayan. Ya, kami akan segera pulang.
Rudi makan dalam diam, aku pun dalam diam. Berbeda dengan orang lain yang sedang membicarakan entah topik apa saat mengunyah makanan. Rudi sangat fokus pada makanannya sampai tidak melihatku sama sekali. Sebentar saja piringnya sudah kosong, sedangkan aku belum setengah porsi habis kusantap.
“Makanlah yang kenyang,” ujar Rudi. Aku kelimpungan menghadapi sifat Rudi demikian. Selama menyuapi makanan ke mulutnya, Rudi tidak menggerakkan mulut untuk berbicara selain mengunyah makanan. Setelah makan pun, Rudi duduk diam saja di tempatnya menikmati caraku makan dan lamaku makan. Rudi juga tidak mengeluarkan suaranya lagi sebelum aku selesai makan dan meneguk segelas air putih.
“Kita pulang,” katanya kemudian.
“Sebentar lagi, baru juga selesai makan,” potongku. Aku sedikit lebih tenang. Rudi masih bersikap begitu saja.
Kami memulai satu topik pembicaraan. Berlanjut ke topik yang lain. Rudi menggunakan logika dan sikap objektifnya dalam mengeluarkan pendapat. Dalam ketenangan dan dipikirkan terlebih dahulu setiap ucapan yang akan dikeluarkannya. Suara berat Rudi pelan sekali sampai-sampai aku menunggu penuh sabar kapan selesai bicaranya.
Tanpa terasa, gugup dan takutku hilang entah ke mana. Waktu pun sudah lewat tiga puluh menit seusai kami makan siang. Kupikir, kami sama-sama sudah menemukan karakter masing-masing dalam waktu singkat ini. Saatnya pulang dan memutuskan untuk menerima Rudi bergabung dalam silsilah keluargaku. Kesannya, aku terlalu percaya diri akan dilamar Rudi. Tapi mau tidak mau, Rudi akan melamarku, karena itulah tujuan utama kami berkencan seperti kebanyakan istilah orang.
Rudi tidak mengungkapkan kata cinta. Rudi juga tidak mengutarakan bagaimana perasaannya terhadapku. Rudi hanya memperlihatkan kedudukannya sebagai laki-laki dalam menjaga dan membuatku nyaman bersama dirinya.
Di tengah jalan pulang, aku menyetir dalam ceria. Seakan baru menemukan emas murni dengan harga fantastis. Inilah yang aku cari selama ini, inilah yang aku impi-impikan selama ini. Aku tenang, nyaman, terlindungi. Aku terbahak.
Bunyi nada pesan singkat dari smartphone membuatku kembali beku.
Oh, itu orangnya! – Haikal.
***